Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Orang Indonesia Jangan Kelaparan di Lumbung Pangan

19 Juli 2020   15:28 Diperbarui: 20 Juli 2020   02:34 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

" ... Orang bilang tanah kita tanah surga; Tongkat kayu dan batu jadi tanaman ..."

Koes Plus merilis lagu Kolam Susu itu pada 1973 silam. Penciptanya Yok Koeswoyo. Meski berdurasi pendek - 2 menit 23 detik -, tapi lagu ini "berumur panjang". Selain, menghuni peringkat ke-31 dalam daftar "150 Lagu Indonesia Terbaik" versi majalah Rolling Stone Indonesia.

Mengapa lagu dari album Volume 8 Koes Plus itu "panjang umur"? Begini. Lirik lagu itu tercipta pada tahun '70-an. Ketika tanah Indonesia terasa begitu subur, ijo royo-royo. Bahkan tongkat kayu dan batu saja bisa jadi tanaman. Bisa ditanami. Saking suburnya.

Faktanya, apa sekarang ini, di tahun 2020 ini, masih bisa "tongkat kayu dan batu" jadi tanaman?

Jawabannya, bisa! Buktinya, pergilah ke Nusa Tenggara Timur. Saksikan dengan mata kepala sendiri, betapa tanah bebatuan nan kekurangan air pun bisa menjadi media tanam.

Tanaman apa itu, kok sakti amat? Jawabannya: Sorgum (Sorghum bicolor).

Ngopi dan Kue Kembang Goyang berbahan dasar Sorgum. (Foto: Gapey Sandy)
Ngopi dan Kue Kembang Goyang berbahan dasar Sorgum. (Foto: Gapey Sandy)

Sorgum Bikin Decak Kagum

Menurut Prof Dr Ir H Hardinsyah MS, Ketua Umum PERGIZI PANGAN Indonesia, dan juga Guru  Besar Ilmu Gizi FEMA IPB Bogor, sorgum punya banyak keunggulan dibandingkan nasi. Misalnya, dari sisi protein, serat, dan sebagai serealia - kaya vitamin B-complex dan antioksidan.

"Sorgum juga mencegah gula darah tinggi - tapi kalau sebagai antidiabet masih harus diteliti secara klinis lebih jauh lagi, karena berkaitan dengan makanan lain yang turut dikonsumsi -, antiinflamasi pencegah radang, pencegahan sindrom metabolik yang memicu jantung koroner, diabet, kanker dan sebagainya, serta antihiperglikemia yang mencegah gula darah tinggi," paparnya dalam Diskusi Pangan Lokal dan Bedah Buku Sorgum "Benih Leluhur untuk Masa Depan", melalui kanal YouTube Yayasan Kehati (18/7/2020).

Sindrom metabolik dipicu antara lain oleh karena gula darah tinggi, hipertensi, kolesterol jahat yang tinggi dan kolesterol baik yang rendah, trigliserida, dan menumpuknya lemak di sekitar pinggang (bagian perut atau abdomen).

Tapi, Hardinsyah juga mengingatkan, jangan sampai bila kemudian sorgum dipromosikan, lalu diolah sedemikian rupa, menjadi tepung dan sebagainya, sehingga justru mengakibatkan keunggulan zat-zat yang dikandungnya menjadi berkurang.

Ilustrasi Sawah lahan basah. (Foto: (SHUTTERSTOCK.com/JET ROCKKKK)
Ilustrasi Sawah lahan basah. (Foto: (SHUTTERSTOCK.com/JET ROCKKKK)

Sorgum tumbuh subur di sela bebatuan, di lahan kering yang kurang air di Flores Timur, NTT. (Foto: Gapey Sandy)
Sorgum tumbuh subur di sela bebatuan, di lahan kering yang kurang air di Flores Timur, NTT. (Foto: Gapey Sandy)

Pangan itu HAM

Sementara itu, Manajer Program Ekosistem Agro Yayasan Kehati, Renata Puji Sumedi dalam paparannya menyebutkan, bicara pangan adalah bicara hak asasi manusia (HAM) juga.

Ia kemudian membeberkan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menyebutkan, ada lebih dari 5.529 sumber daya hayati tanaman pangan di nusantara.

"Penelitian dari Badan Ketahanan Pangan pada tahun ini juga menyebut, ada 100 jenis sumber karbohidrat, 100 kacang-kacangan, 250 sayuran, 450 buah-buahan yang sering kita konsumsi. Tapi mengapa, ironis bahwa kita masih ketergantungan impor sumber pangan tertentu, seperti terigu, jagung, beras dan lainnya," kesalnya.

Tambah lagi, menurut Renata, di daerah-daerah masih banyak kasus rawan pangan, gizi buruk, seiring peningkatan jumlah penduduk.

Berkaca dari kondisi yang sangat kompleks itu - disertai dengan kondisi bencana yang terjadi saat ini -, terbukti bahwa wilayah yang masyarakatnya masih punya ketahanan pangan lokal sanggup bertahan (survive) dari berbagai gelombang bencana. "Sayangnya, dalam hal pangan, kita berdaya, kita kaya, tapi kita masih bergantung kepada negara lain," tukasnya.

Makalah Ahmad Arif webinar Sorgum oleh Yayasan Kehati, 18 Juli 2020. (Sumber: Makalah Ahmad Arif)
Makalah Ahmad Arif webinar Sorgum oleh Yayasan Kehati, 18 Juli 2020. (Sumber: Makalah Ahmad Arif)

Lokasi pengembangan Sorgum di NTT oleh Yayasan Kehati. (Sumber: Makalah Renata Puji Sumedi)
Lokasi pengembangan Sorgum di NTT oleh Yayasan Kehati. (Sumber: Makalah Renata Puji Sumedi)

Selama ini, Yayasan Kehati, menurut Renata lagi, punya program pengembangan sorgum yang berkelanjutan. Sorgum sudah membawa banyak perubahan.

Ia mencontohkan pendirian Decoturisme Agrowisata (Desa Wisata) di Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT). "Selain itu, saat ini 95 persen profesi masyarakat merupakan petani. Potensi pertanian sawah dan kebun tanaman pangan, perkebunan, ikan air tawar dan ragam buah menggembirakan. Anak-anak muda tidak sungkan untuk kembali ke kampung lalu bertani," jelasnya.

Pangan itu Kedaulatan

Langsung dari NTT, Maria Loretha yang tergabung dalam Perhimpunan Petani Sorgum untuk Kedaulatan Pangan, menuturkan berbagai macam benih sorgum.

"Perburuan bibit sorgum sudah saya lakukan sejak 2007. Benih pertama yaitu "Watablolo Mea" berasal dari Agustinus yang tinggal di Desa Nobo, Kecamatan Ile Bura, Kabupaten Flores Timur. Lalu, "Mesak Hitam" asal Desa Siru, Kecamatan Lembor, Kabupaten Mabar. Kita tidak boleh mengarang-ngarang asal-usul bibit sorgumnya, yang berasal dari mana-mana saja," urainya.

Ia yang biasa dipanggil Mama Sorgum atau Mama Tata juga menyebut benih sorgum "Pega Lolo" juga diperolehnya dari Desa Pajinian, Kecamatan Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur. Benih itu berasal dari Bernadus Soge pada 2010 lalu.

Jenis Sorgum. (Sumber: Makalah Maria Loretha)
Jenis Sorgum. (Sumber: Makalah Maria Loretha)

wataru-hamu-tuji-5f140000d541df15645757a2.jpg
wataru-hamu-tuji-5f140000d541df15645757a2.jpg

"Adapun benih "Wolo Blolo" dari Kopong Goalin, dimana asal benihnya yaitu dari Desa Wolo, Kecamatan Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur, pada 2013. Masih banyak lagi jenis benih sorgum yang saya temukan. Misalnya, "Waiotan" dan "Wolo Blolo" pada 2011. Lalu "Wataru Hamu Tuji"(2012) asal Desa Hambuang Kecamatan Londalima, Sumba Timur. Dan, "Warujoru" (2014)," ujar Maria.

Saat melihat banyak sekali benih sorgum berwarna-warni, ia sempat berucap syukur sambil mempertanyakan kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada pangan lokal.

"Waktu saya melihat benih berwarna-warni, saya bilang begini: luar biasa, bagaimana pemerintah bisa begitu hebohnya dengan program beras, padi, jagung hibrida, tapi tidak pernah memperhatikan benih-benih lokal ini. Kekayaan aset milik kita. Padahal benih-benih ini tumbuh di lahan kering yang tidak bisa ditumbuhi padi," tutur istri dari Jeremias D Letor itu.

Menolak putus asa dikaruniai "kekayaan alam" lahan kering, Maria terus menyemai benih dan menguatkan gerakan kedaulatan pangan lokal dengan sorgum.

"Dalam gerakan kami, kami tidak pernah mengganggu lahan basah, lahan sawah. Biarkanlah sawah itu, hingga dapat ditanami padi. Enggak usah karang-karanglah sorgum atau jagung yang akan ditanam, kecuali sawahnya "sakit" seperti yang terjadi di Manggarai Barat. Kenapa lahan sawahnya "sakit", karena penggunaan pupuk urea yang sangat tinggi. Lahan basah itu biarkan saja, tanamkan padi, jagung. Tapi juga di lahan-lahan kering ini enggak usah dikarang-karanglah membuat sumur bor, cetak sawah segala macam, karena curah hujan di NTT sangat rendah sekali," tegasnya.

Aneka Jenis Sorgum. (Sumber: Makalah Maria Loretha)
Aneka Jenis Sorgum. (Sumber: Makalah Maria Loretha)

Di lahan kering yang ditumbuhi Sorgum di Flores Timur, NTT. (Foto: Gapey Sandy)
Di lahan kering yang ditumbuhi Sorgum di Flores Timur, NTT. (Foto: Gapey Sandy)

"Sorgum tumbuh dengan baik di NTT. Karbohidratnya rendah kalori, low immunoglobulin dan gluten free. Prospeknya luar biasa sebagai pengganti atau substitusi tepung terigu. Sebaiknya beri kami kesempatan mengembangkan makanan lokalnya sendiri yaitu sorgum, tidak usah ditawarkan mencetakh sawah basah atau menanam jagung, pagi. Kenapa kita ini harus seragam makan nasi sebagai makanan pokok?" tanyanya.

Pangan itu Adat Budaya

Kiprah Maria Loretha "menjadi epidemi" positif. Tidak sedikit masyarakat NTT yang kemudian kembali mengusung sorgum, sebagai kekuatan sekaligus simbol kedaulatan pangan lokal.

Hal itu diakui penggagas kelompok tani Ma'e Welu di Kotabaru, Ende, Flores Timur, Epit Wangge Embu Ngera. Ia menyatakan mengenal Maria sejak 2013. Perkenalan itu membuatnya sekaligus kagum pada sorgum dan "Mama Sorgum". Mulailah sejak itu, ia menggali pengetahuan dan mengembalikan harkat sorgum.

"Di daerah Ende Lio, tidak saja untuk dikonsumsi tapi sorgum juga sudah akrab digunakan untuk upacara adat. Misalnya, sorgum Varietas Hermada, untuk upacara adat, lebih dulu untuk bikin rumah, gantung dulu, selepas panen hasil tani, sebelum makan hasil panen yang lain, kami harus makan sorgumnya dulu saat upacara adat itu," terangnya.

Kenapa harus mengangkat kembali kejayaan sorgum? "Karena di daerah saya, petani lahan basah untuk padi, sudah sering mengalami kegagalan penghasilan dari padi, curah hujan kurang, panen padi pun berkurang. Makanya, sejak 2013, kami angkat kembali tanam sorgum, cocok untuk daerah tropis seperti NTT. Sorgum juga untuk menyehatkan tubuh. Bukti ada banyak nenek-nenek yang di kampung, umur panjang 70 - 80 tahun masih bisa jalan, kami lebih banyak makan pangan lokal, sorgum sebagai pengganti beras, umbi-umbian, sehingga bebas dari sakit asam urat, stroke, diabetes. Di Kotabaru, Ende, banyak nenek-nenek masih bisa bekerja di kebun, berjalan kaki jauh. Sorgum itu untuk kesehatan badan dan untuk upacara adat," urai Epit.

Maria Loretha, Epit Wangge dan pegiat sorgum di Kotabaru, Ende. (Foto: P3L NTT)
Maria Loretha, Epit Wangge dan pegiat sorgum di Kotabaru, Ende. (Foto: P3L NTT)

Makanan pokok sorgum, pengganti beras. (Foto: Gapey Sandy)
Makanan pokok sorgum, pengganti beras. (Foto: Gapey Sandy)

Pada 2021, ia menaksir bisa membuka 13 hektar lahan sorgum. "Saya memberi pengarahan kepada kelompok-kelompok masyarakat untuk menanam sorgum semakin banyak, dengan alasan untuk persediaan stok pangan kita sendiri, dan wilayah sendiri," pungkasnya.

Pangan itu Selera Lidah

Pemerintah baru-baru ini bertekad menjadikan Kalimantan Tengah sebagai lokasi lumbung pangan (food estate) nasional. Proyek ini berada di lahan seluas 165.000 hektar, dan targetnya sudah bisa beroperasi pada 2022 mendatang.

Pengembangan food estate di Kalteng ini bersifat strategis. Saking strategisnya, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pun didapuk oleh Presiden Joko Widodo sebagai penanggung jawab penguatan pembangunannya.

Sebelumnya, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) sudah mengingatkan, akan terjadinya potensi krisis pangan dunia yang sangat berbahaya di masa pandemi COVID-19.

Peringatan FAO pun direspon pemerintah dengan membangun proyek lumbung pangan.

Sementara itu, menurut penulis buku "Sorgum, Benih Leluhur untuk Masa Depan", Ahmad Arif, ditengah pandemi COVID-19 saat ini, Indonesia seolah sudah berada di bibir krisis pangan itu sendiri.

Cover buku Sorgum karya Ahmad Arif. (Sumber: gramedia.com)
Cover buku Sorgum karya Ahmad Arif. (Sumber: gramedia.com)

"Karena itu, mustinya saat pandemi ini jadi momentum untuk menyiasatinya. Karena, meskipun Indonesia dianggap sebagai negara agraris, dengan kekayaan sumber daya alam berlimpah, tapi kita punya ketergantungan impor pangan yang besar dari mancanegara, termasuk beras," ujar wartawan Kompas itu dalam paparannya bertajuk "Sorgum Dari Masa Lalu Untuk Masa Depan".

Arif melanjutkan, Indonesia punya ketergantungan impor gandum dalam bentuk produk tepung terigu, yang dari tahun ke tahun meningkat signifikan jumlahnya. Bahkan dua tahun lalu, negeri ini  menjadi pengimpor gandum terbesar di dunia. Dari negara yang baru makan gandum pada sekitar '70-an, tapi kini Indonesia sudah menjadi negara pengimpor gandum terbesar sedunia.

"Impor gandum ini menjadi persoalan serius, karena akhirnya membebani ekonomi nasional dan lainnya. Diperkirakan, sekitar 25 persen konsumsi (makanan) pokok karbohidrat kita adalah gandum. Bisa dibilang 75 persennya beras, dan sisanya gandum. Pangan-pangan lokal lain yang berlimpah, hampir-hampir tidak mendapat tempat memadai. Indonesia yang secara tradisional tidak memiliki  kultur mengonsumsi atau makan gandum, sekarang tergantung pada impor gandum. Ini juga berdampak pada kesehatan, misalnya dengan adanya kadar gluten yang memicu sakit pencernaan dan lainnya," tuturnya.

Sampai saat ini, menurut Arif, indonesia masih mengabaikan sumber-sumber pangan lokalnya. Banyak daerah di Indonesia, masih menderita kerentanan pangan.

"Tahun lalu, saya ke Papua. Pengalaman menuju ke Asmat dari Timika, saat di bandara saya harus antri dan berbagi tempat dengan paket-paket bantuan pangan, dalam bentuk mie instan. Mie-mie ini berbasis tepung terigu. Miris, karena dominasi tepung terigu juga sudah merangsek masuk ke Asmat yang sebenarnya kaya dengan budidaya pangan lokal," kisahnya.

Negara Utama Asal Impor Beras pada 2010-2019. (Sumber: BPS 2020)
Negara Utama Asal Impor Beras pada 2010-2019. (Sumber: BPS 2020)

Jebakan Gandum Impor. (Sumber: Makalah Ahmad Arif)
Jebakan Gandum Impor. (Sumber: Makalah Ahmad Arif)

Ekologi daerah-daerah se-nusantara ini, katanya lagi, sangat beragam. Tidak semua tempat cocok ditanami padi sawah, maupun padi ladang. Karena saat ini sudah berlangsung gangguan perubahan iklim, pola hujan bergeser dan lainnya.

"Jadi, kenapa daerah-daerah harus dipaksa menanam padi semuanya, yang tidak bisa ditumbuhkan sendiri? Presiden Soekarno pernah mengingatkan, kita tidak mungkin memenuhi kebutuhan pangan kita kalau hanya mengandalkan beras. Kalau kita ingin memenuhi kebutuhan pangan kita, maka kita harus melirik lahan-lahan kering kita bagaimana, lahan-lahan gambut kita seperti apa. Setiap tempat punya keunikan sendiri. Ragam pangan kita beragam dari Aceh sampai Papua," tegas Arif.

Tapi yang terjadi kini, sambungnya, seolah-olah Indonesia ini tidak punya pengetahuan kekayaan alam lokal sendiri. "Makanan pokok yang kita tahu hanya beras. Kita tidak tahu, masih banyak lagi makanan pokok lokal lainnya. Kita lapar, karena kita tidak punya pengetahuan tentang makanan pokok lokal. 

Kita belum mengoptimalkan apa yang kita punya dari berkah alam karena kompleksitas geologi yang sama. Jadi kita cuma dapat bencananya, tapi sumber daya alam yang dimiliki diabaikan," prihatinnya.

Sebelum menulis buku Sorgum ini, Arif yang mengaku tertarik dengan isu pangan, sudah lebih dulu menerbitkan buku tentang Sagu Papua. "Jadi kalau saat ini menerbitkan buku Sorgum, semata adalah untuk mengenalkan kembali ragam-ragam pangan yang memang selama ini diabaikan. 

Padahal sebenarnya, ragam pangan itu punya akar sejarah yang sangat panjang. Sorgum ini termasuk makanan yang paling awal didomestifikasi manusia, dan penyebarannya juga termasuk yang paling luas. Walaupun di banyak negara, sorgum cenderung banyak dimarjinalkan dalam porsinya sebagai sumber pangan," urainya.

Warga Flores Timur membuat kue camilan dari bahan sorgum. (Foto: Gapey Sandy)
Warga Flores Timur membuat kue camilan dari bahan sorgum. (Foto: Gapey Sandy)

Kemunduran sorgum akibat revolusi hijau swasembada beras. (Sumber: Makalah Ahmad Arif)
Kemunduran sorgum akibat revolusi hijau swasembada beras. (Sumber: Makalah Ahmad Arif)

Arif tidak heran, banyak orang yang tidak tahu sorgum itu apa, makanan jenis apa? "Padahal di relief Candi Borobudur sudah ada sorgum yang kalau di Jawa disebut "cantel". Spesifik di Flores, budaya sorgum masih kuat. Di Ende, sorgum bahkan sebagai obyek ritual yang sangat penting. 

Pesta panen di sana menggunakan sorgum. Seperti di Jawa ada Dewi Sri yang identik dengan padi, maka di Flores itu padinya adalah sorgum. Padahal kalau mau jujur, Dewi Sri bukan Dewi Padi, ia sebenarnya adalah Dewi Ragam Pangan. Dari tubuhnya muncul padi, umbi-umbian dan panganan lainnya. Jadi sepertinya sda semacam distorsi terhadap sosok Dewi Sri ini," terangnya.

Sampai era '60-an, sorgum masih dapat porsi perhatian yang lumayan. Tebukti ada dokumentasi harian Kompas terbitan 14 Maret 1968, yang menuliskan bahwa PT Sang Hyang Seri (SHS) - produsen benih milik pemerintah - di Sukamandi, Subang, Jawa Barat, masih mengembangkan sorgum.

Referensi lain, salah satu buku induk resep di Indonesia yaitu Mustikarasa (1967) menyebutkan, "... tjantel (sorgum) merupakan salah satu makanan utama di daerah Yogyakarta, terutama Kulon Progo."

Di berbagai daerah, sorgum punya nama sendiri-sendiri. Ia dinamakan gandrung, jagung cetrik degem (Sunda), oncer (Madura), jaba bendil, jaba bengkok (Batak), batar, batara tojeng (Makassar), bata (Bugis), wata blolong, wata solor, lolo (Flores), watar hamu, watar willi (Suma), watar holo (Lembata), jagung rote (Rote) dan lainnya. "Ini menunjukkan bahwa sorgum punya sebaran luas di masa lalu, dan peran penting dalam kuliner lokal," ujar Arif.

Webinar Sorgum Yayasan Kehati, 18 Juli 2020. (Sumber: Streaming YouTube Yayasan Kehati)
Webinar Sorgum Yayasan Kehati, 18 Juli 2020. (Sumber: Streaming YouTube Yayasan Kehati)

Zaman pun berubah. Kemunduran sorgum mulai terjadi era 70'an. Ketika terjadi Revolusi Hijau, yang kala itu mengobsesikan pemenuhan swasembada beras. Saat itulah bias pangan "harus beras" menjadi begitu sangat menguat.

"Beras menjadi item dari komponen gaji PNS, tentara, dan aparat daerah. Sehingga terjadi peminggiran pangan-pangan lokal di daerah-daerah. Jadi orang melihat seolah-olah PNS ya makan beras. Sehingga orang lokal melihat status pangannya seolah-olah lebih rendah daripada beras. Ini ditopang oleh program-program yang saat itu memprioritaskan beras, apalagi berasnya juga yang diintensifkan. Sampai sekarang ini masih terjadi sebenarnya, dengan program padi jagung kedelai (Pajale)," urai Arif.

Ia menduga, Revolusi Hijau punya kaitan dengan politik pangan global. Ini terjadi ketika gandum menjadi komoditas, yang awalnya masuk ke Indonesia sebagai bantuan pangan. Ketika itu negara-negara maju terutama Amerika Serikat, yang karena ekstensifikasi gandumnya bagus, maka "melempar" bantuan gandum ke negara-negara miskin. Di Indonesia, gandum itu kemudian diolah mejadi tepung terigu.

Selama 40 tahun terakhir, menurut Arif, gandum menggeser ragam pangan lokal nasional. Sekitar 25 persen pangan didominasi gandum, yang sumber asalnya dari impor.

Arif mencontohkan kedaulatan pangan yang berdampak positif. Kabupaten Timor Tengah Selatan, menjadi salah satu wilayah yang tingkat stunting atau kurang gizinya tertinggi di Indonesia. Tapi di sana, ada komunitas adat yang justru tidak punya kasus stunting. Komunitas Adat Boti, namanya. 

"Masyarakat di Boti menganggap bumi sebagai ibu, sehingga mereka mengolah bumi dengan hormat. Termasuk pantang menjual tanah miliknya kepada siapapun. Mereka menanam beragam macam tanaman, salah satunya sorgum yang masih mereka tanam dan mereka konsumsi. Kalau di Boti, kita akan disuguhi beragam macam-macam budidaya panganan, pagi makan jagung, pisang, jagung bose, kunci mereka adalah makan yang beragam. Mereka beradaptasi dengan iklim yang kering, terbatas airnya, terbatas daya dukung alamnya," jelasnya.

Pesan Bung Karno. (Sumber: Makalah Ahmad Arif)
Pesan Bung Karno. (Sumber: Makalah Ahmad Arif)

Kasus sebaliknya malah terjadi di Sumba Timur, sebelum dampak Revolusi Hijau menguat di era '70-an. Ketika itu, Sumba Timur masih bisa sukses memenuhi kebutuhan pangannya sendiri, salah satunya dengan sorgum. Sorgum itu tanaman biji-bijian yang mampu beradaptasi dengan iklim Sumba yang sangat kering. "Tapi kemudian sorgum bergeser kepada padi, sesudah program tanam padi diintensifkan oleh pemerintah, akibatnya kedaulatan pangan di Sumba Timur pun hilang. Kita harus belajar dari pengalaman kegagalan  melakukan penyeragaman pangan yaitu beras," terangnya.

Arif menegaskan, dirinya mengusulkan konsep pangan Indonesia yaitu konsep pangan berbasiskan nusantara, yang beragam. Keragaman ekologi, keragaman budaya harus menjadi konsep dasar. "Jangan sampai kita di-drive, pangan harus seragam, harus beras apalagi hanya gandum saja, misalnya. Tapi juga kita tidak bisa memaksakan sorgum ada di seluruh daerah, itu enggak bisa juga. Di daerah-daerah lain, seperti sagu dan lainnya yang cocok, ya harus terus dikembangkan," pintanya.

Penganekaragaman pangan lokal, lanjutnya, harus dilakukan secara terintegrasi dari aspek budidaya hingga konsumsi. Aspek petani menjadi kunci dari semua yang harus dilakukan. "Jangan sampai misalnya, petani didorong untuk menanam gandum yang kualitasnya baik, tapi ia menjualnya dan membeli penggantinya dalam bentuk beras miskin dan lainnya. Tanaman yang dibudidayakan juga harus memperkuat daya tahan ekonomi petaninya sendiri," ujarnya.

Membuat gula cair dan kecap dari sorgum. (Foto: Gapey Sandy)
Membuat gula cair dan kecap dari sorgum. (Foto: Gapey Sandy)

Selain juga aspek konsumsi yang harus diperhatikan dan jadi pekerjaan rumah  besar, menurut Arif, pangan adalah soal selera juga. "Kedaulatan pangan kita kalau tidak dimulai dari lidah akan sulit juga. Saya percaya pangan yang terbaik adalah yang memang ditumbuhkan di alam kita sendiri dan memiliki sejarah panjang serta dibudidayakan juga dikonsumsi oleh masyarakat itu sendiri," jelasnya.

o o O o o

Baca juga:

Tuhan Titipkan Sorgum lewat Tangan Maria Loretha

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun