1/
Semenjak bapak pergi, pintu-pintu kamar berderit silih berganti. Rumah lengang karena jeritan amarah tak lagi menunggu. Foto usang memajang cerita yang membosankan, juga gerobak sampah yang mendatangi gubuk ini sesekali, kadang “ngomyang” tentang negeri yang elok ini jadi kumuh oleh mulut-mulut cukong politik.
Tahu apa bocah kurus tengil ini pakdhe....Aku tak iri tak berseragam merah putih karena mimpi kau larang. Dan impian tak punya tempat di petak-petak otakku. Ibu entah kemana, entah kapan pulang. Bapak kabur kemana, tak mungkin pulang. Cukup gerobak sampahmu yang nyalakan kota-kota di negeriku lewat bising berita di radio. Cukup sandal jepitku lepas di bawah bangku teras. Diantara karung-karung, kardus-kardus, botol-botol, sampah-sampah ... membuatkan rumah untukku , seperti detik jadi menit, hari jadi bulan, tahun jadi lupa, dan impian jadi kotak-kotak. Kotak berisi perempuan-perempuan bersarung tanpa kutang. Dan lelaki lari dikejar-kejar kemaluannya sendiri.
Tahu apa bocah kurus tengil ini pakdhe....yang penting gerobak bisa berjalan dan kepala dapat bersandar di bangku teras ini.
2/
Ayat-ayat. Menafsirkan diri di lekukan waktu. Mencari umat-umat yang sudi berkelana di kubangan kata-kata. Kitab hanya berjejer rapat di rak kayu, berbisik pada empunya. kitab hanya berkawan dengan ketakutan, kekhawatiran dan kecurigaan si tua. Pengampunan atas dosa dengan doa-doa. Musim kering berjalan pelan menuju gorong-gorong, agar jejak bisa terendus oleh mendung. mengalir kelak dalam sukacita. menerobos bau amis kekalahan, menutup warna coreng moreng kekhilafan.
Ayat-ayat berhembus lewat kata-kata si tua yang takut. Nebeng di sandal jepit yang usang. kata kyai, pahala mengalir di kapal-kapal lusuh itu. Yang pasrah, dan peduli pada kamar-kamar yang terbuka, jendela yang melongo biarlah. Sambutan untuk Jibril sambangi dengan lampu 5 watt serta juz’ama. kitab-kitab masih tetap berjajar di dinding kedinginan. sampai kerutan dahi memanjang, laiknya pulang dari rantauan.
( solo, 24 maret 2016 )