Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Blogger Dilarang Nulis Berita?

18 September 2017   11:16 Diperbarui: 20 September 2017   08:53 4342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pangeran Harry ketika tugas militer ke Afghanistan. (Foto: Reuters)

"Wartawan Radio Elshinta tidak menerima imbalan dalam melakukan peliputan berita".

Rekaman kalimat ini saya dengar berulang-ulang di FM 90.0 MHz. Bukan sekadar kalimat, tapi salah satu Code of Conduct yang diberlakukan radio berita ini agar para wartawannya tidak menerima imbalan apapun dari narasumber. Katakanlah, semisal menerima 'amplop' atau materi dalam bentuk lain dari narasumber terkait peliputan berita dan informasi.

Selain berbekal Code of Conduct dari manajemen perusahaan, para wartawan Radio Elshinta tentu juga terikat dengan aturan lain yakni Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Inilah kode etik berisi 11 pasal yang mengatur profesi jurnalis supaya tidak sekali-kali berlaku salah. Dalam hal 'amplop' misalnya. Pasal 6 KEJ mengatur, "Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap".

Khusus mengenai 'amplop' ini, kita cukup bisa memahami bahwa 'transaksi dibalik berita' memang harus dilarang. Karena kalau 'serah-terima' imbalan materi ini dibiarkan, maka bisa terjadi hal-hal buruk berikut ini, seperti misalnya:

  • Jurnalis melakukan keberpihakan dalam penulisan berita
  • Merasa ewuh-pakewuh dalam proses pemberitaan
  • Mempraktikkan "berita semir" dengan mengilaukan fakta dan data realita yang buruk

Dalam bukunya Teknik Melakukan & Melayani Wawancara, Abdullah Alamudi menulis, wartawan tidak boleh menerima 'amplop' atau hadiah dalam bentuk apapun --- termasuk doorpize --- dari narasumber supaya dia memberitakan atau tidak memberitakan informasi atau fakta untuk kepentingan narasumber.


Gamblang sekali aturan masalah 'amplop' ini. Sama gamblangnya jika itu dilanggar oleh jurnalis. Pertanyaannya, masih adakah jurnalis yang hingga kini berkomitmen menegakkan aturan ini? Adakah jurnalis yang menolak ketika narasumber menyodorkan 'amplop'? Atau, adakah jurnalis yang mengembalikan uang transfer dari narasumber yang kadung masuk ke rekening banknya? Ya, saya yakin masih ada kok jurnalis-jurnalis yang berintegritas seperti itu.

Kalau ada kisah jurnalis yang jujur dan integritasnya teruji dengan salah satunya menolak 'amplop' maupun imbalan materi dalam bentuk lain dari narasumbernya, silakan kisahkan saja di kolom komentar. Jangan ragu menceritakan, syukur-syukur jadi suri teladan.

Bergeser ke dunia blogging. Apakah aturan pelarangan 'amplop' ini berlaku juga kepada blogger maupun jurnalis warga (citizen journalism)? Jawaban sederhananya, tentu tidak. Karena, meskipun sama-sama meliput berita dan informasi, tapi blogger maupun jurnalis warga bukanlah pekerja Pers. Mereka bukan jurnalis, bukan wartawan, sehingga tidak memiliki keterikatan dengan KEJ, apalagi Code of Conduct karena mereka bukan pekerja yang bekerja pada perusahaan Pers,

Maaf-maaf, blogger maupun jurnalis warga "bekerja" melakukan liputan berita dan informasi tanpa aturan. Tak ada kode etik yang mengatur secara profesi. Apalagi, Code of Conduct yang mengikat dari manajemen perusahaan.

Kalau begitu, boleh dong blogger maupun jurnalis warga menerima 'amplop' terkait peliputan berita dan informasi dari narasumber? Jujur, saya ngeri menjawabnya. Kalau dijawab, ya boleh. Khawatirnya mengesankan "legalisasi" penerimaan 'amplop', beuuuhhhh. Sedangkan bila dijawab, tidak boleh. Lha, mau pakai aturan yang mana, wong blogger dan jurnalis warga itu bekerja tanpa regulasi formal, termasuk swa-regulasi yang (seharusnya) mereka ciptakan dan sepakati sendiri secara bersama antar-mereka.

Contoh swa-regulasi yang pernah lahir misalnya, Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia, yang wajib ditaati seluruh pekerja di dunia advertising. Mustinya, karena blogger dan jurnalis warga bukan termasuk Pers --- dan berimplikasi tidak punya kode etik apapun yang musti dipatuhi ---, antar-blogger dan jurnalis warga ini duduk bareng untuk rembukan dan melahirkan semacam Tata Krama dan Tata Cara.

Ada cerita menarik terkait jurnalis, blogger dan 'amplop'. Cerita ini sudah sering saya dengar dari kalangan jurnalis. Begini.

Seorang jurnalis dari media mainstream pernah hadir pada sebuah acara yang diselenggarakan oleh brand terkemuka. Jurnalis ini hadir sesuai undangan dan melakukan peliputan. Rupanya, pada saat acara berakhir, panitia penyelenggara memberikan 'amplop' kepada sang jurnalis, selain selembar kertas untuk ditandatangani, alih-alih sebagai tanda terima.

Tapi ternyata, jurnalis ini tidak sendirian hadir untuk mewakili perusahaan Pers atau media tempatnya bekerja. Tanpa setahu si jurnalis, rupanya Pimpinan Redaksi media yang bersangkutan juga hadir pada acara tersebut. Entah karena kedekatan hubungan antara Pimpinan Redaksi dengan si empunya hajat, atau hadir karena undangan khusus.

Pendek kata, Pimpinan Redaksi ini akhirnya tahu bahwa ada jurnalisnya yang hadir dan menerima pemberian 'amplop' dari panitia penyelenggara. Masalah pun muncul.

Esok harinya, di kantor media tempat keduanya bekerja, Pimpinan Redaksi memanggil dan meminta pertanggung-jawaban dari si jurnalis karena telah melanggar Code of Conduct, dengan menerima pemberian 'amplop' dalam melakukan peliputan berita.

Tapi apa yang terjadi sungguh tak terduga. Ketika si jurnalis dihadapkan pada tuntutan pertanggung-jawaban, rupanya ia memiliki jawaban kunci yang membuat Pimpinan Redaksinya menggeleng-gelengkan kepala. Mengapa? Ternyata, meski mengaku bahwa dirinya hadir pada acara yang dimaksud dan menandatangani tanda terima pemberian 'amplop', tetapi tandatangan dan identitas yang dibubuhkan oleh si jurnalis adalah bukan atas nama profesinya sebagai jurnalis. Melainkan, ia menandatangani tanda terima itu sebagai seorang BLOGGER!

Kasus pun tak dapat dilanjutkan, Ambyaaaar!

Pertanyaan pun muncul, apa benar blogger boleh menerima 'amplop' atau imbalan materi dalam berbagai bentuk? Lagi-lagi saya tak akan begitu saja menjawabnya. Karena, enggak bisa juga menyamakan secara apple to apple antara jurnalis dengan blogger.

Blogger maupun jurnalis warga temtu sudah biasa dalam menulis berita maupun informasi, berdasarkan liputan, wawancara dan lainnya seperti laiknya para jurnalis. Bukankah Citizen Journalism memang diartikan sebagai aktivitas warga biasa yang bukan berprofesi sebagai wartawan profesional, tetapi melakukan peliputan berita dan informasi dengan cara mengumpulkan fakta di lapangan atas sebuah kejadian, peristiwa, untuk kemudian disusun, ditulis, dan dilaporkan hasil liputannya ini melalui kanal media-media sosial. Nah masalahnya, lagi-lagi nih, aturan mana yang mengikat blogger dan jurnalis warga untuk tidak boleh menerima 'amplop' maupun imbalan materi dalam bentuk lain dalam kaitan peliputan?

Coba, kalau pembaca punya jawaban dan pandangan tersendiri mengenai hal ini, silakan dituangkan dalam kolom komentar. Atau, membuat tulisan khusus sebagai sebuah jawaban.

Pada 2008, heboh Pangeran Harry ikut perang ke Afghanistan. (Foto: Reuters)
Pada 2008, heboh Pangeran Harry ikut perang ke Afghanistan. (Foto: Reuters)
Kisah lain yang membedakan antara Pers yang terikat KEJ plus Code of Conduct, dengan blogger yang nihil regulasi adalah kasus media setenar BBC yang "disalip" blog dan news aggregator Drudge Report milik Matt Drudge di Amerika Serikat.

Bermula dari tugas militer Pangeran Harry, putra Pangeran Charles ke lokasi perang di Afghanistan. Pangeran pewaris tahta Kerajaan Inggris ini bergabung dalam kesatuan Joint Tactical Air Control (JATC) yang antara lain punya tugas melakukan penyerangan udara ke suatu wilayah.

Pahit bagi BBC. Meskipun tim redaksi mereka tahu bahwa Pangeran Harry ikut tugas militer ke Afghanistan, tapi mereka didesak oleh atase militer Kerajaan Inggris untuk tidak mempublikasikan aktivitas Pangeran Harry selama waktu tertentu. Pemberlakukan embargo berita ini disepakati. BBC bisa memahami bahwa apabila tugas militer Pangeran Harry diberitakan, pasti akan menjadi alarm bahaya tersendiri bagi keselamatan nyawa putra mahkota itu selama di arena konflik bersenjata. Artinya, BBC baru boleh memberitakan aktivitas militer Pangeran Harry di Afghanistan sesudah tugas dan misi tersebut selesai.

Tapi apa yang terjadi? Demi mengendus berita Pangeran Harry ikut tugas militer ke Afghanistan, blog Drudge Report langsung saja mempublikasikan hal tersebut. Sontak dunia terperangah! BBC pun terperanjat, tak menyangka bahwa ada blog yang lebih dulu memberitakan aktivitas militer Pangerang Harry di Afghanistan. Nah, gegara ini, tak mau kalah set, BBC pun tancap gas memberitakan pula tugas militer Pangeran Harry. Kesepakatan embargo berita dengan pihak atase militer Kerajaan Inggris menjadi seolah batal.

Bisa dibayangkan betapa murka atase militer Kerajaan Inggris kepada BBC. Militer merasa BBC melanggar kode etik jurnalistik dengan menafikkan kesepakatan embargo berita. Tapi, BBC berkilah dengan mengajukan alasan bahwa yang membocorkan terlebih dahulu berita dan informasi rahasia tentang tugas militer Pangeran Harry ke Afghanistan adalah bukan mereka, melainkan sebuah blog di Amerika Serikat, Drudge Report.

Konon, gegara ini Pangeran Harry buru-buru ditarik penugasannya dari kancah perang Afghanistan.

Kisah ini menggambarkan betapa blog memang tidak punya "aturan" untuk ditaati. Blog dan blogger bisa sa'penake dhewe.

* * * * *

Lantas, aturan dan norma apa yang seharusnya menjadi dogma wajib bagi blogger maupun jurnalis warga untuk dipatuhi?

Pepih Nugraha dalam bukunya Citizen Journalism : Pandangan, Pemahaman dan Pengalaman mengingatkan, bahwa meskipun tanpa dibekali KEJ secara profesi maupun Code of Conduct dari perusahaan, tapi jurnalis warga dan blogger hendaklah menaati norma dan etika umum yang berlaku. Apa itu? Pendiri Kompasiana dan Selasar --- yang lebih suka menggunakan istilah Citizen Reportage daripada Citizen Journalist --- ini menyebut etika yang harus dipatuhi itu adalah Netiket, alias etika berinternet.

Apa dan bagaimana Netiket itu?

Pepih menyodorkan dua acuan. Pertama, harapannya agar blogger, jurnalis warga bekerja dengan melandaskan moral pada apa yang pernah disampaikan Paul Johnson, sejarawan Amerika Serikat, tentang tujuh dosa besar Pers, yaitu:

  • Penyimpangan informasi
  • Dramatisasi fakta
  • Serangan privasi
  • Pembunuhan karakter
  • Eksploitasi seks
  • Meracuni pikiran anak
  • Penyalahgunaan kekuasaan

Memang, seven deadly sins ini ditujukan kepada Pers atau media mainstream, tapi perlu jua blogger dan jurnalis warga mengetahui, mengadopsi dan menghindarinya.

Kedua, dalam setiap kerja dan pekerjaannya, blogger, netter, jurnalis warga, warganet dan pegiat dunia daring disarankan untuk mematuhi sepuluh netiket ala Richard Craig, yakni:

  • Ingatlah orang
  • Taat kepada standar perilaku daring yang sama yang kita jalani dalam kehidupan nyata
  • Ketahuilah dimana kita berada di ruang siber
  • Hormati waktu dan bandwith orang lain
  • Buatlah diri kita terlihat baik beraktivitas daring
  • Berbagi ilmu dan keahlian
  • Menolong agar api peperangan tetap terkendali
  • Menghormati privasi orang lain
  • Tidak menyalahgunakan kekuasaan
  • Memaafkan jika orang lain berbuat kesalahan

Dua acuan netiquette tersebut sekali lagi membuktikan bahwa blogger dan jurnalis warga bekerja tanpa punya kode etik secara profesi dan Code of Conduct dari perusahaan. Aturan yang wajib diikuti masih terbatas pada saran dan belum tertuang menjadi sebuah kesepakatan bersama atau swa-regulasi. Dengan tanpa aturan formal maupun nonformal kayak gitu, apakah jurnalis warga dan blogger harus dibatasi atau bahkan dilarang saja untuk membuat berita maupun informasi? Jawabannya, tentu TIDAK.

Alasannya, wajah komunikasi dan informasi global sudah berubah. Saat ini adalah era 'Disruption', masa dimana perubahan terus terjadi secara sunyi, dengan ditandai berbagai inovasi teknologi yang terlahir tanpa henti. Berita dan informasi pun begitu. Apa-apa yang disampaikan blogger maupun jurnalis warga cukup sering menjadi sumber berarti bagi media arus utama.

Tidak cuma media cetak, bahkan televisi dan radio pun mulai menyediakan space khusus bagi liputan jurnalis warga maupun blogger. RRI Pro2FM Jakarta sempat menyediakan satu jam khusus bagi publik untuk menyampaikan berbagai informasi, melalui acara yang diberi nama 'Pro Aktif'. Radio Elshinta pun sampai saat ini masih terus mempersilakan pendengarnya berkontribusi menyuguhkan informasi melalui ruang khusus bertajuk 'Info Dari Anda'.

Inilah yang menjadi alasan juga, mengapa jurnalis warga maupun blogger meski tak berbekal kode etik maupun Code of Conduct, tapi jangan pernah melarang mereka meliput dan membuat berita serta informasi. As long as, netiquette diterapkan!

Apa yang dilakukan media sekaliber BBC boleh menjadi rujukan. Demi terus memanfaatkan konten dari warga, BBC membuat Kebijakan Redaksional agar konten warga layak tayang. Editorial Policy ini dinamakan BBC Guidance Note on User-Generated Content. Ada delapan halaman. Isinya lengkap mulai dari mengatur Safety of Contributors, Breaking the Law, Children and Young People, Checking the Facts, Transparency, Legal Advice, Payment for Material/Copyright dan lainnya.

Media mainstream memang tak boleh begitu saja melahap konten warga. Verifikasi dan cermatan masalah Etika adalah keharusan. Dalam bukunya Jurnalisme Online, Engelbertus Wendratama dari UGM Yogyakarta menulis, data tambahan dan verifikasi penting karena banyak konten warga yang tidak sesuai dengan prinsip dan etika jurnalisme, seperti kebenaran, keadilan, akuntabilitas, dan kemanusiaan.

Last but not least, tak harus melarang blogger dan jurnalis warga melakukan kerja dalam rangka membuat berita maupun informasi. Tapi pesannya, kode etik yang berlaku di dunia Pers patut juga diketahui dan syukur-syukur ditaati blogger pun jurnalis warga. Repot bin rempong? Enggak dong. Bukankah hal ini juga untuk kebaikan blogger dan jurnalis warga itu sendiri. Lebih jauh lagi, demi melindungi publik dari hoax, pelintiran dan 'penyemiran' berita maupun informasi.

Citizen Journalist. (Foto: ThirstyFish.com)
Citizen Journalist. (Foto: ThirstyFish.com)
Ada baiknya juga, khusus para blogger yang menjelma sebagai buzzer dari sebuah produk atau jasa, mulai tertib etika dalam menuangkan tulisannya. Maksud saya begini. Blogger yang menjadi buzzer biasanya ada menerima imbalan materi dalam beragam bentuk. Biasanya lho ya. Malah ada yang sebelum sepakat menuliskannya, lebih dahulu ditanyakan berapa tarif atau honor nulis yang dipatoknya.

Nah, untuk konten berbayar seperti ini, kalau di media mainstream lazim disebut sebagai ADVERTORIAL. Sehingga ada aturan tertentu dalam penulisannya, seperti menuliskan Advertorial pada kolom atas halaman, atau menuliskan kode 'Adv' atau (Adv) di penghujung akhir naskah. Sehingga, memudahkan pembaca untuk paham bahwa yang dituliskan adalah merupakan konten berbayar.

Kiranya, dunia blogging yang ditandai dengan makin banyaknya para buzzer bak cendawan di musim hujan, patut juga mempertimbangkan bersepakat, agar pada setiap tulisan konten bersponsor atau konten berbayar, dituliskan kode tertentu. Misalnya: (buzz atau buzzer), (adv atau advertorial), (rev untuk review) atau kode lainnya. Monggo aja.

Ini cuma saran loch, demi kebaikan dan prinsip fairness saja buat publik yang mengonsumsi tulisannya. Bukankah publik juga perlu tahu, bahwa bacaan yang dikonsumsinya adalah iklan semata, atau benar-benar informasi maupun berita.

Salam bloggermania.

  • ditulis sambil menunggui si bontot yang opname di rumah sakit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun