Mohon tunggu...
Galih Firmansyah
Galih Firmansyah Mohon Tunggu... Novelis - Pelajar

Seorang manusia dengan sebuah misi yang mengantarkan dunia menuju perubahan yang lebih baik. But, it still a dream :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suara Seruling

7 Desember 2022   12:08 Diperbarui: 7 Desember 2022   12:16 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Orang bilang, kalau semakin orang beranjak tua, mereka akan bersikap kekanakan kembali. Bersikap kekanakan itu punya arti luas. Salah satunya caper, yah. Anak kecil selalu minta perhatian lebih dari orang-orang di sekitar mereka. Dan itulah yang terjadi pada nenekku. Hal ini kadang membuatku bingung dengan tingkah nenekku. Aku tidak peka kapan dia butuh perhatian dan kapan tidak.

Sore itu seperti biasa sehabis mandi, aku bersantai sambil main game di ruang tamu. Kebetulan nenekku juga ada di sana sambil mencari kutu kasur di sofa. "Hei, Cu. Apakah kau mendengarnya?!" ucap nenek tiba-tiba. Namun, karena aku butuh fokus dengan game ku, aku Cuma membalas singkat sedikit acuh. "Dengar apa, Nek?"

"Suara seruling?" Suaranya sedikit melengking. "Nah, nah itu. Suaranya ke Selatan," lanjutnya dengan antusias sambil memejamkan mata. Seakan memastikan ucapannya benar. Memastikan suara itu memang berjalan ke selatan. Seperti cuitan burung yang berlalu. Lalu, mengangguk-angguk kecil. Karena aku terlalu fokus, aku hanya menjawab 'tidak' secara singkat. Karena memang aku tidak mendengar apa-apa. Hanya suara ribut dari hpku. Dan asal kalian tahu, nenekku ini sedikit kurang pendengarannya. Jadi, jika beliau mendengar sesuatu, pastinya asal suara itu dekat. Meski pendengaranku penuh dengan suara hp, nggak mungkin sekali aku tidak mendengarnya, kan?

"Suara seruling ini kok ada terus ya? Suaranya mengalun merdu, menenangkan sanubari kalbu. Namun di saat yang sama, suara itu diikuti oleh kematian. Begitu mengerikan, tapi juga menenangkan," kata nenekku. Dia bergidik kecil. Aku menghiraukannya.

"Kau tahu Bu Samiah kemarin? Mulai dari subuh aku mendengar suara seruling dari rumahnya. Tidak kusangka, sorenya orangnya meninggal dunia. Terus, dua minggu lalu, ketika gunung X meletus, suara lengkingannya sangat keras hingga nenek tidak bisa tidur semalaman penuh. Mengerikan sekali. Juga,..."

Akhirnya aku menghela napas. Memotong bualannya yang semakin menjadi-jadi. Antara kesal karena timku kalah dan ucapan nenek yang semakin kemana-mana. "Jangan gitu, Nek. Aku saja tidak dengar apa-apa, kok!"

"Apa?!" Nenekku mendekatkan tubuhnya karena tak mendengar kalimatku. Tuh, lihat! Suaraku yang sedekat ini saja, beliau tidak mendengarnya. Bagaimana bisa beliau mendengar suara yang mungkin ber-mil-mil jauhnya. Sudah tentu kalau dia hanya caper. Minta ditanggapi setiap bualannya yang tidak masuk akal. Tapi bualan ini sangat keterlaluan, bukan? Maksudku kematian bukan suatu hal yang bisa dibuat candaan lalu begitu saja.

Aku hanya menggeleng lalu mengulangi kalimatku sekali lagi.

Nenekku masih keukeuh dengan apa yang didengarnya, "Nenek dengar, Kok! Mungkin saja itu sangkakala!"

"Langsung kiamat, Nek kalau sangkakala sampai berbunyi."

Nenekku tertawa dan tak peduli dengan wajahku yang kesal. Melanjutkan berburu kutu kasur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun