Pembahasan selanjutnya yaitu Analisis Hukum terhadap Praktik Nikah Siri Daring. Bagian ini merupakan inti dari pembahasan, di mana penulis mengkaji legalitas praktik nikah siri melalui jasa penawaran daring berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Penulis menegaskan bahwa menurut Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, setiap perkawinan harus dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini dipertegas dalam KHI Pasal 5 dan 6, yang menyatakan bahwa perkawinan masyarakat Islam harus dicatat dan dilangsungkan di hadapan serta di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.Penulis mengutip beberapa pasal penting, antara lain:
Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974:
“Tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 dan 6:
“Setiap perkawinan masyarakat Islam harus dicatat, dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.”
Berdasarkan ketentuan di atas, penulis menyimpulkan bahwa nikah siri yang dilakukan melalui jasa penawaran daring, tanpa pencatatan resmi di KUA,tidak sah menurut hukum negara.pernikahan tersebut hanya sah secara agama, tetapi tidak memiliki kekuatan hukum di mata negara. Akibatnya, istri dan anak yang lahir dari pernikahan tersebut tidak memiliki perlindungan hukum, seperti hak waris, hak nafkah, dan status hukum anak.
Penulis juga membahas implikasi hukum lain, seperti tidak dapatnya mengurus akta kelahiran anak, tidak berhak atas tunjangan atau warisan, serta sulitnya menuntut hak-hak perdata di pengadilan. Selain itu, penulis menyoroti bahwa praktik ini berpotensi melanggar UU RI No. 22 Tahun 1946 jo. UU RI No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, yang mewajibkan setiap perkawinan dicatatkan secara resmi.
Selanjutnya penulis membahas mengenai Implikasi Sosial dan Hukum dari Nikah Siri Daring.Penulis menguraikan secara mendalam dampak sosial dan hukum dari praktik nikah siri melalui jasa penawaran daring. Salah satu dampak utama adalah kerentanan perempuan dan anak terhadap perlindungan hukum. Jika terjadi perceraian atau kematian suami, istri dan anak dari nikah siri tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk menuntut hak-haknya, seperti hak waris, nafkah, dan pengakuan status hukum anak.
Selain itu, penulis menyoroti potensi penyalahgunaan jasa nikah siri daring untuk tujuan-tujuan yang melanggar hukum, seperti penipuan, eksploitasi seksual, bahkan perdagangan orang. Tidak adanya pengawasan dari lembaga resmi membuat praktik ini rawan disalahgunakan oleh oknum tidak bertanggung jawab, baik dari sisi penyedia jasa maupun pengguna jasa.
Dampak lain yang diidentifikasi adalah konflik sosial di masyarakat, terutama jika terjadi sengketa hak asuh anak, pembagian warisan, atau pengakuan status hukum anak. Penulis juga mencatat adanya stigma sosial terhadap perempuan dan anak hasil nikah siri, yang seringkali dianggap sebagai “anak luar nikah” atau tidak diakui secara sosial.
Penulis dalam skripsi ini secara tegas menyoroti bahwa praktik nikah siri daring tidak hanya menimbulkan persoalan dari sisi hukum keluarga dan perlindungan perempuan serta anak, tetapi juga berpotensi besar menimbulkan pelanggaran hukum, baik dari aspek administratif maupun pidana. Dalam praktiknya, layanan nikah siri yang ditawarkan secara daring melalui media sosial seperti Facebook membuka peluang terjadinya berbagai bentuk pelanggaran hukum yang serius. Salah satu risiko utama adalah pemalsuan dokumen. Dalam beberapa kasus, demi memperlancar proses pernikahan siri, ada oknum yang sengaja membuat atau menggunakan dokumen palsu, seperti surat keterangan belum menikah, surat izin wali, atau dokumen identitas lainnya. Pemalsuan dokumen ini jelas merupakan tindak pidana yang dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia.