Mohon tunggu...
Gaudensia Gordina
Gaudensia Gordina Mohon Tunggu... Guru

Hobi Berliterasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bukan Hukuman, tapi Hadia

15 September 2025   12:05 Diperbarui: 15 September 2025   12:05 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjelang sore, senja siap menyapa, sudah sejam Ibu Lela sibuk di dapur, di temani Claudya yang sibuk memotong sayuran. Sementara Ibu Lela mengulek bumbu untuk masak daging, mata Claudya menjelajahi aneka masakan yang sudah tertata rapi. 

"Kita ada acara apa, Bu?"tanya Claudya, penasaran. "Sebentar lagi ada tamu, Nak," jawab Ibu Lela sambil terus mengulek. "Keluarga siapa yang datang?" tanya Claudya lagi. Ibu Lela tersenyum misterius. "Nanti mereka akan menjadi keluarga kita. Semua tergantung kamu, tapi Ibu harap kamu mau menerima mereka."

Claudya tertegun, sebuah kebingungan melingkupi pikirannya. "Mengapa tergantung aku?" gumamnya dalam hati, namun ia tak berani bertanya lebih jauh. Ia meneruskan pekerjaannya, tetapi pikirannya tak lagi fokus.

"Setelah selesai masak, langsung bersiap dan dandan yang cantik," lanjut ibu Lela, seolah tahu kegelisahan putrinya. "Karena mereka datang khusus untuk bertemu denganmu."

Tepat pukul tujuh malam, tamu yang ditunggu pun tiba. Ternyata mereka adalah Pak Sunoto, Kepala Desa tetangga, bersama istri dan putra mereka, Bram, seorang dokter muda yang Claudy kenal.

Suasana terasa hangat. Ayah Claudya, Pak Darius, mengajak mereka menikmati hidangan. Suara tawa an obrolan ringan memenuhi ruangan. sesekali , Bram mencuri pandang ke arah Claudya, yang masih dipenuhi tanda tanya.

Setelah makan malam selesai, Pak Sunoto membuka percakapan. 

"Pak Darius," katanya dengan suara mantap, "tujuan kedatangan kami malam ini adalah untuk melamar putri Bapak, Claudya, untuk putra kami, Bram."

Bagai sambaran petir, kalimat itu menghantam Claudya. Seketika, harapan dan cita-citanya terasa pupus. Hati kecilnya menjerit. Ia tak mau menikah. Dirinya masih ingin sekolah. Rasa gelisah, benci, dan takut berbaur menjadi satu. Ia menunduk, meremas jemarinya.

"Kami setuju-setuju saja," sahut pak Darius, sorot matanya yang tajam memberi isyarat agar Claudya menerimanya. "Bagaimana, Nak?" Claudya terdiam sejenak. "Aku harus mempertahankan masa depanku," bisiknya pada diri sendiri. Dengan suara bergetar tapi tegas, ia menjawab, "Saya menghormati niat baik Bapak dan Ibu, tapi untuk sekarang saya belum bisa. Saya masih ingin sekolah sampai cita-cita saya tercapai."

"Jika sekolah, itu akan menjadi tanggung jawab kami," timpal Pak Sunoto. "Kamu boleh sekolah, bahkan sampai cita-citamu tercapai," Bram menimpali dengan lembut. Namun, Claudya tetap menggeleng. "Maafkan saya, Kak. saya tidak ingin terikat." raut kekecewaan tak bisa disembunyikan dari wajah Bram. "Baiklah, saya mengerti."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun