Seingat saya, waktu gabung LSM, kami selalu mengawinkan kegiatan sosial dengan wisata. Artinya, ada satu-dua hari yang kami jadwalkan untuk memperkenalkan obyek wisata di Indonesia. Banyak cerita seru yang tak terlupakan, salah satunya tentang harga bule atau tiket orang asing di tempat wisata kita.
Waktu itu, kami berdua puluh berangkat dari Semarang ke Magelang, menuju candi Borobodur. Pagi-pagi, kami menumpangi bus kecil. Ugh, sampai juga ke sana. Wahhh, sudah capek, panaaas pula.
Tiket bule (red: Wisatawan Asing)
Karena tahu bahwa harga tiket orang asing mahalnya nggak ketulungan dibanding harga wisatawan lokal, kami sarankan teman-teman untuk tutup mulut. Kalau ngomong, orang Jepun kan ngomongnya Nihongo. Hahaha ...
Mengapa kami mau agar relawan Jepang bayar sama dengan kami? Pertama karena mereka itu anak-anak SMA-mahasiswa yang sedang melakukan kegiatan sosial di Semarang. Artinya, selain mereka sudah melakukan kegiatan kerelawanan tanpa dibayar, tidak ada sponsor selain uang saku dari orang tua saja, harus bayar sendiri tiket pesawat dan kehidupan selama kerja sosial, mereka belum punya penghasilan seperti orang kerja dan tak punya usaha. Istilah kami waktu itu, mereka masih rembol. Kasihan.
Selang beberapa menit, kami disetop petugas dan menyarankan untuk tetap membayar tiket asing. Hatahhhh.
"Mbak, meh ngapusi ora isa, lah wong sikile wong Jepang ono neon-ne." Sekretaris saya waktu itu bilang bahwa niat kami untuk membayar tiket lokal untuk teman-teman relawan tidak berhasil karena kulit orang Jepang sangat putih, kentara kalau bukan orang lokal. Hahaha ...
Nggak nyangka, harga bule itu juga ada dalam kehidupan saya pribadi, ketika sudah berkeluarga. Bukan, saya bukan ganti WNA tapi suami dan anak-anak itu lho.
"Kamu mau ke mana?" tanya seorang penumpang yang terkatung-katung karena pesawat delay di bandara Flores.
"Mau ke Semarang terus Magelang, Yogyakarta...." Jawab suami saya. Senang sekali ada bule yang sama-sama berbahasa Jerman
"Lihat apa di sana?" Si bapak yang sudah agak berumur mau tahu.