Mohon tunggu...
Fuad Efandi
Fuad Efandi Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa STAI Darussalam Lampung, profesi menulis, dan mengajar di Pon-Pes Al-Ishlah Mataram Baru

Salah satu mahasiswa aktif di STAI Darussalam Lampung, menulis merupakan hobi yang paling saya sukai.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Rempang Eco City: Sebuah Malapetaka atau Keberuntungan?

20 September 2023   23:16 Diperbarui: 20 September 2023   23:22 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pulau Rempang sendiri terkhusus lahan sebesar 17.000 hektar pada dasarnya sudah diberikan oleh pihak perusahaan sejak tahun 2001 dan 2002. Namun, pada tahun 2004 hak tanah tersebut diberikan kepada pihak lain, entah dengan motif apa dan oleh siapa. Nanti juga akan terjawab sendiri.

Sejak saat itulah PT MEG merasa bahwa mereka memiliki hak atas lahan-lahan tersebut, maka pihak Perusahaan meminta pemerintah untuk segera mengosongkan lahan-lahan tersebut, yang ternyata pada saat itu sudah dipenuhi oleh rumah-rumah warga Rempang. 

Dengan rasa terpaksa dan hak milik lahan itulah pihak Perusahaan meminta dengan berbagai cara agar mereka dapat direlokasikan ke tempat lain, akan tetapi msyrakat menolak lantaran di sanalah mereka dilahirkan dan dibesarkan.

Siapa yang Salah Dalam Konflik Ini?

Sungguh naif jika saya katakana, bahwa yang salah dalam komflik ini adalah masyarakat Rempang, namun tidak juga pihak pemerintah salah dalam hal ini. Intinya sudah jelas, bahwa lahan seluas 17.000 hektar tersebut sudah bukan milik warga Rempang. 

Maka sah-sah saja jika pihak perusahaan meminta untuk segera merelokasi masyarakat, toh apa yang akan mereka bangun juga akan dapat memberi implikasi yang positif bagi Indonesia, terkhusus masyarakat Rempang. Bayangkan bukan sebuah hal kecil jika sampai benar-benar terealisasi program ini dan imbal baliknya adalah penyerapan tenaga kerja besar-besaran.


Pertama, pemerintah yang lemot. Mengapa demikian? Seperti yang sudah saya singgung di awal, bahwa kita sudah ditakdirkan menjadi wilayah paling strategis di dunia, namun kita juga kurang tanggap akan hal itu, kita masih terbiasa dibangunkan oleh orang lain. 

Terlebih soal konflik lahan padahal sudah diberikan hak kepemilikannya sejak tahun 2001 kepada pihak perusahaan, namun entah bagaimana komunikasi pihak pemerintah, sehingga lahan tersebut sampai bisa dihuni dan disinggahi oleh ratusan KK. Dan anehnya mengapa harus diberikan ke pihak lain pada tahun 2004?.

Artinya, pihak pemerintah tidak bisa dong bertindak semena-mena! Harusnya proyek ini sudah mulai digarap sejak tahun itu juga, termasuk yang paling penting adalah lokasi relokasi masyarakat yang nyatanya sampai saat ini belum begitu memuaskan dalam benak masyarakat.

Kedua, media-media masa yang terlalu mementingkan ratting. Sudah menjadi sebuah kebiasaan media-media kita, yakni membuat sebuah berita baik dalam bentuk tulisan maupun video yang dapat dikatakan clikbait. 

Hal ini dilakukan demiki ratting, semakin tinggi, maka semakin tinggi juga income yang akan mereka dapat. Misalkan! Dalam kasus konflik di Rempang ini sebanarnya banyak kejadian-kejaidan yang tidak menggambarkan konflik, namun entahlah berita yang banyak sekali beredar semuanya memunculkan konflik, konflik, dan konflik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun