Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lewat "Proposal 660 WNI-ISIS," Assad Coba Tekan Jokowi

9 Februari 2020   09:54 Diperbarui: 9 Februari 2020   09:52 6984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tentara ISIS (Sumber: Kompas.com)

"Sepanjang bersama mereka (ISIS), saya telah memperkosa 50 perempuan berusia 15-16 tahun. Di atas usia itu sekitar 200," kata Komandan ISIS yang tidak disebutkan namanya dalam sebuah video wawancara yang diunggah BBC Three.

Tidak terlihat mimik penyesalan pada wajah Komandan ISIS saat mengucapkan kalimat-kalimatnya.

Kepada Shireen dan Stacey Doolay yang mewawancarainya, Komandan ISIS yang kini berstatus tahanan itu pun mengungkapkan bahwa ia telah membunuh dan menyiksa sekitar 900 orang. Dan, kesemuanya dilakukan dengan tangannya sendiri.

"Kamu akan membayar air mata gadis-gadis itu," ujar Shireen yang pernah menjadi perbudakan seks ISIS saat kelompok teroris bentukan Abu Bakar Al Baghdadi tersebut menguasai Sinjar, Provinsi Nineveh, Irak.


Komandan ISIS dalam video yang diunggah pada 15 Februari 2018  itu bukan warga negara Indonesia atau WNI. Dalam video tersebut ia berbicara dengan menggunakan bahasa Arab. Tetapi, kekejian yang diungkapkannya terhadap sesama manusia mewakili perilaku puluhan ribu milisi ISIS lainnya, termasuk yang berasal dari Indonesia.

WNI-ISIS tetap WNI

Belakangan masyarakat Indonesia berpolemik tentang rencana kepulangan 47 dari 660 anggota ISIS asal Indonesia ke tanah air. Polemik ini bermula dari sambutan Menteri Agama Fachrul Razi pada deklarasi Organisasi Masyarakat Pejuang Bravo Lima yang digelar di Ballroom Discovery Ancol Hotel, pada1 Februari 2020

"Sekarang mereka terlantar di sana dan karena kepentingan kemanusiaan akan dikembalikan ke Indonesia," kata Fachrul yang juga mantan Wakil Panglima ABRI di ini sebagaimana dikutip Tempo.co.

Sekalipun tiga hari kemudian Fachrul mengklarifikasi pernyataannya dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pun telah meluruskan isu ini dengan mengatakan pemulangan 47 WNI tersebut masih wacana, namun polemik pemulangan ISIS terus menggelinding.

Tidak kurang, Presiden Joko Widodo dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pramono pun turut melontarkan pendapatnya.

"Kalau bertanya pada saya, ini belum ratas lho ya, kalau bertanya pada saya, saya akan bilang 'tidak'. Tapi masih dirataskan. Kita ini pastikan harus semuanya lewat perhitungan kalkulasi plus minusnya semuanya dihitung secara detail dan keputusan itu pasti kita ambil di dalam ratas setelah mendengarkan dari kementerian-kementerian dalam menyampaikan. Hitung-hitungannya," kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta Pusat, pada 5 Februari 2020. Seperti dikutip Detik.com.

Ada sejumlah alasan penolakan  kepulangan 660 milisi ISIS dan simpatisannya ke tanah air. Salah satunya, Pasal 23 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Di mana dalam butir d disebutkan, "Masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden.

Selain menjadi bagian dari tentara ISIS, ke-660 orang asal Indonesia itu pun telah membakar paspor sebagai bentuk pernyataan tidak mengakui lagi Indonesia sebagai negaranya. Dalam kesempatan yang sama, mereka pun berikrar setia kepada Negara Islam Irak dan Suriah.

Timbul perdebatan, apakah bergabung dalam unit-unit militer ISIS berarti telah menjadi tentara asing sebagaimana yang dimaksud dalam UU yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 1 Agustus 2006.

Jika benar, maka sudah barang tentu 660 anggota ISIS asal Indonesia telah kehilangan status ke-WNI-annya.

Namun, jika mencermati pasal demi pasal dalam batang tubuh berikut penjelasannya, kata "asing" dalam UU tersebut berarti negara lain. Sementara, ISIS bukanlah negara lantaran tidak memiliki wilayah dan juga pengakuan dari negara lain.

Perempuan dan anak-anak ISIS (Sumber: Kompas)
Perempuan dan anak-anak ISIS (Sumber: Kompas)

Dengan demikian, menurut UU tersebut, bergabung dalam unit-unit militer ISIS tidak menggugurkan status kewarganegaraan Indonesia.

Begitu juga dengan ikrar setia pada ISIS. Berikrar setia kepada ISIS pun tidak membuat ke-600 WNI tersebut berpindah kewarganegaraan. Alasannya sama, ISIS bukan negara.

Singkatnya, jika mengacu pada UU No. 12/2006, ke-660 milisi dan simpatisan ISIS tersebut justru masih berstatus warga negara Indonesia.

Dan, sebenarnya, status kewarganegaraan 600 anggota ISIS tersebut tidak perlu diperdebatkan lagi. Karena berdasarkan pengalaman sebelumnya Indonesia tidak bisa menolak ketika 16 anggota ISIS asal Indonesia dideportasi dari Suriah pada Juni 2017.

Berdasarkan pengalaman dua tahun lalu tersebut, Indonesia pun tidak bisa menolak kedatangan 660 anggota ISIS jika pemerintah Suriah mendeportasinya.

Jokowi yang ketika itu menjabat Presiden RI seharusnya bercermin pada peristiwa tersebut. Karenanya, Jokowi tidak seharusnya menyatakan sikap penolakannya atas rencana kepulangan 660 WNI-ISIS. Terlebih, isu ini belum dirapatterbataskan dalam kabinet yang dipimpimnya.

Menolak Kepulangan ISIS atau Lepas Tanggung Jawab

Menurut BNPT perlu waktu tiga tahun untuk menderadikalisasi ISIS. Sementara Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan program deradikalisasi belum tentu berhasil. Mahfud pun menambahkan tentang adanya ancaman dikucilkannya WNI-ISIS dari masyarakat yang dinilainya akan menumbuhkan kembali bibit-bibit terorisme.

"Kalau dipulangkan itu nanti bisa menjadi masalah di sini, bisa jadi virus baru di sini. Karena jelas-jelas dia pergi ke sana untuk menjadi teroris, kalau ke sini kan harus dideradikalisasi dulu," kata Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada 5 Februari 2020 sebagaimana dikutip CNNIndonesia.com.

Selama bertahun-tahun, ISIS melancarkan serangkaian perbuatan kejinya terhadap bangsa Suriah. Ratusan ribu warga Suriah dibunuh dan disiksa oleh kelompok teroris yang lahir dari rahim Al Qaeda ini. Ribuan perempuan Suriah tanpa memandang usia diperkosa atau dijadikan budak seks. Jutaan warga Suriah lainnya terpaksa mengungsi keluar dari negaranya. Melihat perilaku ISIS sudah sepatutnya rasa kemanusiaan diberikan kepada rakyat Suriah dan Irak yang menjadi korbannya. Karenanya salah besar jika dengan alasan kemanusiaan, Indonesia menolak kepulangan 660 WNI-ISIS.

Sekalipun saat ini ISIS sudah berhasil dikalahkan dan puluhan ribu milisi berikut simpatisannya dikrangkeng dalam penjara-penjara, tetapi sewaktu-waktu kelompok teroris ini dapat kembali bangkit dan kembali meluapkan sifat-sifat kebinatangannya. Dan faktanya, ISIS rentan bangkit kembali.

Pada Oktober 2019, misalnya, ribuan anggota ISIS berhasil melarikan diri dan kembali menebar teror setelah serangan militer Turki yang membombardir sejumlah wilayah Kurdi mengenai penjara-penjara tempat menahan anggota ISIS.

Kepergian ratusan WNI ke Suriah dan bergabung dengan ISIS juga tidak lepas dari kegagalan pemerintah Indonesia dalam melawan radikalisme. Pemerintah terkesan gamang jika berhadapan dengan kelompok-kelompok radikal. Akibatnya, sejak 1998 Indonesia sudah menjadi tempat bercocok tanam yang subur bagi kelompok-kelompok radikal. Bahkan, seperti diungkap Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu pada 19 Juni 2019, sekitar 3 persen anggota TNI yang telah terpapar radikalisne.

Celakanya lagi, sampai saat ini belum terlihat sikap tegas pemerintah dalam melawan penyebaran radikalisme. Akibatnya jumlah kaum radikal terus meningkat dari waktu ke waktu. Inilah yang membuat kepulangan 660 anggota ISIS ke Indonesia tidak ubahnya seperti menggarami air laut.

Jika melihat ketidaksignifikannya terhadap ancaman terorisme di tanah air, penolakan kepulangan 660 WNI-ISIS justru bisa dikesankan sebagai upaya lepas dari tanggung jawab atau cuci tangan negara dalam persoalan radikalisme.

Lewat "Proposal 660 WNI-ISIS", Assad Coba Tekan Jokowi

Sepertinya, isu kepulangan 660 milisi dan simpatisan ISIS tersebut tidak muncul begitu saja. Tidak mungkin ada asap jika tidak ada api. Begitu kata pepatah.

Jika isu yang membuat anak bangsa, termasuk pemimpinnya, berpolemik ini adalah "asap", tentu ada api yang mengakibatkan mengepulnya asap.

Saat ini lebih dari 10 ribu milisi dan simpatisan ISIS mendekam di dalam penjara-penjara di seantero Suriah, termasuk wilayah yang dikuasai Kurdi. Beberapa waktu lalu, Kurdi telah mengingatkan bahwa mereka tidak bisa menahan puluhan anggota ISIS tersebut selamanya.

Lantaran itu, pada November 2019, Assad berniat mendakwa anggota ISIS yang dipenjara di negaranya, terutama tahanan yang dipenjara di kamp-kamp di wilayah yang dikuasai Kurdi.

Namun demikian, patut diduga ada "udang" di balik rencana Assad tersebut. Dengan menggunakan puluhan ribu ISIS yang berada di tangannya, Assad ingin mendikte negara-negara "pengekspor" ISIS ke negara yang dipimpinya.

Assad yang tahu persis bila negara-negara tersebut menolak kepulangan warga negaranya yang terlibat ISIS, menyodorkan dua pilihan: deportasi atau eksekusi. Mungkin ini juga yang menjadi alasan Assad mencicil pendeportasian anggota ISIS ke negara-negara asalnya.

Bashar Al Assad (Sumber: Kompas.com)
Bashar Al Assad (Sumber: Kompas.com)

Jika Jokowi, msalnya, menolak kepulangan 660 warga Indonesia dari Suriah, maka Jokowi harus memenuhi proposal yang diajukan Assad. Selanjutnya, WNI di Suriah yang terlibat ISIS, sesuai pernyataan Assad, akan didakwa dan dihukum di Suriah.

Sebaliknya, jika Jokowi menolak proposal Assad, Assad akan mendeportasi WNI-ISIS. Dan seperti yang terjadi pada 2017, Jokowi tidak bisa menolak kepulangan warganya.

Tentu saja, menolak kepulangan ISIS yang berarti menyetujui proposal Assad akan membuat Assad semakin kuat. Situasi ini tidak diinginkan oleh Amerika Serikat. Karenanya pada 18 Februari 2019, Presiden AS Donald Trump meminta negara-negara Eropa untuk menerima kepulangan ratusan milisi ISIS. Dari sini bisa disimpulkan, jika menolak kepulangan WNI-ISIS, berarti Jokowi telah menentang Trump.

Sesungguhnya, pendeportasian WNI-ISIS merupakan ongkos yang harus dibayar karena orang nomor satu di Indonesia pernah menyampaikan pesan agar Assad untuk segera lengser dari kursi kepresidenannya. Pesan itu disampaikan Presiden RI lewat ahli tafsir asal Suriah, Syekh Muhammad Ali Ash-Shobuni, di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pada pada 7 Januari 2013,

"Suriah membutuhkan pemimpin lain yang lebih mencintai rakyatnya. Demikian yang disampaikan Bapak Presiden," ungkap juru bicara kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, di Istana Kepresidenan Bogor seperti dikutip Tempo.co.

Sekarang tinggal kembali kepada Jokowi dan kabinet yang dipimpinnya. Jika proposal Assad tersebut ditimbang cukup berat, lebih baik Jokowi menolaknya. Konsekuensinya, 660 WNI-ISIS akan dideportasi dari Suriah. Tapi, kepulangan mereka ke tanah air bukanlah masalah bagi Indonesia. Karena bagi Indonesia, kepulangan ke-660 WNI-ISIS tersebut bagaikan menggarami air laut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun