Mohon tunggu...
Frid gato Ma
Frid gato Ma Mohon Tunggu... Nelayan - KEA

ULTRAMEN _ VOLUNTARISME

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Bukit Cinta-Penfui Timur

12 Juni 2018   22:32 Diperbarui: 12 Juni 2018   22:48 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"RENUNG SOSIOLOGIS TERHADAP AKTIVITAS DI BUKIT CINTA"

PENFUI-KUPANG

BAB I

PENDAHULUAN

 

  •  Latar Belakang Masalah

Sebagaimana kedua pendahulunya, yaitu Sokrates dan Plato, Aristoteles juga mengakui bahwa tujuan terakhir manusia adalah kebahagian (eudaimonia). Sesibuk apa pun manusia tentu pada suatu ketika, cepat atau lambat akan tiba pada satu titik di mana ia akan merasa jenuh, boring, pengap dan rasa tidak enak lainnya. Pada  saat-saat seperti ini, sejanak segala kesibukan dihentikan, mencari alam terbuka, mencari hiburan serta kembali mencari kebahagiaan. 

Tempat-tempat yang dituju biasanya adalah tempat wisata. Berbicara tentang tempat wisata, tentu terdapat begitu banyak kriteria mulai dari wisata pantai, wisata pegunungan, air terjun dan lain sebagainya. Bukit cinta menjadi salah satu dari sekian banyak objek wisata di kota kupang, yang hingga saat ini tidak pernah sepih pengunjung. Tempat yang strategi (Jl. Prof. Dr. Herman Johanes, Penfui Timur, Kupang Tengah, Kupang) dan mudah dijangkau serta tanpa dipungut biaya, membuat bukit yang menyimpan sejuta kenangan di masa perjuangan ini menjadi tempat ideal untuk semua golongan masyarakat dalam memburu dan menemukan kebahagiaan. 

Namun terkadang terdapat penilaian tertentu dari masyarakat tertentu tentang keberadaan dan esensi dari tempat wisata, dalam banyak konotasi mereka akan berpersepsi tentangnya. Membuat penilain secara obyektif hingga ikut melahirkan opini publik yang berdaya hujatan atau stigmatisasi. Demikian pula eksistensi serta esensi dari bukit cinta, tidak dapat terhindar dari kritik dan persepsi negatif tersebut.

Permasalahan   

Berdasarkan namanya (bukit cinta), maka tentu opinion public tetang tempat yang satu ini adalah sebagai tempat untuk para remaja menjalin kemesraan. Berpadu cinta sambil menikmati indahnya masa remaja, menikmati sunset yang jadi motif alasan kebanyakan orang untuk datang. Keberadaan tempat wisata ini, oleh sebagian masyarakat hanya dipandang sebagai tempat untuk berpacaran semata, tempat seram/horor, sarang para penjahat serta pandangan buruk lainnya. Dianogsa buruk seperti ini merupakan masalah. 

Menjadi persoalan bila publik memakai pandangan (opinion public) mereka sebagai premis pertama dan menyandingkannya dengan premis kedua; yakni berhubungan dengan para pengunjung, maka timpul konklusi bahwa para pengunjung yang datang tersebut digolongkan dengan orang-orang yang kurang kerjaan, hanya membuang-buang waktu, remaja-remaja yang imoral, datang hanya untuk berpacaran, atau lebih parah dilihat sebagai para pelaku tindak kejahatan (terkait dengan paradigma perilaku sosial). Persepsi negatif ini pasti akan terus berkembang.

  • Tujuan penulisan
  • Selain sebagai persyaratan untuk memperoleh nilai tugas sosologi; dengan teori-teori sosiologi, secara khusus melalui paradigma fakta sosial dengan teori-teori yang berpayung di bawahnya guna melihat fakta yang ada; ditambah paradigma definisi sosial (menggunakan teori fenomenologi), mengurung opini publik pada umumnya dan opini pribadi saya secara khusus, untuk mencoba melihat fakta-fakta lain yang mungkin selama ini tidak disadari oleh kebanyakan masyarakat di Kota Kupang tentang esensi dari keberadaan bukit cinta. 

  • Selanjutnya memberi pemahaman kepada publik, khususnya masyarakat di Kecamatan Penfui Timur bahwa tempat ini sejatinya merupakan harta yang harus mereka pelihara dan memanfaatkan mereka untuk mencari dan menemukan kebahagian yang adalah tujuan semua orang. Dan pada akhirnya dengan tulisan ini, pandangan bahwa bukit cinta hanya sebatas sebagai tempat berpacaran, sarang kejahatan, tempat bagi para masyarakat imoral, serta pandangan buruk lainnya berkurang dan bahkan hilang. Sehinggah tempat ini bisa dijadikan sebagai tempat untuk bersosialisasi, menjalin keakrapan, menemukan inspirasi, menimbah energi positif, mencapai kebahagian dan menjadi destinasi wisata yang patut di banggakan masyarakat Kupang-NTT.   

BAB II

PEMBAHASAN

 

Sekilas Tentang Bukit Cinta

Bukit seluas belasan hektar, yang berada di jalan Prof. Dr. Herman Johanes, Penfui Timur, Kupang Tengah, Kupang, Nusa Tenggara Timur dan berada tepat di salah satu sisi bendara internasional El Tari - Kupang ini menyimpan secuil sejarah. Konon katanya pada masa perang dunia ke-2, bukit ini dijadikan sebagai markas sekaligus tempat persembunyian para pasukan Jepang. Kisah ini terbukti melalui bunker-bunker yang tertimbun. 

Bunker peninggalan Jepang ini ukurannya bermacam-macam dari yang terkecil seukuran kurang lebih enam meter persegi sampai ada yang berukuran besar sekitar lima belas meter persegi. Bunker ini rata-rata memiliki ketebalan antara dua puluh sampai tiga puluh centimeter. Ada jalan masuk yang rata-rata ukurannya kecil yang untuk masuk harus menundukkan badan karena tidak lebih dari satu setengah meter. 

Bahkan ada beberapa pintu yang lebih kecil dari itu. entah memang ukurannya yang memang sekecil itu ataukah karena tertimbun lama. Bunker-bunker ini memang sudah tidak terawat lagi, untungnya dengan konstruksinya yang kokoh membuat bunker-bunker sebagian besar tetap utuh.  Keindahan ini menambah suasana tersendiri di tempat wisata ini.

Aktifitas

Dalam pengamatan lapangan yang saya lakukan sebanyak dua kali berturut-turut, ada berbagai macam aktifitas yang dijumpai di atas bukit ini. Bukan sekadar aktifitas berpacaran seperti opini-opini yang selama ini menjadi konsumsi masyarakat. Pada pengamatan pertama (10/06/2018); saya menyaksikan beberapa komunitas yang sedang asyik berdiskusi, mahasiswa yang sedang membaca stensialan dan beberapa yang lain berfoto ria bersama, sekelompok pemudi yang dengan melingkari bunker melakukan meditasi atau sejenisnya, sekelompok keluarga yang sedang bersantai menghabiskan makanan ringan. 

Pada pengamatan kedua (11/06/2018); aktifitas lain yang saya temukan adalah bebrapa orang warga yang sedang sibuk mengumpul kayu api, sekelompok anak kecil yang bercanda ria bersama, beberapa remaja yang  joging , beberapa pemudik yang beristirahat dengan bawaan mereka, sekelompok ibu-ibu yang berselfie dan seorang bapak yang duduk sendiri menatap kosong ke arah laut. Mungkin ia sedang dalam persoalan atau mungkin sedang terkurung dalam masalah sosial. Perlu diakui bahwa bukit cinta merupakan tempat yang sangat indah dan ada begitu banyak hal positif atau energi positif yang bisa ditimbah dari bukit ini.

Pandangan dari Para Pengunjung

Dalam sesi wawancara antara saya dan beberapa pengunjung, saya mendapat beberapa informasi berupa apresiasi dari mereka tentang eksistensi dari tempat wisata ini. Mereka menilai bahwa keberadaan tempat ini sangat membantu mereka perihal mencari informasi, menimba inspirasi, menjalin komunikasi serta efektifitas lainnya yang mereka peroleh. Selain menjemput sunrise dan memburu sunset , terdapat alasan lain yang lebih penting bagi mereka; seperti tempat untuk berdiskusi, melepas lelah setelah bekerja, tempat ideal untuk mencari inspirasi baru dan alasan yang bernilai lainnya. Walaupun diselah-selah apresiasi ini diwarnai beberapa keluhan.

Renung Sosiologis (imajinasi sosiologi)

Dari pengamatan tersebut saya memperoleh banyak hal. Selain fakta-fakta baru tentang aktifitas di balik bukit cinta, ada keprihatinan yang muncul dalam benak saya terhadap situasi di tempat wisata tersebut. Melihat sampah yang berserakan tak karuan dan lingkungan yang tidak terawat, memunculkan pemahaman bagi saya bahwa situasi demikian menjadi penunjang makin berkembangnya opini negatif dari masyarakat.

 Bungkusan makanan ringan, pecahan botol yang membahayakan, aroma-aroma kurang sedap dan kotoran hewan yang berserakan, serta bunker-bunker bersejarah yang seharusnya diwariskan sebagai sumber study sejarah malah dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah. Situasi anomis tampak di sana.

Selanjutnya berkaitan dengan keamanan. Saya bisa mengamini bila banyak masyarakat menilai seram keberadaan bukit cinta ini. Layaknya sebuah padang belantara di pelosok perkampungan udik, pengamanan di bukit cinta bisa dikatakan TIDAK ADA. Banyak tulisan serta suara-suara msyarakat yang merindukan ketersediaan keamanan di tempat ini, namun nihil respon dari pihak yang bertanggung jawab. Menurut informasi yang saya dapat, perihal ini terjadi kerap kaitannya dengan persoalan kepemilikan tanah.

Sebagai mahasiswa yang belajar sosiologi, saya juga mempertanyakan di mana peran pemerintah dan lembaga yang terkait di dalamnya. Apakah sudah cukup dengan mempromosikan keberadaan bukit cinta? Jika demikian, melihat situasi yang ada saya dapat berasumsi bahwa pemerintah mengundang publik untuk melihat keburukan dan ketidakbecusan mereka sendiri. 

Melalui teori fungsionalisme-struktural saya dapat menganalisa bahwa ada kepincangan dalam sistem kemasyarakatan. Nampak bahwa tidak ada peran dari masyarakat melakukan pendekatan dengan sesama masyarakat maupun dengan pemerintah untuk menentukan kebijakan demi melakukan perawatan terhadap tempat wisata ini. Peran masyarakat sebagai penyuara inspirasi tidak bekerja, maka tentu pemerintah pun tidak bergerak.

Bila melihat letak keberadaan bukit cinta , bisa dikatakan adalah sangat strategis. Dengan pemandangan indah yang membentang di semua sudut pandang, maka pantaslah jika tempat ini tidak pernah sepih pengunjung. Saya pun sempat berimajinasi (imajinasi sosiologi), jikaulah pemerintah menyelasaikan persoalan terkait kepemilikan lahan dan menemukan jalan tengah, maka akan sangat menguntungkan pihak pemerintahan dan tentunya akan bermuara pula kepada masyarakat Kota Kupang. Bayangkan bila ditempat ideal seperti ini, ditata sedemikian rupa dengan serana dan praserana yang tidak merusak lingkungan aslinya, maka tentu akan menarik banyak pengunjung untuk datang dan di satu sisi akan ada pemasukan tambahan yang akan diterima.

Jika tempat wisata tersebut ditata sedemikian rupah, maka tidak menutup kemungkinan akan menciptakan lapangan pekerjaan baru untuk masyarakat setempat. Membuka usaha baru, menjual bakat maupun jasa demi kesejahteraan hidup. Perputaran uang hanya akan terjadi di dalam dan tidak akan ada kaum kapitalis yang merenggut keuntungan. 

Menentukan tarif untuk kunjungan dengan batasn waktu tertentu, mengupayakan diadakannya keamanan, maka saya yakin tempat ini akan semakin ramai dan tentunya menjadi suatu khazana tersendiri bagi masyarakat Kota Kupang dan NTT tentunya. Semua golongan masyarakat dapat menikmati keindahannya tanpa harus cemas dan yang terpenting opini negatif tentang bukit cinta hilang dan musnah.

Demikian beberapa point, mewakili permenungan saya sebagai seorang mahasiswa yang belajar sosiologi, terhadap esensi dari bukit cinta dan fakta sosial serta potensi yang termaktub di dalamnya. 

BAB III

PENUTUP

 Kesimpulan

Fenomena sosiologi di era  posmo modern ini hemat saya bukan sekedar penyimpangan-penyimpangan yang melibatkan atau mencederai fisik semata. Opini buplik serta persepsi negatif pun harus dilihat sebagai objek permasalahn sosial yang harus diperangi. Berkaitan dengan bukit cinta, keberadaannya adalah bagaikan sebuah harta terpendam atau mutiara di balik lumpur. 

Harus ada upaya yang dibangun oleh pemerintah maupun masyarakat, untuk kembali mebangkitkan keindahan itu. Bukit cinta merupakan tempat yang mendatangkan kebahagian. Persepsi serta opini negatif hanyalah rajutan dari ketidakpahaman masyarakat tentang fakta yang ada. Selama ini masyarakat hanya sebatas melihat eksistensinya sejauh mata memandang, tidak sampai pada pendangan tentang esensinya. Fakta-fakta dan kebenaran hanya dapat terungkap bila kita langsung melakukan pengamatan, sebab demikianlah cara yang paling efektif untuk mengetahui kebenaran yang otentik, bukan imajinasi atau ilusi pribadi.

Saran

Sosialisasi serta pemaparan informasi yang otentik harus diupayakan oleh kita semua sebagai orang-orang yang mengerti tentang apa yang bukan fiktif atau perkara ilusif. Opini publik bukan jadi penghalang fakta yang ada atau real. Masyarakat dan pemerintah tidak boleh berjalan sendiri. Terkait dengan hak milik tanah di bukit bukan berarti hilang rasa peduli, harus ada rasa memiliki. 

Destinasi wisata itu bernilai, bila kita sebagai masyrakat pribumi menjunjung tinggi. Cinta akan tempat sendiri harus dimulai sejak dini, memperhatikan hal-hal kecil hingga kita sendiri tidak terisolasi di tanah sendiri hanya karena opini publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun