Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pulau Pisang Tak Punya SMA, Jokowi Malah Serukan SDM Unggul

13 September 2019   09:44 Diperbarui: 18 September 2019   08:17 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana anak-anak membantu menurunkan ikan hasil tangkapan nelayan di Pelabuhan Koala di Kota Krui, Pesisir Barat, Lampung Barat. (Foto: Gapey Sandy)

Shela termasuk pelajar yang beruntung. Bisa melanjutkan sekolah hingga jenjang SMA. Empunya nama panjang Shela Yusanti ini sekarang duduk di bangku kelas 3 SMAN 1 Pekon/Desa Rawas, Kecamatan Pesisir Tengah, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung.

Mengapa Shela termasuk beruntung? Begini. Saya awali dulu dengan lokasi wilayah Shela tinggal.

Shela bermukim di Pulau Pisang, pulau kecil yang luasnya hanya sekitar 64 km2, di seberang barat Provinsi Lampung. Pulau Pisang sekaligus menjadi nama kecamatan yang menaungi enam pekon/desa, yaitu Pekon Pasar Pulau Pisang (tempat Shela tinggal bersama orangtuanya), Sukamarga, Pekon Lok, Bandar Dalam, Sukadana, dan Labuhan. Kecamatan Pulau Pisang ada di Kabupaten Pesisir Barat.

Shela Yusanti, pelajar asal Pekon Pasar di Pulau Pisang. (Foto: Dokpri. Shela Yusanti)
Shela Yusanti, pelajar asal Pekon Pasar di Pulau Pisang. (Foto: Dokpri. Shela Yusanti)

Pesisir Barat merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Lampung Barat. Peresmiannya dilakukan pada 22 April 2013. Kabupaten dengan ibukota Krui ini punya moto Helauni Kibaghong yang artinya "Indahnya Kebersamaan". 

Luas Kabupaten Pesisir Barat sekitar 2.889,88 km persegi atau hanya 8,39 persen dari luas Lampung. Memiliki 11 kecamatan yaitu Bengkunat (terluas), Ngaras, Ngambur, Pesisir Selatan, Krui Selatan (terkecil), Pesisir Tengah, Way Krui, Karya Penggawa, Pesisir Utara, Lemong, dan Pulau Pisang. Untuk pekon jumlahnya 116, plus 2 kelurahan.

Shela menamatkan pendidikan dasar di SDN 1 Pasar Pulau Pisang. Sekolah yang bangunannya merupakan peninggalan Belanda. Lokasinya tidak jauh dari rumah Shela. Ia ingat betul, ketika lulus pada 2013 lalu, teman SD seangkatannya hanya 16 siswa saja. Tamat SD, Shela sudah jadi anak rantau. 

Maklum, orangtuanya memilih untuk menyekolahkan Shela ke seberang pulau, tepatnya di SMPN 2 Labuhan Jukung, Pesisir Barat, Krui. Sulung dari tiga bersaudara itu pun tidak lagi tinggal bersama orangtuanya. Shela indekos.

"Ayah tuh pinginnya aku sekolah ke Krui, karena lebih maju di sana, kayak jadi semacam sekolah favorit gitu," ujar Shela awal September 2019 kepada penulis di Pulau Pisang.

Bangunan Taman Kanak-kanak Dharma Wanita Pulau Pisang yang kian tidak terawat. (Foto: Gapey Sandy)
Bangunan Taman Kanak-kanak Dharma Wanita Pulau Pisang yang kian tidak terawat. (Foto: Gapey Sandy)

Fasilitas bermain Taman Kanak-kanak Dharma Wanita Pulau Pisang yang kian tidak terawat. (Foto: Gapey Sandy)
Fasilitas bermain Taman Kanak-kanak Dharma Wanita Pulau Pisang yang kian tidak terawat. (Foto: Gapey Sandy)

Indekos merupakan solusi pilihan. Tak mungkin rasanya harus menjadi penglaju, pergi-pulang untuk bersekolah setiap hari dari Pulau Pisang ke Krui. Kok enggak bisa? Ya iyalah. Dari rumahnya, Shela harus naik perahu bermesin, tepatnya dari dermaga Labuhan Pulau Pisang ke Pelabuhan Koala di Krui. Perjalanan mengarungi lautan dengan ombak yang "tidak bisa tenang" itu sekitar 45 hingga 50 menit. 

Ongkosnya untuk satu kali trip Rp 25.000,- Artinya kalau harus pergi-pulang, Rp 50.000,- Itu baru ongkos naik perahu plus memunggungi ombak lautan lho. Belum lagi, ongkos dari dermaga Pelabuhan Koala ke lokasi sekolah yang tetap harus naik kendaraan, minimal ojek motor.

Tapi, semua itu harus diberi garis tebal, hanya bisa dilakukan pada musim angin timur yang bersahabat. Enam bulan saja durasinya. Selebihnya, enam bulan berikutnya, ketika musim angin barat maka "kelar" sudah untuk bisa menyeberang dari dermaga Labuhan Pasar Pulau Pisang ke Koala dengan tenang tanpa was-was. Maklum, itulah musim ombak besar.

Sekretaris Pekon Pasar Pulau Pisang, Syahril menegaskan kondisi rutin per enam bulanan itu. "Nelayan, kami semua di sini, hanya bisa melaut mencari ikan selama enam bulan. Selebihnya, ketika musim angin barat, kami sulit pergi melaut. Makanya, saat mencari ikan ketika sedang masanya lagi "macan" atau mudah dan banyak mendapat ikan, nelayan berusaha memperoleh hasil paling maksimal, demi menutup masa paceklik di musim angin barat pada enam bulan berikutnya," tuturnya ketika berbincang dengan penulis di teras rumahnya.

SDN 1 Pasar Pulau Pisang peninggalan zaman kolonial Belanda. Almarhum Taufik Kiemas, suami Megawati Soekarnoputri pernah bersekolah di sini. (Foto: Gapey Sandy)
SDN 1 Pasar Pulau Pisang peninggalan zaman kolonial Belanda. Almarhum Taufik Kiemas, suami Megawati Soekarnoputri pernah bersekolah di sini. (Foto: Gapey Sandy)

SDN 1 Pasar Pulau Pisang peninggalan zaman kolonial Belanda. (Foto: Gapey Sandy)
SDN 1 Pasar Pulau Pisang peninggalan zaman kolonial Belanda. (Foto: Gapey Sandy)

Kalau nelayan saja siap-siap tidak melaut bila musim ombak besar, apalah pula Shela dan "Shela-Shela" lainnya, bila harus menjadi penglaju menembus lautan, pergi-pulang setiap hari untuk bersekolah dari Pulau Pisang ke Krui, ke Labuhan Jukung dan sekitarnya? Sulit dibayangkan. Itulah mengapa, indekos menjadi alternatif harapan agar rutinitas bersekolah tidak pernah ketinggalan.

Berapa biaya indekos untuk bersekolah? "Minimal, hanya untuk satu kamar bisa mencapai Rp 3 juta per tahun," jelas Shela. Belum lagi uang saku yang harus disiapkan orangtua, bila anaknya indekos, minimal Rp 100 hingga Rp 200 ribu per minggu.

Shela sendiri mengaku, tiap akhir pekan menjemput kiriman uang saku dan sayur-mayur plus lauk pauk siap saji yang tidak cepat basi dari orangtua di Pulau Pisang. Penjemputan dilakukan di dermaga Pelabuhan Koala. "Biasanya, sayur mayur yang dimasak dan tidak cepat basi, termasuk lauk-pauk tahan lama, seperti sambal juga orak-arik tempe kering," tuturnya.

SMPN 1 Pulau Pisang, satu-satunya SMP yang ada di Pulau Pisang. (Foto: Gapey Sandy)
SMPN 1 Pulau Pisang, satu-satunya SMP yang ada di Pulau Pisang. (Foto: Gapey Sandy)

SMPN 1 Pulau Pisang. (Foto: Gapey Sandy)
SMPN 1 Pulau Pisang. (Foto: Gapey Sandy)

Begitulah kisah perjuangan dan kegetiran anak-anak Pulau Pisang, bila harus melanjutkan sekolah (SMA) ke pulau seberang. Pangkal persoalannya satu saja: TIDAK ADA SMA DI PULAU PISANG! Alhasil, merantau harus jadi pilihan. 

Yang siap, ya terpaksa menjalaninya, lahir-batin. Termasuk, besaran tanggungan biaya yang sudah harus disiapkan orangtua secara kontan. Sementara yang tidak siap, putus sekolah menjadi jawabannya.

Disinilah keberadaan sekolah SMA di Pulau Pisang menjadi begitu mendesak. Shela, bahkan sampai memohon-mohon kepada semua pihak yang berkepentingan. "Mohon diusahakan ada SMA di Pulau Pisang, sayanglah kalau anak-anak di sini harus putus sekolah. Mereka itu kan berhak meraih masa depan juga," ujarnya.

Pinta senada disampaikan Syahril.  "Masyarakat berharap, bagaimana caranya supaya ada sekolah SMA di Pulau Pisang ini. Apalagi dulu pernah ada Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di sini, tapi sejak itu ditutup, maka tidak ada lagi pendidikan SMA atau setara SMA di pulau kami," tutur sekretaris pekon ini.

Syahril, Sekretaris Pekon Pasar di Pulau Pisang (kiri) bersama Suharne, sesepuh pekon dan pemilik home stay Wisma Komala di Pulau Pisang (kanan).  (Foto: Gapey Sandy)
Syahril, Sekretaris Pekon Pasar di Pulau Pisang (kiri) bersama Suharne, sesepuh pekon dan pemilik home stay Wisma Komala di Pulau Pisang (kanan).  (Foto: Gapey Sandy)

Pun demikian, Shela dan Syahril sama-sama mengakui. Tantangan terbesar menyelenggarakan pendidikan SMA di Pulau Pisang yakni pada jumlah murid yang bisa dihitung jari. Meskipun sebenarnya, kalau saja ada SMA di Pulau Pisang, maka siswanya tinggal menunggu lanjutan para lulusan SMPN 1 Pulau Pisang, satu-satunya SMP di pulau ini.

Lalu, bagaimana dengan infrastruktur gedung dan fasilitas lainnya? Duh, rasanya kalau mau disederhanakan sih bisa saja, misalnya "menumpang" kelas pada SMPN 1 Pulau Pisang yang sudah ada. Atau, dibangunkan satu-dua kelas khusus untuk SMA-nya. Bila ada keinginan, niat dan tekad kuat, pasti di Pulau Pisang bisa kok diselenggarakan pendidikan jenjang studi SMA.

Mengapa harus dengan tekad kuat untuk menyelenggarakan pendidikan SMA di pulau ini? Shela memberikan jawaban telaknya. "Menyelamatkan anak-anak lulusan SMP supaya jangan putus sekolah," ujarnya.

PAUD
PAUD "Anggrek" dan Taman Pendidikan Al Qur'an di Pekon Pasar Pulau Pisang. (Foto: Gapey Sandy)

Suasana ruang kelas di PAUD
Suasana ruang kelas di PAUD "Anggrek" dan Taman Pendidikan Al Qur'an di Pekon Pasar Pulau Pisang. (Foto: Gapey Sandy)

Menurut gadis berhidung mancung ini, meski Pulau Pisang merupakan wilayah terpencil tapi perlu dibangunkan dan diselenggarakan pendidikan SMA. "Agar anak-anak di sini bisa melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya. Mereka, selama ini, ada yang memilih putus sekolah, karena ketiadaan fasilitas SMA di pulau. 

Kalaupun harus merantau untuk melanjutkan SMA, mereka berpendapat untuk apa dilakukan? Selain karena enggak ada biaya juga, mereka pun berpikiran nanti ujung-ujungnya toh setamat SMA jadi pengangguran juga," urainya.

Pemikiran itu akan menjadi berbeda, kata Shela, kalau ada SMA di Pulau Pisang. "Mereka bisa sekolah di sini, tinggal dengan orangtua mereka, bisa terawasi masuk sekolah dan tidaknya, lalu tidak perlu biaya yang mahal. 

Karena selama ini, ada juga anak-anak yang meskipun sudah merantau untuk sekolah SMA, tapi kemudian karena terpengaruh lingkungan negatif, dan tidak terawasi oleh orangtua maka membuat kesalahan demi kesalahan, seperti merokok di sekolah, membolos, tidak disiplin dan lainnya. 

Dari pantai Pulau Pisang menatap matahari terbit. (Foto: Gapey Sandy)
Dari pantai Pulau Pisang menatap matahari terbit. (Foto: Gapey Sandy)
Akibatnya, poin pelanggaran di sekolah semakin banyak, sehingga ketika sudah mencapai 100 poin kesalahannya, orangtua mereka dipanggil guru di sekolah, dan anak mereka terpaksa dikeluarkan dari sekolah. Kasihan kan orangtua mereka juga kalau sudah seperti itu. Semua cuma gara-gara tidak ada SMA di pulau kami ini," ungkapnya.

Sekretaris Pekon Pasar Pulau Pisang, Syahril membenarkan penuturan Shela. "Ya, tidak semua anak SMA bermasalah seperti itu, meskipun ada juga yang kayak begitu. Sejauh ini, para orangtua di sini memang menganggap bahwa anak-anak mereka yang sekolah itu ibarat jadi raja, karena memang harus dibiayai dan didukung pendidikannya. 

Hanya saja, dari anaknya sendiri kadang sudah tahu dan merasakan betapa mudah mendapatkan uang dengan menangkap ikan, sehingga karena sudah keenakan mencari dan pegang uang membuat mereka lupa melanjutkan sekolah," ujarnya seraya menambahkan semangat orangtua di Pulau Pisang untuk menyekolahkan anak-anaknya selalu antusias.

Pelabuhan di Pekon/Desa Pasar, Pulau Pisang. (Foto: Gapey Sandy
Pelabuhan di Pekon/Desa Pasar, Pulau Pisang. (Foto: Gapey Sandy

Penulis di Gedung Serba Guna Pekon Pasar Pulau Pisang. (Foto: Gapey Sandy)
Penulis di Gedung Serba Guna Pekon Pasar Pulau Pisang. (Foto: Gapey Sandy)

Sekilas Data Pulau Pisang

Sebagai bagian dari Kabupaten Pesisir Barat, Kecamatan Pulau Pisang yang beribu-kota kecamatan Pasar Pulau Pisang, luasnya hanya 64 km2. Masih lebih besar dibandingkan Kecamatan Krui Selatan dengan ibu kota kecamatan Way Napal yang hanya 36,25 km2.

Berdasarkan data BPS Kabupaten Pesisir Barat yang dirilis 2018, kecamatan terluas yaitu Lemong dengan 454,97 km2. Disusul kemudian Kecamatan Pesisir Selatan seluas 409,17 km2.

Penduduk Pulau Pisang berjumlah 1.582 jiwa. Seluruhnya terdata muslim, dan memang ada enam masjid di enam pekon/desa. Tapi yang menarik, menurut data BPS, ada data satu pura di pulau ini. Sayangnya, ketika di Pulau Pisang saya lupa memastikan keberadaan pura itu dengan perangkat pekon.

Masih dari sumber yang sama, di Pulau Pisang tidak ada Raudlatul Atfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), apalagi Madrasah Aliyah (MA).

Hanya ada satu Taman Kanak-kanak (TK) dengan dua guru, tapi BPS menyebut, muridnya tidak ada alias nihil. Sekolah Dasar Negeri (SDN) ada dua dan punya 20 guru dengan 130 murid. SMP Negeri hanya satu -- SMPN 1 Pulau Pisang - dengan 78 murid dan 14 guru. Sedangkan pendidikan jenjang SMA dan SMK, sama sekali tak ada di Pulau Pisang.

Wisatawan dari Ladies Traveler di Pulau Pisang. Ada banyak spot foto instagramable saat susuri pedesaan di Pulau Pisang. (Foto: Gapey Sandy)
Wisatawan dari Ladies Traveler di Pulau Pisang. Ada banyak spot foto instagramable saat susuri pedesaan di Pulau Pisang. (Foto: Gapey Sandy)

Ada banyak spot foto instagramable saat susuri pedesaan di Pulau Pisang. (Foto: Gapey Sandy)
Ada banyak spot foto instagramable saat susuri pedesaan di Pulau Pisang. (Foto: Gapey Sandy)

Tidak adanya TK di Pulau Pisang, bisa saya pahami. Karena saat menyusuri desa, saya sempat melihat bangunan TK yang sudah tidak terawat karena memang sudah tidak digunakan lagi. 

Sejumlah wahana permainan di taman bermain depan ruang kelas TK, juga sudah rusak nyaris tak berbekas. Ayunan, jungkat-jangkit, perosotan dan lainnya. Di salah satu tembok bangunan TK masih tertulis: "PNPM Mandiri Perdesaan", dan "TK Dharma Wanita Pulau Pisang".

Adapun kegiatan pendidikan yang saya sempat saksikan masih berlangsung yaitu Taman Pendidikan Al Qur'an (TPA). Lokasinya berseberangan dengan Masjid Pekon Pasar Pulau Pisang. Oh ya, TPA ini juga menjadi satu dengan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Anggrek. Usai shalat Maghrib, dari kegiatan di TPA itu terdengar suasana anak-anak belajar mengaji bacaan surat-surat pendek Al Qur'an.

Alhasil, niatnya pingin jalan-jalan, senang-senang di Pulau Pisang tapi begitu pulang dari sana, saya malah enggak bisa tenang. Mikirin anak-anak di Pulau Pisang yang terancam enggak bisa melanjutkan sekolah ke SMA. 

Kalaupun harus merantau dan indekos, syukur seandainya bisa dilakoni dengan benar. Artinya sekolah benar, belajar benar, dan lulus dengan benar. Tidak terpengaruh hedonisme kota tempat mereka merantau.

Prioritas pembangunan SDM, tapi coba tengok, tidak ada sekolah SMA di Pulau Pisang. (Ilustrasi: liputan6.com)
Prioritas pembangunan SDM, tapi coba tengok, tidak ada sekolah SMA di Pulau Pisang. (Ilustrasi: liputan6.com)

Trenyuh ...

Apalagi kalau mengingat lagi pidato kebangsaan presiden terpilih Joko Widodo di Sentul Internasional Convention Center, Bogor, Jawa Barat, pada Minggu (14/7/2019). Ketika itu, Pakde menuturkan, "Pembangunan SDM. Kita akan memberikan prioritas pembangunan kita pada pembangunan sumber daya manusia. Pembangunan SDM menjadi kunci Indonesia ke depan ..."

Dalam pidato bertajuk "Visi Indonesia" itu, Jokowi pun menjanjikan, "Kualitas pendidikannya juga akan terus kita tingkatkan. Bisa dipastikan pentingnya vocational training, pentingnya". 

Sebulan sesudah pidato itu, Republik Indonesia memperingati HUT Kemerdekaan ke-74. Slogan yang diusung sejalan dengan komitmen Jokowi dalam pidato tadi. Yaitu, "SDM Unggul Indonesia Maju".

Duh Pakde, soal wujudkan SDM Unggul itu ... pergi deh ke Pulau Pisang, banyak yang bisa dilakukan bersama Bude Iriana Joko Widodo, membangun fasilitas pendidikan, menyelenggarakan studi SMA (suapaya anak-anak enggak putus sekolah), mengembangkan industri rumahan ibu-ibu dengan karya tapis sulam emas, meningkatkan perekonomian warga dengan kuliner, produk dan kerajinan lain yang khas pesisir, khas kelautan dan perkebunan.

Yuk, Pakde, Bude ... ajak cucunda Jan Ethes juga deh pasti senang juga tuh main pasir "bangun istana" di pantai Pulau Pisang yang sangat joss!  

Duh .., saya jadi terngiang salam perpisahan dari Suharne, sesepuh Pekon Pasar, Pulau Pisang, ketika saya hendak naik perahu untuk kembali pulang ke Jakarta. Katanya setengah berteriak, "Jangan lupa, bawa (Presiden) Jokowi ke sini".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun