Mohon tunggu...
Fri Yanti
Fri Yanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pengajar

suka hujan, kopi, sejarah, dan buku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

KDRT dalam Sejarah

1 Maret 2023   07:00 Diperbarui: 1 Maret 2023   10:18 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Silvia Turra / Getty Images/EyeEm via NBC News

Hampir tidak ada pasal yang memuat hukuman untuk suami yang melakukan kesalahan pada istrinya, seolah istri hanyalah properti yang tidak layak mendapatkan perlindungan hukum.

Suami-suami Eropa zaman dulu melakukan Uxoricide pada istrinya. Mereka tidak segan-segan membunuh istrinya. Saat Kaisar Nero dari Kerajaan Romawi Kuno berkuasa, dia memerintahkan pembunuhan terhadap istri pertamanya, Octavia.  Poppea Sabina, istri keduanya, pun mengalami hal yang sama.

Henry VIII dari Kerajaan Inggris pernah memerintahkan eksekusi mati bagi dua orang istrinya dengan tuduhan perzinahan, hasutan, dan pengkhianatan.

Bukan tidak mungkin, memang, perempuan  melakukan hal yang sama. Kondisi ini dinamakan Mariticide. Para istri membunuh suami mereka lantaran dendam, seperti yang dilakukan oleh Laodice I dari Anatolia, Yunani. 

Masyarakat yang budaya poligaminya kental juga rentan terhadap KDRT. Bukan hanya dilakukan oleh suami pada istri, melainkan juga antara istri tua dengan istri muda. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada masyarakat La Plata, Argentina, didapati bahwa status perempuan di sana lebih rendah sehingga menyebabkan pernikahan ganda.

Dalam penelitian itu disebutkan bahwa sesama istri akan saling ribut dan saling serang. Para istri tua biasanya lebih dominan menguasai dan istri kedua tidak mempunyai kekuatan untuk melawan. Pasrah saja menerima intimidasi dari istri tua.

KDRT dan Hubungannya dengan Penjajahan

Pada masyarakat yang budaya patriarkinya sangat kental, adanya praktik kolonialisme semakin memperparah KDRT. Produk-produk kolonialisme seperti diskriminasi, rasisme, hingga perbudakan menyebabkan perempuan berada di posisi semakin terjepit.

Ketika Indonesia dijajah Belanda, perempuan-perempuan pribumi menjadi gundik atau nyai. Nyai sebenarnya memiliki banyak makna. Nyai yang dimaksud dalam tulisan ini adalah perempuan pribumi  yang menjadi wanita simpanan pria Eropa.

Selain melayani kebutuhan biologis Pria Eropa, mereka juga mengurusi masalah rumah tangga. Pekerjaan mereka sama lamanya dengan pekerjaan para buruh perempuan di perkebunan.

Tetapi para Nyai tak seperti buruh perempuan yang harus bekerja di bawah terik matahari. Hal inilah yang menyebabkan Nyai menjadi bahan pergunjingan bagi para buruh perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun