Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Surga Tersembunyi di Cunca Wulang, Flores

19 September 2017   12:56 Diperbarui: 19 September 2017   14:41 2394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selamat, selamat. Betapa bangga dan gembiranya kita dengan kemenangan Indonesia dalam event UNWTO, badan PBB yang ngurusi soal wisata. Indonesia dapat dua penghargaan sekaligus! Video pariwisata wilayah Asia Timur dan Pasifik terbaik dan People's choice award 2017.

Kita patut berterima kasih kepada semua voters yang telah menyumbangkan 68.213 suara. Saya yakin  2269 viewer artikel saya "Tinggal 3 Hari, Vote Indonesia dalam Even UNWTO 2017" di Kompasiana, turut berkontribusi. You're rock, people!

Nah, kalau sudah menang, beban Indonesia makin nambah ya, bahwa kalau orang asing tertarik dengan Indonesia, bangsa sendiri nggak boleh kalah. Sudah diakui promosinya oleh dunia. Ayo, saatnya gencar exploring Indonesia. Weekend kemaren, ke mana? Emm ... bagaimana dengan weekend minggu ini?

Sebagai alternatif, ada Cunca Wulang, air terjun di Flores. Lokasinya 1 jaman dari Labuan Bajo. Surga tersembunyi yang tergolong masih perawan da nylempit. Mana jalannya penuh tantangan, ya ampyuuuuunn .. jauh dari peradaban. Harus diperbaiki sarana prasananya. Jalannya rusak dan belum diaspal, kurang mendukung wisata tingkat internasional.

Air terjun di pojok sana kelihatan pada musim hujan (dok.Gana)
Air terjun di pojok sana kelihatan pada musim hujan (dok.Gana)
Lagi, Tiket Bule

Masih ingat dengan artikel saya "Kenapa Ada Harga Tiket Bule di Indonesia?". Di sana, saya curhat soal keluhan dari warga asing yang merasa tiket wisata Indonesia mahal dan ada diskriminasi. Usul saya, barangkali bisa disiasati dengan tawaran paket tiket keluarga sehingga orang asing dengan keluarga besar, dapat harga lebih murah atau pemda memberikan perbandingan harga yang tidak seperti bumi dan langit antara harga lokal dan harga bule. Misalnya 2-3 kali lipat harga lokal saja.


Nah, di Cunca Wulang ini juga sama. Harga kami berlima (2 dewasa dan 3 anak) hampir Rp 500.000. Fasilitasnya selain boleh masuk area adalah 2 guide dari pos tiket. Mereka juga bersedia memanggul barang-barang bawaan wisatawan, jika diperlukan. Usai bayar tiket, saya isi buku tamu. Jerman!

Jalan menuju lokasi sangat jelek (dok.Gana)
Jalan menuju lokasi sangat jelek (dok.Gana)
Jamur kayu di hutan (dok.Gana)
Jamur kayu di hutan (dok.Gana)
Vanili (dok.Gana)
Vanili (dok.Gana)
Rumah cacing (dok.Gana)
Rumah cacing (dok.Gana)
Aren (dok.Gana)
Aren (dok.Gana)
Air klamud (dok.Gana)
Air klamud (dok.Gana)
Berani Terima Tantangan?

Huuuh. Kepala saya melongok ke luar. Anak-anak yang menunggu sama bapaknya di bangku dari gedeg, bahan bambu, sudah merengek.

Namanya anak-anaaak; diajak rewel, nggak diajak tambah rewel. Nah, kepikiran deh. Karena tahu adatnya mereka, saya tanyalah pada guide sebelum berangkat:

"Tempatnya jauh, Pak?" saya mendekat.

"Ah, nggak, cuma situ ... 1 km" Pemandu tertawa. Giginya kelihatan semua.

"Baguslah, soalnya anak-anak males jalan tuh. Mana panas lagi." Virus tertawa nyerang. Ikut ngakak.

"Barang-barang mereka nanti saya yang bawa."

Tas berisi makanan kecil dan minuman berpindah. Topi-topi centil mulai dipakai. Saya payungan, mumpung nggak diketawain kayak di Jerman "Nggak hujan kok, pakai payung."

Kami pun berjalan mengikuti pemandu yang cuma pakai sandal jepit. Omaigot. Apa nggak panas dan repot kalau tracking pakai sandal? Saya ini paling cerewet sama anak-anak kalau olah raga atau perjalanan jauh dengan hanya memakai sandal. No, no, no! Tapi barangkali, mereka nggak punya sepatu atau sepatunya cuma satu dan masih basah habis dicuci setelah kotor mengantar turis kemarin dulu. Entahlah.

Kami melewati hutan, bebatuan dan jalan menurun. Pemandu menunjukkan tanaman-tanaman seperti aren dan vanili serta cerita hewan apa saja yang biasa ada di sana; kera, cacing, burung. Jamur kayu dan ceceran biji aren yang dibuang kera tampak di mana-mana. Unik. Welcome to nature.

Setelah melewati hutan kecil, kami harus melompati bebatuan besar dengan air yang mengalir. Sebuah laguna berwarna toska terhampar di sana! Wow.

Sebelum memasukkan ke dalam tas, suami segera mengecek HP. Di sana tertera, 4 km. Berarti bukan 1 km seperti kata pemandu. Halaaaah, orang Indonesia, bilangnya dekat nggak tahunya jauhhhh pakai banget. Mana panaaaaas banget hari itu.

Konon, pasir dan semen milik pemda yang berserakan di area sebelum masuk hutan tadi adalah bakal jembatan yang akan memperpendek perjalanan menuju Cunca Wulang. Kita tunggu saja nanti. Semoga cepat jadi biar nggak sengsara menuju surga itu.

cunca2-59bfaf1ba7249b3b096ac4d2.jpg
cunca2-59bfaf1ba7249b3b096ac4d2.jpg
Mau lihat surga, renang dulu (dok.Gana)
Mau lihat surga, renang dulu (dok.Gana)
Lewat sini (dok.Gana)
Lewat sini (dok.Gana)
Berenang di Laguna

Satu rombongan dari Perancis, bapak ibu dengan 3 anak perempuannya yang sudah umur belasan, sudah naik. Badan mereka masih basah. Handuk membalut badan. Suami tanya-tanya seberat apa medannya.

Yup. Untuk melihat air terjun yang ada di balik bebatuan, butuh perjuangan. Kalau musim kering, tambah susah karena air terjunnya nggak segede/sederas musim hujan. Tambah pemandu, tidak bisa terlihat dari tempat biasa tapi agak menjorok. Itu bisa dicapai dengan cara; berenang.

Ohhhh, ampun. Bukan saya banget. Air? Ohhhh ...nggak, deh.

"Pak, ada tikus nggak pak."

"Ada, mbak, biasa kalau malam. Sekarang ini pasti pada ngumpet di bolongan batu-batu."

"Kalau ada tikus, ada ular, dong."

"Iya, mbak tapi kalau malam aja keluarnya." Si bapak menenangkan saya yang makin pucat disuruh terjun oleh suami, ke air yang tidak sejernih swimming pool.

Mana satu pemandu cerita bahwa sudah ada korban yang meninggal di sana. Yaaaaah, nggak deh. Motret aja. Akhirnya saya sendirian, keempat anggota keluarga kami ditemani satu pemandu, terjun dari batu. Masuk air. Saya? Jagain barang-barang berharga dan baju keluarga.

Hmm... nggak ada kedai, nggak ada kursi. Saya duduk di atas batu besar. Kurang gawean, saya motret ini-itu. Denger-denger, sudah banyak turis yang HP atau kameranya jatuh ke dalam air karena lupa masih di saku celana ketika terjun atau nggak hati-hati waktu memotret. Walaaah. Saya harus hati-hati.

Tak berapa lama, datang seorang turis dari Barcelona bersama seorang pria. Berani amat, sendirian. Melihat keluarga kami sudah pada berenang, ia segera melepas baju. Byakkkkk! Haaa, bikiniiiii.

"You jump first ...." Si mbak berambut hitam menyuruh pemandu buat lompat duluan.

"Why? Are you afraid?" Pemandu bertampang khas Flores itu meledek sambil ketawa.

"I want to know how deep it is. And if you'll be fine, I'll follow you." Kedua tangannya berkacak pinggang. Bingung, antara mau terjun tapi takut mati. Kelihatan gelap dan dalemmm. Biar tahu, pemandu harus terjun dulu. Kalau OK, ia maju.

Akhirnya, pemandu terjun dan masih hidup.

Senorita berani mengambil posisi di batu yang tinggi. Bagi pemula, ada kok, batu yang lebih pendek untuk terjun. Wanita muda dari Spanyol itu panik, maju-mundur ... maju-mundur ... terdiam, kemudian tiba-tiba hiyaaaa, terjun bebas. Teriakannya menggema, "One, two, threeeeeeeeeeeeeeeee."

Beberapa menit berlalu, ia sudah berenang menuju ujung di mana ada air terjun yang tersembunyi. Congrats! Kamu layak dapat bintang. Nyalinya besar.

Kampung Ujung (dok.Gana)
Kampung Ujung (dok.Gana)
Talas dan teh/kopi dari rumah pemandu (dok.Gana)
Talas dan teh/kopi dari rumah pemandu (dok.Gana)
Surga tersembunyi

Begitu balik ke tempat saya duduk, suami cerita.

"Luar biasa, indah sekali air terjunnya. Sayang kamu nggak ikut."

Melihat air terjun di Cunca Wulang tidak seperti di Tegenungan, Bali atau di Semirang, Semarang. Kenapa? Karena pada musim kering, harus masuk agak ke dalam di tikungan, nggak bisa dari jauh. Masuknya saja pakai terjun dan berenang. Benar-benar surga tersembunyi. Mau lihat sendiri?

Saya katakan surga (dunia) karena melihatnya, ada ketenangan dalam batin yang tercipta. Ada rasa syukur atas Sang Penciptanya. Masih banyak rupanya tempat wisata asli yang pantas untuk dikunjungi di tanah air ini.

Usai suami memutar ulang rekaman video untuk saya, ia pakai baju dan sepatu. Kami kemasi barang-barang dan kembali ke mobil depan tempat tiket sana.

Air Klamud, Talas dan Teh Hitam

Kami berjalan kembali ke pangkalan. Aduuuuuhhhh ... alamak, jalannya naik. Alamat ngos-ngosan nafasnya mau putus. Saking capeknya, anak-anak rewel. Ya, sudah diajak nyanyi-nyanyi, jadi Tarzan, main tebak-tebakan sampai minum air kelapa di sebuah kedai di depan hutan. Harganya Rp 15.000/buah. Penjualnya lagi nggak ada, biasanya dimasukkan ke dompet bambu milik si bapak tapi kata pemandu, banyak kejadian orang curi uangnya ketika dia lagi nggak ada. Jadinya, uang kami serahkan kepada pemandu untuk diberikan nanti kepada penjual.

Sejaman, kami sudah ada di kampung ujung, di mana banyak laki-laki yang duduk-duduk dan merokok. Dinamakan kampung ujung karena letaknya di ujung, sebelum hutan.

Sebelum sampai ke mobil, kami berhenti di rumah salah satu guide. Talas godog dan teh atau kopi anget sudah dipersiapkan istrinya. Suaminya cerita banyak turis manca yang menginap gratis di rumahnya. Rumah sederhana dengan lantai dari tanah. Suasana kekeluargaan dan ramah tamah khas Indonesia yang disodorkan di sana, luar biasa.

"Pak, kasih tip dong." Desak saya pada suami.

"Piro?" Suami saya bercanda, menanyakan jumlahnya.

"Terserah kamu." Pengen ngetes, berapa dia mau ngasih orang desa di Indonesia yang mata pencahariannya nggak tetap. Hunny, listen to your heart please.

Semua masuk mobil. Anak-anak ngambek, nggak mau nerusin ke Cunca Rami padahal mobil sudah dibooking Rp 900.000 untuk berlima tujuan Cunca Wulang, Cunca Rami dan Batu Cermin. Bea tadi, ditambah RP 150.000 untuk uang makan. Meski masih tergolong lebih murah dari agen wisata lainnya, sayangnya perjalanan belum tuntas sudah bubaran. Ahhhhh, dasar anak-anak. Yo wis, yo wisss. Lagian kabarnya, tracking ke Cunca Rami lebih nanjak, lebih menantang dari Cunca Wulang. Jadi, it's OK lah gatot. Lain kali. (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun