Selain pemalsuan dokumen, penggunaan identitas palsu juga menjadi modus yang kerap ditemukan dalam praktik nikah siri daring. Para pelaku, baik penyedia jasa maupun pengguna jasa, bisa saja menggunakan identitas orang lain atau mengubah data diri untuk mengelabui pihak lain demi kepentingan tertentu. Misalnya, seseorang yang belum memenuhi syarat umur menikah secara hukum, atau yang status perkawinannya belum jelas, dapat dengan mudah menggunakan identitas palsu agar dapat melangsungkan akad nikah siri. Tindakan ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga berpotensi menimbulkan masalah serius di kemudian hari, seperti sengketa hak asuh anak, warisan, atau pengakuan status hukum anak.
Lebih jauh, penulis juga menggarisbawahi adanya potensi penipuan yang dilakukan oleh penyedia jasa nikah siri daring. Dalam beberapa kasus, calon pasangan yang ingin menikah secara siri telah membayar sejumlah uang kepada penyedia jasa, namun setelah pembayaran dilakukan, penyedia jasa tersebut menghilang tanpa jejak dan tidak pernah melaksanakan akad nikah yang dijanjikan. Modus penipuan ini sangat merugikan korban, baik secara materiil maupun psikologis, dan menambah daftar panjang korban kejahatan siber yang memanfaatkan celah hukum dan lemahnya pengawasan di ranah digital.
Melihat berbagai potensi pelanggaran hukum tersebut, penulis menekankan pentingnya peran pemerintah dan aparat penegak hukum untuk meningkatkan pengawasan terhadap praktik nikah siri daring. Pengawasan ini tidak hanya sebatas menindak pelaku kejahatan setelah terjadi pelanggaran, tetapi juga mencakup upaya preventif melalui pemantauan aktivitas di media sosial, penertiban akun atau grup yang menawarkan jasa nikah siri, serta penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku pelanggaran. Pemerintah juga perlu bekerja sama dengan platform media sosial untuk mendeteksi dan memblokir akun-akun yang terindikasi melakukan praktik ilegal.
Selain pengawasan, penulis merekomendasikan agar pemerintah dan aparat penegak hukum aktif memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai risiko dan konsekuensi hukum dari nikah siri tanpa pencatatan resmi. Edukasi ini penting agar masyarakat memahami bahwa pernikahan yang tidak dicatatkan secara resmi tidak hanya merugikan dari sisi perlindungan hukum, tetapi juga dapat menjerat mereka dalam permasalahan hukum yang lebih luas, seperti tuduhan pemalsuan dokumen, penggunaan identitas palsu, atau bahkan menjadi korban penipuan. Melalui sosialisasi yang masif dan berkelanjutan, masyarakat diharapkan lebih waspada dan tidak mudah tergiur oleh kemudahan yang ditawarkan jasa nikah siri daring.
Pendidikan hukum kepada masyarakat juga dapat dilakukan melalui berbagai media, seperti seminar, penyuluhan di tingkat desa dan kelurahan, kampanye di media sosial, hingga integrasi materi tentang pentingnya pencatatan perkawinan dalam kurikulum pendidikan. Dengan pemahaman hukum yang lebih baik, masyarakat akan lebih sadar akan hak dan kewajibannya, serta mampu mengambil keputusan yang bijak sebelum melakukan pernikahan, baik secara resmi maupun siri.
Pembahasan Selanjutnya yaitu Perspektif Hukum Islam terhadap Nikah Siri Daring.Dalam pembahasan ini, penulis membahas perspektif hukum Islam terhadap praktik nikah siri melalui jasa penawaran daring. Menurut hukum Islam, suatu pernikahan dianggap sah jika memenuhi rukun dan syarat nikah, yaitu adanya calon suami-istri, wali nikah, dua saksi, dan ijab qabul. Namun, penulis menekankan bahwa ketika syariat Islam telah diadopsi dalam hukum nasional, umat Islam di Indonesia wajib mematuhi aturan negara, termasuk kewajiban pencatatan nikah.
Penulis mengutip pendapat ulama dan fatwa MUI yang menegaskan pentingnya pencatatan nikah untuk memberikan perlindungan hukum kepada perempuan dan anak. Meskipun secara agama nikah siri dapat dianggap sah, namun tanpa pencatatan resmi, pernikahan tersebut tidak diakui oleh negara dan tidak memberikan jaminan perlindungan hukum.
Penulis juga menyoroti bahwa dalam konteks Indonesia, hukum Islam dan hukum negara saling melengkapi. Oleh karena itu, umat Islam harus menaati ketentuan hukum positif yang telah mengadopsi prinsip-prinsip syariat Islam, termasuk dalam hal pencatatan perkawinan. Penulis merekomendasikan agar masyarakat lebih memahami pentingnya pencatatan nikah, tidak hanya sebagai formalitas administratif, tetapi juga sebagai bentuk perlindungan hukum dan sosial.
Penulis melengkapi pembahasan dengan beberapa studi kasus dan testimoni dari pengguna jasa nikah siri daring. Salah satu studi kasus yang diangkat adalah seorang perempuan yang menikah siri melalui jasa daring, namun kemudian mengalami masalah ketika ingin mengurus akta kelahiran anak. Karena tidak ada bukti pencatatan nikah, anak tersebut tidak dapat memperoleh akta kelahiran resmi, sehingga mengalami kesulitan dalam mengakses layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan.
Testimoni lain datang dari seorang laki-laki yang menjadi korban penipuan oleh penyedia jasa nikah siri. Setelah membayar sejumlah uang, pelaku jasa tidak pernah datang ke lokasi akad, dan komunikasi pun terputus. Kasus-kasus seperti ini menunjukkan risiko nyata dari praktik nikah siri daring yang tidak diawasi oleh lembaga resmi.
Penulis juga mencatat adanya kasus di mana pernikahan siri digunakan sebagai modus untuk menutupi praktik poligami tanpa izin istri pertama. Hal ini menimbulkan konflik rumah tangga dan berdampak negatif terhadap anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut.