Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Karantina Warga di Jerman? Di Rumah Saja, Tuh!

24 Desember 2021   16:17 Diperbarui: 25 Desember 2021   03:30 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi karantina di hotel sepulang dari perjalanan luar negeri. Sumber: Shutterstock/Boyloso via Kompas.com

Menghitung hari, seperti lagunya Krisdayanti.

Memasuki hari ketujuh karantina di hotel, aih! Banyak orang yang mengkhawatirkan keadaan saya, termasuk suami dan anak- anak. Katanya seperti burung dalam sangkar lah, badan terpenjara lah ...

Ih. Yang dikarantina happy, yang lihat melow. Yeee ....

Saya? Enjoy saja, tuh.

*Ada yang jemput waktu di bandara.

*Ada yang masakin.  Makanan Indonesia enak banget. Di Jerman sudah bahannya susah dan mahal, masak sendiri rempong. Mending waktu buat menulis di Kompasiana. Ya nggak? Boleh bagi ilmu, bagi wawasan, bagi pengalaman, bagi ide... ibadah tuh.

*Ada yang nyuciin baju dan setrikain sekalian. Lemir, diantar ke kamar dengan bau harum-berplastik. Eh.

*Ada yang bersihin kamar, pico bello! Cat kuku saya awet, nggak rusak, nggak kegesek barang-barang tumpul atau tajam.

*Ada HBO, saya bisa nonton sepuasnya. Padahal di rumah ada Netflix dan Rapidshare, jarang nongkrong di sofa, waktu banyak buat belajar dan cek anak-anak serta sayangi suami. Eaaaa...

*Ada internet untuk menghubungkan diri dengan dunia luar. Yang kurang hanya jendela yang bisa dibuka supaya udara segar masuk selama 10 hari karantina. Kan nggak boleh keluar kamar kan? Burung saja sangkarnya bolong-bolong, seger.

Haha. Baiklah. Yang ingin tahu pengalaman saya selama karantina hotel, silakan gabung di talkshow Komunjtas Traveler Kompasiana melalui zoom pada hari Sabtu, 25 Desember 2021 pukul 16.00 WIB. Link bisa didapatkan di instagram @kotekasiana.

Tahukah teman-teman?

Di Jerman, semua pekerjaan tersebut di atas saya yang ngerjain. Tradisi orang Jerman, mandiri. Padahal saya kuliah, saya kerja. Kepala jadi kaki, kaki jadi kepala. Sehari rasanya cekak menyelesaikan semua pekerjaan domestik dan tanggung-jawab yang saya emban. Nggak heran kalau saya tidur "tek - sek" langsung KO sampai pagi. Tanpa obat tidur.

Kalau teman-teman lihat saya ibarat seperti bola bekel yang jatuh ke lantai dan mental berkali-kali, ke sana - ke mari tanpa henti.
Tapiiiiii ... yang nyesek, uang hasil kerja sebulan habis membayar selama karantina itu, lho, saudara-saudara. Mengapa jadi karantina memberatkan rakyat seperti saya?

Saya nggak kayak artis "sopan" itu, atau yang datang dari jalan-jalan di luar negeri atau shopping, saya pulang karena bapak meninggal dan waktu hari H itu, nggak mungkin pulang karena banyak alasan seperti lock down negara, ditutupnya bandara dan nggak ada libur. 

Sekarang semua sudah longgar, namun harus tabah menjalani karantina 10 hari dari yang sebelumnya 3 hari. Belum lagi mengurusi kartu bank yang sudah tidak berlaku karena jadul. Inilah saatnya. Pulang!

Pengecualian karantina di Indonesia

Tahu. Saya tahu, dari zaman sejarah, Indonesia mengenal sistem kasta. Yang kastanya tinggi akan mendapatkan keistimewaan dibanding golongan di bawahnya. Yang paling bawah, "hancur Minah." Barangkali ini filosofi yang mempengaruhi pola pikir, aturan dan cara hidup bangsa kita. Nggak bisa hilang karena sudah membudaya, mendarah daging.

Bukankah kita sudah di zaman modern, di mana semuanya terbuka? Semua orang boleh berpendapat. Ingat pasal 34 UUD. Punya hak dan kewajiban yang sama sebagai warganegara. Duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Namun, saya masih nggak ngerti mengapa karantina di Indonesia  memberikan kelonggaran bagi golongan teratas:

"Kepala Perwakilan Asing dan keluarga yang bertugas di Indonesia harus melakukan karantina mandiri di rumah masing-masing selama 10 x 24 jam."

Sedangkan saya sebagai warga biasa harus ke hotel. Saya punya KTP seumur hidup, keluarga asal saya masih di tanah air. Ada tempat karantina yang layak. Di Jerman karantina hotel hanya untuk orang asing, dan dibiayai negara seperti cerita tamu bisnis suami dari Pakistan.

Karantina Indonesia? Ada yang di hotel dan ada yang di rumah. Nggak kompak.

Menurut saya, corona, beta, mega, delta, micron, mereka nggak mengenal kasta. Mereka menyerang siapa saja. Nggak peduli anak-anak sampai lansia, nggak peduli pejabat atau rakyat jelata. Jadi apa bedanya tujuan karantina dengan kasta?

Seingat saya ada 10 anak di bawah 6 tahun di taman kanak-kanak tempat saya bekerja, yang positif terpapar corona dan dirumahkan. Termasuk 10 teman sekelas dan 5 teman kerja di taman kanak-kanak. 

Untung tes negatif dilakukan setiap hari. Ingat, setiap hari, secara gratis! Hampir setiap orang punya corona app, untuk tahu dirinya beresiko tinggi dekat dengan orang terpapar, tahu berapa yang terpapar di wilayah, up date berapa jumlah pasien seluruh Jerman dan masih banyak lagi.

Kembali pada aturan karantina Indonesia yang ada pengecualian. Meski saya sudah pernah bertemu langsung atau setidaknya kenal beberapa kepala perwakilan asing di seluruh dunia berikut para staffnya sehubungan dengan aktivitas saya di luar negeri atau di Komunitas Traveler Kompasiana dalam Kotekatalk, bukan berarti saya memusuhi mereka karena mendapatkan aturan yang berbeda. Yang salah yang bikin peraturan dengan kasta, mengapa dibuat seperti itu? Berbeda?!

Pertanyaannya. Bukankah mereka juga memiliki gaji yang cukup untuk membayar karantina di hotel seperti saya dan yang lainnya? Gaji saya nggak sebanyak gaji pejabat atau staffnya. 

Setahu saya gaji staff KBRI saja ada yang 6000 euro atau Rp 96.000.000,00 per bulan. Gaji saya cuma sebanding dengan 10 hari karantina, habis! Sebabnya saya masih dakam masa pendidikan, di mana gaji daoatnya cuma 30%.

Tengok aturan karantina di Jerman

Sebab saya tinggal di Jerman lebih dari satu dasawarsa, akan saya kenalkan cara negeri Bundes Republik Deutschland ini mengatur karantina memasuki negaranya.

"Bei der Einreise nach Deutschland -unabhngig woher oder mit welchem Verkehrsmittel - ist ein Nachweis ber ein negatives COVID-19-Testergebnis, eine vollstndige COVID-19-Impfung oder eine Genesung von einer COVID-19-Infektion erforderlich. Bei einem Voraufenthalt in einem Virusvariantengebiet ist immer zwingend ein negatives COVID-19-Testergebnis erforderlich."

"Bei einem Voraufenthalt in einem Hochrisiko- oder Virusvariantengebiet innerhalb von 10 Tagen vor der Einreise nach Deutschland grundstzlich eine Registrierung unter www.einreiseanmeldung.de vorzunehmen. Auch ist bei einem Voraufenthalt in einem Hochrisikogebiet grundstzlich eine Quarantne von 10 Tagen (fr Kinder unter 12 Jahren: 5 Tagen) einzuhalten, die unter gewissen Voraussetzungen verkrzt werden kann. Nach einem Voraufenthalt in einem Virusvariantengebiet betrgt die Quarantne 14 Tage und kann nicht verkrzt werden."

Secara garis besar saya terjemahkan secara sederhana bahwa mereka yang memasuki wilayah Jerman, harus menyertakan PCR negatif, kartu vaksin lengkap atau surat keterangan bahwa pernah terpapar.  

Mereka yang akan keluar dari Jerman ke negara yang beresiko tinggi atau daerah varian corona harus mendaftarkan diri 10 hari sebelum pergi dari Jerman.

Jika mengunjungi negara zona merah, wajib karantina 10 hari (anak-anak di bawah 12 tahun hanya 5 hari).
Jika mengunjungi negara dengan varian, wajib karantina 14 hari dan tidak bisa diperpendek.

Sedangkan soal karantina, diatur dengan "haeusliche Qarantaene." Karantina di rumah (Haus). Tidak ada Hotel yang direkomendasikan pemerintah. Tidak ada kewajiban, tidak ada paksaan, walaupun untuk mereka yang diduga terpapar sekalipun:

"Die husliche Quarantne ist eine Schutzmanahme, die dazu beitrgt, die Verbreitung des Coronavirus SARS-CoV-2 einzudmmen. Dabei handelt es sich um eine zeitlich befristete Absonderung von Personen, bei denen der Verdacht auf eine Infektion besteht. Die Quarantne kann sowohl behrdlich angeordnet sein als auch freiwillig erfolgen."

Terjemahan singkatnya, karantina mandiri di rumah ini sebagai upaya perlindungan negara dan peredaman penyebaran virus. Karantina diperuntukkan bagi mereka yang diduga terpapar, bisa atas perintah petugas yang berwenang dalam hal ini departemen kesehatan, bisa juga atas dasar suka rela dari individu sendiri.

Sistem ini ditaati warganya, mungkin karena memang kebanyakan sudah disiplin, terbiasa dengan aturan detil yang ada di negara penghasil mobil mercedes ini.

Seorang tetangga yang juga wakil walikota kota sebelah, baru datang dari Yunani. Ia tidak perlu karantina karena tidak ada gejala, surat vaksin lengkap dan PCR negatif.  

Sedangkan tetangga yang lain, didatangi petugas karena ada isu melarikan diri dari rumah, namun masa karantinanya belum usai.

***

Baik Indonesia maupun Jerman, serta negara-negara lain, memiliki program karantina. Bedanya, Indonesia memaksa rakyatnya untuk karantina di hotel, Jerman tidak. Mengapa demikian?

Saya paham pemerintah Indonesia khawatir rakyat tidak menjalankan karantina dengan semestinya jika dilakukan di rumah saja. Di hotel atau wisma saja ada yang nggak bener. Jalan-jalan lah, lari lah, bergerombol lah. Ini pasti mengganggu tujuan karantina agar tidak menularkan virus corona dan konco-konconya dari luar negeri.

Mengapa tidak dibuat opsi:

Yang tidak punya tempat tinggal di Indonesia silakan memilih hotel. Contohnya orang asing dan WNI yang sudah tidak punya keluarga di tanah air.

Yang punya tempat tinggal di Indonesia bisa langsung karantina di rumah. Pengecekan ke rumah  - rumah dilakukan petugas yang berwenang, seperti yang dilakukan di Jerman oleh Ordnungsamt - petugas tibmas. Yang melanggar diberi surat tilang alias kena denda.

Yang WNI ingin karantina di hotel tetap diperbolehkan karena beberapa alasan, tapi tidak dipaksa.

Teman-teman, pemahaman saya tentang falsafah Jerman yang sangat menghargai individu juga semakin dalam. Sejak kanak-kanak, orang Jerman sudah diajari untuk berkata "tidak", jika apa yang dialami tidak sesuai nurani. Nggak diajari sebagai "yes man." Nggak!

Makanya tidak ada pemaksaan karantina hotel melainkan karantina mandiri di rumah untuk semua warga Jerman. Artinya tanpa kasta. Semua boleh karantina di rumah, tidak dibedakan rumah dan hotel.

Menilik berita tentang karantina di wisma khusus bagi ASN, mahasiswa/pelajar dan BMI serta hotel bagi WNA dan WNI di luar kategori tadi. Apakah hotel-hotel juga sudah disiapkan dengan vaksinasi lengkap serta PCR staff dan karyawannya. Selama karantina di hotel, bukankah hanya mereka yang kontak dengan yang di karantina? Jangan sampai warga ketularan dari karyawan hotel seperti kasus Omikron di wisma atlet Kemayoran?

Kalau ada yang komentar, "kalau ke luar negeri bisa habis ratusan juta kalau kembali menolak karantina hotel puluhan juta, nggak usah pergi-pergi saja."  Urusan travel memang urusan pribadi, walau negara sudah merekomendasikan untuk berwisata ke  dalam negeri saja. Saya bisa merasakan gejolak traveler yang mumpung masih hidup, jalan-jalan. Lain soal kalau ada travel ban, sudah ada hukumnya.

Anyway, tahukah yang komentar seperti itu, bahwa tidak semua yang kembali ke tanah air buat jalan-jalan atau shopping. Banyak yang banting tulang mencari rejeki di negeri orang, pulang ke Indonesia sebab ada yang urus kartu, surat-surat atau bahkan keperluan keluarga.  

Contohnya ada yang meninggal atau sakit sehingga terpaksa mudik.   Nyesek kan karena dalam keadaan sedang susah.
Kata suami saya, "Begini cara negaramu menyayangi warga negaranya." Speechless. Dalem.

Baik, untuk urusan vaksin, Indonesia paling jago, mengungguli Jerman. Jerman gudangnya vaksin, sumbernya vaksin tapi rakyatnya masih banyak yang ogah divaksin. Ya itu tadi, HAM sangat dijunjung tinggi di sana. Yang harus mereka bayar dan nggak bisa ditawar adalah peraturan seperti nggak boleh masuk toko tertentu, nggak boleh masuk cafe atau restoran, nggak boleh naik transport umum dan ketentuan lain yang akhirnya membuat mereka berpikir dua kali untuk nggak vaksin dan menyegerakan dalam waktu dekat.

Tetapi babagan karantina ini, nggak ada salahnya Indonesia mencontoh negara yang memiliki 16 negara bagian itu.

Karantina? Mengapa nggak di rumah saja seperti di Jerman? Supaya rakyat biasa tidak ikut terbebani. (G76).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun