Mohon tunggu...
Frid gato Ma
Frid gato Ma Mohon Tunggu... Nelayan - KEA

ULTRAMEN _ VOLUNTARISME

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketahanan Budaya Lokal Masyarakat Diaspora Ngadha di Kampung Bhoakora

12 Juni 2018   18:19 Diperbarui: 12 Juni 2018   19:14 786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                                                                      BAB I

                                                                                                                                          PENDAHULUAN

Latar Belakang 

Kebudayaan (culture) merupakan perihal mendasar  yang tidak terlepas dari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial/makhluk bermasyarakat (zoon politicom). 

Prensensia dari kebudayaan sendiri memungkinkan terjalinnya suatu hubungan saling mempengaruhi terhadap segalah macam bidang kehidupan. Terhadap hubungan ini, berkembanglah kemudian kausalitas yang merujuk pada terciptanya suatu kehidupan, terlepas dari visi dan misi kehidupan itu sendiri. 

Seni hidup yang rumit dan sukar ialah menemukan, dalam setiap haluan baru pengalaman via media antara dua ekstrem: ... memiliki dan menerapkan berbagai patokan, namun berjaga-jaga melawan pengaruh patokan-patokan itu untuk membutakan kita dari kesebaragaman situasi konkret dan untuk menafikan lebih dahulu nilai-nilai; untuk mengetahui kapan mesti bertenggang rasa, kapan mesti merangkul, dan kapan mesti melawan (Arthur O. Lovejoy, The Great Chain of Being).  

Nilai-nilai yang tertanam dalam kehidupan diadopsi atau dianut oleh setiap orang terkadang menciptakan konflik-konflik sebagai akibat dari upaya interpretasi subjektif, yang lebih lanjut berdampak pada perihal terbentuknya situasi yang menyesalkan yakni bahwa tidak semua hal baik dapat berada bersama di dalam kehidupan seorang individu dan di tengah masyarakat secara keseluruhan.[1]

 Kehidupan  yang bertaburan etnik, budaya, agama, bahasa kelompok sosial dan nilai sejatinya memiliki tantangan tersendiri. Pluralisme kemudian muncul sebagai tema yang paling menarik untuk membahas keberagaman ini. Diskursus tentang pluralisme dalam bingkai etika politik dan demokrasi mendapat sorotan tajam seiring dengan menguatnya kesadaran tentang politik identitas. 

Politik identitas secara luas adalah politik afirmasi ke dalam, lahir dari semangat individu, kelompok sosial, agama dan komunitas tertentu. Ia bertujuan untuk menegaskan eksistensi dan otonomi diri dalam wujud agama, kultur/kebudayaan, etnis, minoritas nasional dan gerakan sosial tertentu.

[2] Politik identitas berpusat pada politisasi identitas bersama atau perasaan 'kekitaan' yang menjadi basis utama perekat kolektivitas kelompok. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa 'sama', baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya.

Kenyataan akan  diversitas kultural yang incommensurable dari tiap komunitas, menjadi kekuatan tersendiri bagi keeksistensian bahkan esensi dari suatu kebudayaan tertentu dimana pun kebudayaan tersebut dihidupi. Secara lazim kebudayaan lokal menjadi suatu kajian tersendiri dalam realitas  keberadaan suatu masyarakat. Upaya untuk mempertahankannya merupakan realisasi atau implementasi real dari politik identitas. 

Dimana kebudayaan dijadikan sebagai suatu ciri khas atau jati diri dari suatu komunitas kelompok masyarakat. Hal ini berkembang lebih lanjut dengan istilah yang disebut dengan modalitas kebudayaan yakni pola-pola perilaku yang ditampilkan secara terus-menerus sehingga perilaku itu dipandang sebagai perilaku khas suatu kebudayaan yang mewakili orang-orang dari daeraah, wilayah (ragional), maupun bangsa tertentu.[3]

 Seorang antropolog, E.B. Tylor (1871), dalam bukunya yang berjudul Primitive Culture (New York; Brentano's, 1924), mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu kompleks yang mencakup pengatahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Berdasarkan definisi ini para ahli kemudian menafsirkan kebudayaan sebagai suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari satu generasi dan generasi berikutnya. 

Senada dengan pandangan ini, Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi pada buku Setangkai Bunga Sosiologi merumuskan kebudayaan sebagai hasil karya, cipta dan rasa masyarakat. Karya yang menghasilkan kebudayaan jesmani (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan dan dipertahankan untuk keperluan masyarakat yang bersangkutan.[4]

  • Menarik untuk dikaji sejauh mana politik identitas serta identitas suatu kebudayaan berdaya mempengaruhi keberadaan kelompok , masyarakat atau etnis tertentu dalam upaya mempertahankan dan menghidupi kebudayaan mereka yang adalah warisan luhur dari generesi ke generasi. Sebagai upaya untuk terlepas dari pengaruh patokan-patokan nilai-nilai mayoritas yang berdampak memudarkan keluhuran kebudayaan lokal yang menjadi ciri-khas dari suatu kelompok minoritas  tertentu.  

  • Sebagaimana bangsa Israel yang dipimpin oleh Musa mengembara di padang gurun setelah diperbudak oleh raja Mesir selama 400 tahun, tetap berpegang teguh  pada ajaran yang telah diilhamkan oleh Allah melalui Musa kendati  mereka senantiasa berpindah tempat, membangun kemah di tempat yang berbeda, berada di wilayah-wilayah yang berbeda, dengan corak hidup yang berbeda serta kebudayaan yang beragam mencakup banyak aspek kehidupan (kitab Keluaran). Ajaran-ajaran lokal tetap mereka wariskan dan dijadikan sebagai suatu 'kebudayaan'  yang adalah ciri khas  dalam kehidupan bangsa Yahudi sejak saat mereka masih berada di Mesir hingga dengan saat ini. Sesuai dengan ajaran yang diturunkan oleh Abraham, nenek moyang mereka.

  • Berkaitan dengan pernyataan ini, satu fenomena menarik yang memperlihatkan tentang upaya mempertahankan budaya lokal yang nampak pada kisah Keluaran yang ditunjukan oleh bangsa Israel  di atas, dapat ditemukan pula dalam kehidupan masyarakat diaspora, yang dengan alasan tertentu berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Namun masyarakat diaspora yang disoroti oleh penulis bukan masyarakat yang dalam artian tertentu berpindah tempat tinggal dalam kurung waktu yang relatif singkat dan kambali ke tempat asalnya. 

  • Bukan sekelompok masyarakat yang oleh pemerintah setempat dipindahkan ke salah satu wilayah tertentu, dalam waktu yang telah ditentukan demi kepentingan atau keperluan tertentu. Masyarakat diaspora yang dimaksudkan adalah masyarakat yang dengan tahu dan mau serta berdasarkan keputusan/kehendak pribadi untuk keluar dari kampung besar (nua)  untuk menetap dan hidup di daerah baru yang berada di luar wilayah asalnya. Masyarakat diaspora yang dijadikan objek penelitian dari penulis  equivalen dengan sekelompok orang yang karena terdorong keinginan dan kemauan sendiri, meninggalkan tanah air etnis tradisional mereka; menyebar di berbagai bagian wilayah tertentu, menetap secara permanen dan perkembangan sebagai hasil dari produk budaya mereka. Masyarakat diaspora yang dimaksudkan penulis juga dicirikan dengan adanya usaha sekelompok orang untuk mempertahankan budaya, kebiasaan, ajaran dan kebiasaan lain ditempat yang baru.  

 Salah satu kelompok masyarakat diaspora yang  penulis teliti dalam tulisan ini adalah masyarakat diaspora Ngadha yang telah lama menetap dan membentuk perkampungan etnis di kecamatan Nangapanda, kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Ada beberapa titik yang menjadi tempat domisili masyarakat diaspora Ngadha ini; yakni Bhoakora, Bhoakate, Bita, dan Aeka. Keempat lokasi ini, kini menjadi pemukiman masyarakat diaspora Ngadha di kecamatan Nangapanda. 

Namun dalam tulisan ini, penulis mencoba memfokuskan  penelitian pada kehidupan masyarakat diaspora yang bermukim di kampung Bhoakora, karena dari keempat tempat di atas, kampung Bhoakora menjadi kampung induk masyarakat diaspora Ngadha, dimana untuk pertama kalinya masyarakat diaspora Ngadha menginjakan kaki pertama kalinya beberapa puluh tahun yang lalu dan secara kualitatif memiliki jumlah penduduk Ngadha yang lebih banyak dari ketiga kampung lainnya yang merupakan hasil pemekaran dari perkampungan ini. 

Secara geografis letak perkampungan ini tepat berada di tengah penduduk asli (dalam artian masyarakat Ende) yang adalah mayoritas. Terkenal sebagai perkampungan orang Ngadha,  masyarakat diaspora ini diakui keberadaannya dan mempunyai tata kehidupan tersendiri yang tentunya bermotif kebudayaan lokal Ngadha. Sangat menarik bahwa segala kebudayaan lokal Ngadha, entah tindakan maupun pemikiran masih terus dipraktekan dalam harian hidup mereka sebagai minoritas. 

Keberadaan mereka disadari oleh banyak orang karena ciri khas kebudayaan lokal yang masih mereka pertahankan. "Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum (kelompok atau bangsa) sebelum kaum itu sendiri yang mengubahnya" (Alquran Surat Ar Ra'du: 11)

[5]. Jaminan berupa nasib yang baik layaknya patut diakui sebab dari hari ke hari jumlah penduduk mereka semakin berkembangan dan pembangunan rumah terus berlangsung. Modalitas kebudayaan yang mereka hidupi menjadi jaminan bagi kesejahteraan hidup mereka.

Sudah menjadi konsumsi publik bahwa persoalan minoritas dan mayoritas menjadi perhatiaan khusus bagi dunia. Seperti lazimnya yang terjadi, bahwa keberadaan minoritas akan menemukan persoalan kala diperhadapkan dengan kelompok mayoritas. 

Secara umum yang menjadi akar persoalannya adalah perihal nilai yang dihidupi. Sudah tentu nilai yang dianut kelompok mayoritas berbeda dengan nilai yang dianut oleh kelompok minoritas. Ketaksepadanan nilai-nilai disebabkan kualitas-kualitas yang melekat pada nilai-nilai yang saling bertentangan itu.

[6] Persolaan ini merupakan perihal penyebab ketakterhindarkannya konflik. Berhadapan dengan konflik ini maka keberadaan minoritas tentu akan terancam.

Akan tetapi trend publik diatas tidak dialami oleh masyarakat diaspora Ngadha di kecamatan Nangapanda. Mereka tetap eksis dalam menjalankan kehidupan mereka dengan rasa kesamaan darah (tuka mogo, tuka ghi, ura mogo), hidup rukun sebagai satu leluhur (ebu nusi),[7] bersosialisasi dengan kaum mayoritas dan bahkan adat-istiadat serta kebiasaan lokal lainnya   dengan leluasanya mereka praktekan dalam kominitas mereka tanpa ada tekanan sedikit pun dari kaum mayoritas. 

Kebudayaan lokal senantiasa mereka junjung tinggi dalam keseharian hidup mereka, seluruh aspek dan tata cara hidup dilandaskan dengan nilai-nilai kebudayaan lokal yang mereka bawa dari tanah air etnis/ tempat asal (nua) mereka. Budaya lokal merupakan budaya asli atau dapat didefinisikan sebagai ciri khas berbudaya sebuah kelompok dalam berinteraksi atau berprilaku dalam ruang lingkup kelompok tersebut. Dalam kajian sosiologis, kebudayaan seperti ini dikenal dengan istilah sub-kultur; yakni kebudayaan khusus atau khas yang dihidupi oleh suatu populasi di dalam suatu masyarakat. Kelompok yang dimaksudkan biasanya terikat dengan tempat atau masalah geografis. 

Beberapa unsur kebudayaan yang menjadi jati diri asali, warisan dan kekayaan yang tetap dijunjung tinggi dalam kehidupan masyarakat diaspora biasanya mencakup sistem keluarga, sistem kepercayaan, tatanan sosial, pekerjaan ,serta hukum adat.

[8] Unsur-unsur kebudayaan inilah yang dijadikan sebagai objek penelitian dalam kaitannya dengan upaya tercapainya ketahanan budaya lokal masyarakat diaspora, sehingga dapat terus eksis hingga saat ini. Produk budaya lokal yang patut menjadi sorotan, atas keeksistensian dan esensinya. Uraian dalam tulisan ini jelas mengedepankan keunggulan budaya lokal Ngadha  yang teramat kuat  dipertahankan oleh sekelompok minoritas dalam renung arus globalisasi serta pengaruh kebudayaan lokal mayoritas (kebudayaan Ende).

Suatu keuanggulan dan khazanah dan patut disoroti, mengingat bahwa semua aspek kehidupan dilandaskan pada unsur-unsur kebudayaan lokal (kebudayaan khusus) dan disaat yang bersamaan mengahayati kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan yang dominan. 

Suatu kenyataan yang patut menimbulkan pertanyaan tentang kebenaran seperti apa yang melatar belakangi struktur kebudayaan dan pelaku kebudayaan ini dalam upayanya menjaga keotentian yang menjadi realita. Karenanya penulis mencoba menyajikan suatu kebenaran sebagai hasil rajutan dari penelitian data-data  dan fakta-fakta yang sempat diperoleh, dalam sebuah tulisan yang diberi judul: "Ketahanan Budaya Lokal Masyarakat Diaspora Ngadha Di Kampung Bhoakora Kecamatan Nangapanda Kabupaten Ende".   

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas , maka permasalan pokok penelitian ini adalah sebagai berikut.

Bagaimana konvergensi politik identitas terhadap kebudayaan masyarakat diaspora ?

Apa saja budaya lokal yang dihidupi dan dipertahankan oleh masyarakat diaspora  Ngadha di kampung Bhoakora?

Bagaimana ketahanan budaya lokal masyarakat diaspora Ngadha terhadap   perkembangan globalisasi dan pengaruh kebudayaan asli setempat?

1.3 Tujuan Penelitian

 Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menyelami, memahami dan mendeskripikan sejauh mana ketahanan budaya lokal yang dihidupi dan diwariskan oleh masyarakat diaspora Ngadha. 

Tujuan khusus penelitian ini adalah berusaha menjawab permasalahan yang menjadi objek formal sebagaimana tertera dalam rumusan-rumusan masalah di atas, yaitu: (1) mengetahui bagaimana pengaruh budaya identitas yang secara sadar dihidupi oleh sekelompok masyarakat tertentu terhadap nilai kebudayaan lokal yang dihidupi masyarakat diaspora. 

(2) untuk mengetahui bentuk dan model kebudayaan lokal seperti apa yang masih dipertahankan dan dihidupi oleh masyarakat diaspora Ngadha di kampung Bhoakora kecamatan Nangapanda. (3) untuk mengetahui efektifitas budaya lokal yang masih tetap eksis dihidupi oleh masyarakat yang memiliki persamaan nasip, cita-cita dan harapan terhadap pengaruh perkembangan arus globalisasi serta pengaruh kebudayaan lokal (kebudayaan kaum mayoritas).   

1.4 Manfaat Penelitian

            Pertama, manfaat teoritis. Manfaat teoritis yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengatahuan tentang kebudayaan, yang mana di dalamnya akan dibahas hal-hal seperti situasi sosial, sejarah, identifikasi sosial, peran relasi, kesenian serta segalah hal lainnya yang merupakan unsur-unsur kebudayaan. Tujuan teoritis yang ingin dicapai berikutnya ialah menjadikan penelitian ini sebagai dasar untuk penelitian lanjutan dan sebagai bahan referensi serta sebagai bahan bacaan yang memperkaya khazanah pengatahuan tentang budaya lokal, terutama bagi para mahasiswa pemerhati kebudayaan.

            Kedua, manfaat praktis. Manfaat praktis yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) penelitian ini bermanfaat bagi mahasiswa (para pemuda) yang nota benenya pewaris kebudayaan untuk senantiasa memperhatikan nilai-nilai kebudayaan lokal yang menjadi modalitas kebudayaan. (2) penelitian ini bermanfaat bagi pemerhati budaya atau tokoh masyarakat setempat untuk senantiasa menjaga dan mempertahankan budaya lokal sebagai khazanah yang patut dilestarikan. 

(3) penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat diaspora Ngadha di kecamatan Nangapanda untuk menyadari keberadaan mereka serta membangun pemahaman mereka agar terus mengoptimalkan upaya mempertahankan budaya lokal yang telah diwarisi oleh genarasi sebelumnya. (4) penelitian ini bermanfaat bagi pemerintah, khususnya pemerintahan di bidang kebudaya kabupaten Ende, atau kementrian budaya di tingkat provinsi Nusa Tenggara Timur untuk menjadikan kebudayan masyarakat diaspora tersebut sebagai suatu keunikan tersendiri yang terpola dalam otonomi kebudayaan dan  patut diperhatikan.
       
                                                                                                                                 BAB II 
                                                                                  KAJIAN PUSTAKA,  KONSEP DAN HIPOTESIS

Pustaka Dari Penelitian Lokal

            Dalam membuat proposal budaya ini, penulis bertitik tolak dari beberapa buku sumber sebagai referensi yang sangat membantu penulis dalam mengkaji beberapa pokok persoalan yang menjadi jawaban dari rumusan masalah yang telah dibuat sebelumnya. Membantu memberikan kejelasan tentang apa itu masyarakat diaspora, manusia Ngadha, budaya lokal serta ketahanannya dalam hidup harian masyrakat diaspora Ngadha di kampung Bhoakora Kecamatan Nangapanda, kabupaten Ende.

Dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Alo Liliweri menguraikan bahwa dalam kenyataan interaksi sosial setiap hari baik satuan kelompo-kelompok atau komunitas suku bangsa maupun agama selalu menampilkan perilaku komunikasi yang membedakan diri atas kelompoknya dan kelompok lain. Realita diferensiasi antar kelompok inilah yang menjadi perhatian tersendiri bagi penulis untuk mengkaji secara lebih mendalam terkait interaksi yang dibangun oleh kelompok-kelompok budaya tertentu. 

Uraian yang tersurat dalam buku ini memberikan sebuah pemahaman baru bagi penulis untuk menyajikan realita terkait dengan kelompok masyarakat yang menghidupi kebudayaannya masing-masing dalam wadah pluralisme. Perihal yang menjadi ulasan terpenting dari buku ini adalah, bagaimana membangun komunikasi yang efektif antarbudaya dan dalam berbudaya itu sendiri. Buku ini sangat membantu, sebab masyarakat diaspora yang menjadi objek kajian penulis dalam proposal ini, tidak terlepas dari komunikasi  antarbudaya, dan komunikasi antar individu di dalam kelompok itu sendiri, hingga membentuk identitas diri.

Dalam buku Sosiologi, karya Bernard Raho pada salah satu sub temanya mengangkat tema tentang kebudayaan dan masyarakat, juga membantu   memberi pemahaman kepada penulis tentang hubung korelasi antara masyarakat (yang dapat dikatakan sebagai produk budaya) dengan budaya itu sendiri (yang dapat pula dikatakan sebagai produk dari masyarakat). Dalam karya ini pula dijeleskan perihal yang disebut dengan cara hidup berbudaya yang sub-kultural. Uraian tentang kedua komponen ini sangat membantu penulis untuk secara lebih intensif nilai relevensi  dari kedua perihal tersebut.

Selanjutnya pemikiran Thomas Nagel yang disadur oleh Felix Baghi, dalam bukunya Pluralisme, Demokrasi, dan Toleransi; penulis memahami bahwa sejatinya suatu kelompok masyarakat sangat dipengaruhi oleh tingkat toleransi yang dihidupi bersama. Toleransi menjamin keutuhan nilai-nilai dan norma yang telah menjadi keputusan, kesepakatan dan cita-cita  bersama. Inilah salah satu menjadi awal pijak penulis mengurakan eksistensi dari masyarakat diaspora Ngadha yg hidup di tengah-tengah masyrakat mayoritas.

Sebagai sebuah penelitian yang dikerjakan oleh seorang mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandira, maka tulisan ini sudah semestinya dibubuhi oleh teologi, sekaligus menjadi salah satu landasan untuk merumuskan pemahaman. Tema sentral mengenai persekutuan manusia, tentang masyarakat, tentang pandangan hidup dan kebudayaan, serta tema lainnya menjadi satu bentuk pengatahuan baru untuk menjelaskan lebih lanjut perihal yang berkaitan dengan budaya dan masyarakat. Oleh karena itu penulis mengambil rujukan dari pustaka-pustaka teologi Katolik, yang membantu menjelaskan tentang tema-tema yang berkaitan dengan hakikat hidup bersama dan budaya.

 Pustaka Dari Peneliti Asing

Selain menjadikan buku-buku sumber yang ditulis oleh peneliti lokal, sebagai referensi, penulis juga dibantu dengan adanya tulisan dari peneliti asing yang telah melakukan kajian dan penelitian tentang objek dalam penelitian ini. Tulisan dari peneliti asing yang dipakai oleh penulis sebagai referensi utama dalam penelitian ini ialah buku yang berjudul Masyarakat Ngdha : Keluarga, Tatanan Sosial, Pekerja dan Hukum Adat; yang ditulis oleh Paul Arndt seorang misionaris asal Polandia. 

Beliau telah membuat banyak penelitian di berbagai suku di Flores (Solor, Sikka, Lio, Ngadha) dan beberapa pulau di sekitarnya (Adonara dan Sumbawa). Dalam buku tersebut di atas dijelaskan secara detail tentang masyarakat Ngadha. Penulis buku ini, nampaknya mempunyai pemahaman yang amat mendalam tentang eksistensi dan esensi dari orang-orang Ngadha. Hal ini didukung oleh keberadaanya yang cukup lama bersama masyrakat Ngadha selama karya misinya di Flores. Banyak informasi tentang Ngadha yang bisa diperoleh dari tulisannya.

Buku lain karya Paul Arndt yang juga dijadikan oleh penulis sebagai referensi adalah buku yang berjudul Agama Orang Ngadha: Kultus, Pesta dan Persembahan (Vol II), yang menguraikan perihal mengenai kultus, pesta, dan persembahan yang oleh masyarakat Ngadha dilihat sebagai budaya yang terus diwariskan turun-temurun. 

Mengupas secara mendalam perihal ketiga unsur budaya tersebut yakni: kultus, pesta dan persembahan, yang oleh orang Ngadha   dijadikan sebaga budaya lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi, kapan pun dan dimna pun mereka berada. Dari kedua karya Paul Arndt inilah penulis memperoleh gagasan untuk membuat penelitian perihal ketahanan   budaya lokal yang diwariskan oleh masyarakat diaspora Ngadha di kampung Bhoakora beserta segalah hal-hal yang berkaitan di dalamnya. Dari sumber yang ada penulis dibantu untuk menguraikan hal-hal penting terkait dengan persoalan yang berkaitan dengan judul yang dibuat oleh penulis pada proposal budayanya.

Penjelasan tentang Pluralisme karya William A. Galston, dalam salah satu karyanya berbicara tentang pluralisme. Telah memampukan penulis untuk melihat dan mengerti tentang kebersamaan dan kemejemukan yang ada dalam satu kelompok masyarakat. Tentang politik identitas yang menjadi dasar untuk mempertahankan keberadaan mereka dalam satu lingkungan atau wilayah sebagai satu anggota masyarakat dengan satu cita-cita yang sama.
  Konsep Politik Identitas dan Kebudayaan Masyrakat Diaspora

Politik Identitas

Politik identitas berpusat pada politisasi identitas bersama atau perasaan 'kekitaan' yang menjadi basis utama perekat kolektivitas kelompok. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa 'sama', baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya. Puritanisme atau ajaran kemurnian atau ortodoksi juga berandil besar dalam memproduksi dan mendistribusikan ide 'kebaikan' terhadap anggota secara satu sisi, sambil di sisi lain menutup nalar perlawanan atau kritis anggota kelompok identitas tertentu. Politik identitas, menurut Abdillah (2002) merupakan politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh, politik etnisitas atau primordialisme dan pertentangan agama, kepercayaan, atau bahasa.[9]

Politik identitas hadir sebagai narasi resisten kelompok terpinggirkan akibat kegagalan narasi arus utama mengakomodir kepentingan minoritas; secara positif, politik identitas menghadirkan wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas. Fitur dikotomi oposisional menjadi fondasi utama yang membedakan perasaan kolektivitas ke-kita-an terhadap yang lain. Tetapi kenyataannya, pada tataran individual di era modernisasi yang serba mekanik, muncul 'kegagapan' untuk memahami struktur masyakarat yang plural, maka intoleransi semakin meningkat. Pendeknya, terjadi ketidaksesuaian social imagination atau imajinasi sosial tentang kehidupan sehari-hari manusia modern dan interaksinya dengan masyarakat umum.

Kendati politik identitas di Indonesia lebih bermuatan etnisitas, agama, dan ideologi politik.

[10] Tetapi tidak bisa disangkal bahwa politik identitas yang dihidupi oleh salah satu kelompok masyarakat, akan menjadi perekat dalam menjalin hubungan 'kekitaan' dalama masyarakat tertentu dan menjadi jaminan akan keutuhan budaya tradisional yang adalah produk bersama mereka. Keberadaan masyarakat diaspora pun menjadi terpola dalam penerapan politik identitas ini. Sehingga konotasi negatif yang biasanya disandangkan pada keberadaan politik identitas menjadi berdaya 'positif' sejauh itu diupayakan untuk mempertahankan keberadaan dan menjamin kelangsungan hidup kelompok bersangkutan. Kebudayaa yang dibawah sejak lahir dari kampung halaman akan terus lestari dan tak akan pudar atau menghilang oleh segalah macam alasan apapun.

Kebudayaan

 Pengertian Budaya 

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, sadar dan akal. Kebudayaan adalah hal-hal yang terkait dengan aktualisasi dari potensi, vokasi, profesi dan keterampilan umat manusia yaitu proses dan hasil dari perwujudan daya budi yang tertenun dengan daya rasa, kehendak dan karya manusia dalam  dunia kehidupan komunitasnya.[11] 

  Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.

[12] Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam kebudayaan Indonesia erat sekali hubungannya dengan agama, masyarakat, dan alam. Kebudayaan Indonesia memang sangat menekankan keseimbangan  dan keselarasan antara semua faktor kehidupan, tetapi dalam mewujudkan pandangan menyeluruh masing-masing daerah mempunyai cara dan corak yang berbeda-beda (Iman Katolik, KWI: 1996). Pernyataan ini merupakan salah satu bentuk kehidupan yang dihidupi oleh masyarakat diaspora dimanapun mereka berada. 

Kebudayaan dan masyarakat adalah dua kenyataan sosial yang berbeda namun mempunyai hubungan yang sangat erat. Tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan dan sebaliknya tidak ada kebudayaan yang tidak mempunyai masyarakat pendukung. Seorang menerima kebudayaan sebagai suatu yang diwariskan oleh generasi terdahulu dan akan mewariskan itu dengan segalah perubahan yang ada di dalamnya kepada generasi berikutnya. Dalam nada yang hampir sama, Jhon Macionis mengartikan kebudayaan sebagai kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, tingkahlaku atau obyek-obyek material yang dihasilkan oleh sekelompok orang tertentu[13]

 Wujud kebudayaan

Menurut Koentjaraningrat, wujud kebudayaan dibagi menjadi nilai budaya, sistem budaya, sistem sosial, dan kebudayaan fisik.

1) Nilai-nilai Budaya; istilah ini, merujuk kepada penyebutan unsur-unsur kebudayaan yang merupakan pusat dari semua unsur yang lain. Nilai-nilai kebudayaan yaitu gagasan-gagasan yang telah dipelajari oleh warga sejak usia dini, sehingga sukar diubah. 2) Sistem Budaya; dalam wujud ini, kebudayaan bersifat abstrak sehingga hanya dapat diketahui dan dipahami. 3) Sistem Sosial; merupakan pola-pola tingkah laku manusia yang menggambarkan wujud tingkah laku manusia yang dilakukan berdasarkan sistem. Kebudayaan dalam wujud ini bersifat konkret sehingga dapat diabadikan. 4) Kebudayaan Fisik; merupakan wujud terbesar dan juga bersifat konkret. Misalnya bangunan megah seperti candi Borobudur, benda-benda bergerak seperti kapal tangki, komputer, piring, gelas, kancing baju, dan lain-lain

Komponen Kebudayaan

Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan memiliki beberapa elemen atau komponen, menurut ahli antropologi Cateora,

[14]yaitu : 1) Kebudayaan material; mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. 2) Kebudayaan nonmaterial;  adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional. 3) Lembaga sosial; memberikan peran banyak dalam konteks berhubungan dan berkomunikasi di alam masyarakat.

 4) Sistem kepercayaan; bagaimana masyarakat mengembangkan, dan membangun sistem kepercayaan, hal ini akan mempengaruhi kebiasaan, pandangan hidup, cara makan, sampai dengan cara berkomunikasi. 5) Estetika;  berrhubungan dengan seni dan kesenian, musik, cerita, dongeng, hikayat, drama, dan tari--tarian, yang berlaku, dan berkembang dalam masyarakat. 6) Bahasa; merupakan alat pengantar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap wilayah, bagian, dan negara memiliki perbedaan yang sangat kompleks. Dalam ilmu komunikasi bahasa merupakan komponen komunikasi yang sulit dipahami. 

Bahasa memiliki sifat unik dan kompleks yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa tersebut. Jadi keunikan, dan kekompleksan bahasa ini harus dipelajari, dan dipahami agar komunikasi lebih baik serta efektif dengan memperoleh nilai empati dan simpati dari 

Masyarakat Diaspora

 Istilah diaspora (bahasa Yunani kuno: penyebaran atau penaburan benih") digunakan (tanpa huruf besar) untuk merujuk kepada bangsa atau penduduk  etnis manapun yang terpaksa atau terdorong untuk meninggalkan tanah air etnis tradisional mereka; penyebaran mereka di berbagai bagian lain dunia, dan perkembangan yang dihasilkan karena penyebaran dan budaya mereka. Mulanya, istilah Diaspora (dengan huruf besar) digunakan oleh orang-orang Yunani untuk merujuk kepada warga suatu kota kerajaan yang bermigrasi ke wilayah jajahan dengan maksud kolonisasi untuk mengasimilasikan wilayah itu ke dalam kerajaan. 

Asal usul kata itu sendiri dari versi Septuaginta dari Kitab Ulangan 28:25, "sehingga engkau menjadi diaspora (bahasa Yunani untuk penyebaran) bagi segala kerajaan di bumi".Istilah ini telah digunakan dalam pengertian modernnya sejak akhir abad ke-20. Makna aslinya terlepas dari maknanya yang sekarang ketika Perjanjian Lama diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani, dan kata "diaspora" digunakan untuk merujuk secara khusus kepada penduduk Yahudi yang dibuang dari Yudea pada 586 SM oleh Babel, dan Yerusalem pada 135 M oleh Kekaisaran Romawi.

Karena tingginya tingkat migrasi, maka tidak heran bermunculan banyak kelompok masyarakat diapora di belahan wilayah daerah tertentu. Keberadaan masyarakat diaspora Ngadha di Kampung Bhoakora Kecamatan Nangapanda Kabupaten Ende menjadi salah satu contoh. Hidup sejak puluhan tahun yang lalu, beranak-cucu hingga menjadikan perkampungan tersebut menjadi perkampungan etnis Ngadha. 

Hingga kini mereka senantiasa menjaga hubungan yang harmonis antar tiap individu. Mewariskan budaya lokal yang mereka bawa dari Ngadha (Bajawa), dan terus dihayati dari generasi ke generasi. Sambari hidup beradaptasi dengan kebudayaan Ende, masyarakat diaspora Ngadha tetap menghayati kebudayaan khusus dan tetap memperhatikan kebudayaan yang berlaku di tempat tinggal mereka. Antara kebudayaan lokal (kebudayaan khusus) dan kebudayaan Ende (kebudayaan dominan) selalu dijaga keseimbangan untuk dilaksanakan agar tidak saling berbenturan satu sama lain dan menciptakan konflik dan kemudian berkembang menjadi kebudayaan-tandingan.[15]

Tentang Masyarakat Diaspora Ngadha Dan Budaya Lokal

 Masyarakat

Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), di mana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan.[16]

Masyarakat didefinisikan sebagai kumpulan orang-orang yang berintegrasi satu sama lain di dalam suatu wilayah tertentu dan yang menghayati kebudayaan yang sama (Macionis, 1987:91).  Elemen penting dari masyarakat adalah manusia. Manusia-manusia itu harus berinteraksi supaya mereka dapat diaanggap sebagai masyarakat. Mereka juga biasanya menghayati kebudayaan yang sama dan mendiami wilayah tertentu. 

Definisi yang kurang lebih sama diberikan oleh Peter L. Berger. Dia mengartikan masyarakat sebagai satu keseluruhan kompleks hubungan manusia yang luas sifatnya. Masyarakat disebut sebagai keseluruhan kompleks karena ia tersusun dari berbagai sistem dan sub-sistem seperti ekonomi, keluarga, hukum dan lain-lain.[17]

Ngadha 

Nama kabupaten Ngada sebenarnya berasal dari kata Ngadha yang oleh bangsa Belanda konsonan "dh" tak dapat ducapkan dengan benar sebagaimana diucapkan oleh orang Ngada maka terucaplah konsonan "d" sehingga menjadi Ngada dan menjadi kelaziman orang Ngada dalam mengucap kata tersebut. Ngadha sebenarnya nama ibu asal dari klan Ngadha. Dari penelusuran sejarah, Ngadha adalah nama suatu suku bangsa Aria di India dan juga nama tempat tinggalnya. 

Dalam sejarah pengembaraan orang-orang Aria di India depan, berpindah suku-suku bangsa dari barat ke timur telah mulai lebih dahulu dibandingkan dengan suku-suku bangsa lainya. Karena itu, baik di barat dan selanjutnya ke timur kita temukan nama-nama dari suku-suku bangsa terkenal: bharata, tritsu dan puru. Tiga suku bangsa tersebut kemudian bergabung menjadi satu suku bangsa yaitu Kuru di Kuruksherta. Sementara itu suku bangsa Magadha, yang adalah nenek moyang orang Ngada, terus melanjutkan perjalanan ke Timur hingga ke Ngada dan menetap disana.[18]

Masyarakat Ngadha

Tapak awal sebagian besar penduduk Ngadha hidup dari bercocok tanam. Pekerjaan bertani ini dilakukan dengan alat-alat yang sederhana , berupa alat penggali dan parang yang panjang dan berat. Karena tanah di dataran rendah, di dataran tinggi dan juga di sebagian lereng-lereng gunung dan bukit sangat subur maka jika cuaca baik, hasil yang diperoleh cukup banyak  kendati peralatan sangat sederhana. Pada umumnya, rumah-rumah mereka  lebih baik dari rumah-rumah  banyak suku Flores lainnya. Pakaian untuk perempuan berupa sebuah sarung yang panjang berwarna hitam, menyerupai karung. Sedangkan pakayan untuk laki-laki terdiri dari dari sehelai kain yang diikatan pada pinggang, sehelai selendang pada bahu dan sebuah destar berwarna merah.[19]

Namun di masa sekarang banyak penduduk yang meninggalkan kampung halaman atau rumah besarnya untuk mencari nafkah di luar tanah airnya. Banyak yang memutuskan untuk mencari pekerjaan di luar kebupaten bahkan atas dasar kehendak sendiri memilih untuk menetap dan tinggal secara permanen  di wilayah kabupaten lain, salah satunya di kabupaten Ende. Menarik bahwa masyrakat yang memilih untuk tinggal di willayah lain, tetap teguh berpegang pada kebudayaan yang telah diwariskan di kampung halaman mereka dan menghidupinya di tempat mereka tinggal atau menetap. Mereka yang keluar dan menetap di satu kampung yang sama hingga kampung tersebut menjadi kampung etnis mereka inilah yang disebut dengan masyrakat diaspora.

2.4.4 Kebudayaan Lokal Masyarakat Diaspora Ngadha di Kampung Bhoakora

Menurut salah satu saksi sejarah, saat diwawancara mengatakan bahwa masyarakat diaspora Ngadha yang menetap di salah satu perkampungan di kecamatan Nangapanda Kabupaten Ende, yakni kampung Bhoakora sudah ada sejak tahun 1967. Kebanyakan masyarakat diaspora Ngadha yang mendiami kampung Bhoakora ini berasal dari Jere Buu, Mataloko, Langa dan beberapa dari Bena. Saat dikonfirmsi perihal apa yang menjadi motivasi awal berpindah dan menetap di kampung Bhoakora. 

Ada beberapa termin jawaban yang diperoleh yakni : dikarenakan tuntutan untuk mencari pekerjaan atau membaca peluang bisnis, karena alasan pernikahan, melanjutkan usaha dari generasi sebelumnya,  serta beberapa jawaban unik lain misalnya; karena bosan dengan kedinginan, atau karena kurang nyaman dengan aksi orang berilmu hitam (polo). 

 Keberadaan mereka sebagai minoritas di lingkungan warga masyarakat asli, tidak menjadikan mereka untuk tidak mempraktekan budaya serta adat-istiadat mereka. Tidak jarang ditemukan model-model upacara khas Ngadha yang dipraktekan saat acara-acara tertentu. Seluruh bidang dan sistem kehidupan di kampung Bhoakora pun dilaksanakan sesuai dengan tata cara atau kebiasaan orang Ngadha. 

Selain itu, sistem pemikian dan persepsinya pun masih dalam lingkup pemikiran orang Ngadha pada umumnya. Dengan jumlah kepala keluarga kurang lebih 62 kepala keluarga yang menetap, dan beberapa kepala keluarga yang belum memiliki tempat tinggal yang permanen membuat pemukiman ini menjadi padat dan menjumpai persoalan dalam penataan kompleks. Budaya lokal yang mereka bawa dari kampung asal mereka, senantiasa dipertahankan tanpa dipengaruhi oleh kebudayaan lain. Setiap orang dengan tanggung jawab masing-masing senantiasa patuh dan tunduk dengan adat yang lazim berlaku. Adapun budaya lokal yang dipertahankan oleh masyarakat diaspora Ngadha di kampung Bhoakora mencakup sistem kekeluargaan, tatanan sosial, pekerjaan , hukum serta bentuk kebudayaan lainnya. 

Kampung Bhoakora kini dikenal dengan perkampungan etnis Ngadha, dimana hampir sebagian penduduk yang ada di situ berasal dari Ngadha. Menariknya, bahwa hampir semua anggota keluarga memiliki hubungan darah atau garis keturan. Berdasarkan asal katanya Bhoakora terdiri atas dua suku kata bhoa yang artinya lubang/jurang dan khora yang berarti longsor atau erosi. Pengertian ini dapat dibenarkan sebab kampung ini berada persis di samping sunga besar yang ada di kecamatan Nangapanda kabupaten Ende. Padatnya pendudukan membuat beberapa penduduk yang berasal dari Ngadha membuat perkampungan baru dan menetap di sana, misalnya di kampung Bhoakate, Bita, dan Aeka.

Kebudayaan lokal yang diurakan di sini sama halnya dengan istilah sub-kultur. Para sosiolog menggunakan Sub-kultur untuk menunjukan kebudayaan khusus atau khas yang dihidupi oleh suatu populasi di dalam masyarakat. Sambil menghayati nilai-nilai, norma-norma, dan pola-pola budaya yang dominan, masyarakat diapora juga menghayati kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan dominan itu. 

Kebudayaan khusus ini sangat penting karena pada umumnya orang-orang hidup dan berkembang dalam konteks kebudayaan khusus ini. Itulah sebabnya kebudayaa lokal yang dihidupi masyarakat diaspora itu tetap bertahan sekalipun berada bersama kebudayaan dominan.[20]

Perkawinan dan kehidupan keluarga

     Kesungguhan dan ketenangan menandai sikap orang Ngadha terhadap masalah perkawinan. Atas berbagai cara kaum mudah dipersiapkan. Perkawinana dini untuk seorang pemuda biasanya terjadi karena ia telah menjadi korban dari nafsunya dan keadaan tersebut hanya dapat dipulihkan dengan perkawinan. Kawin dalam usia mudah disebut bhake hae- merusk tempat anak dalam kandungan ibu. Atau pula disebut rebo lowa , merusak pertumbuhan si pemuda atau gadis.[21]

     Halangan perkawinan dapat berdasarkan hubungn darah, hubungan pertalian sebagai ipar anak angkat, perbedaan tingkatan sosial dalam masyarakat, orang asing dan kemasyarakatan kampung. Ada pun hubungan antara beberapa orang istri dari seorang laki-laki dan anak-anak mereka akan menimbulkan malapetaka, yang akan berkelanjutan hingga ke keturunan mereka. Selain itu, dalam garis samping dilarang semua ikatan perkawinan antara anggota keluarga dari tingkatan yang tidak sama.

     Apabila belis sudah dibayar penuh maka sejak persetujuan terakhir untuk perkawinan dari orang tua atau paman gadis itu, kedua calon pengantin harus membantu bekerja pada mertua masing-masing, secara bergantian. Apabila, belis belum dibayar atau hanya sebagian kecil, sehingga laki-laki diharuskan tinggal di rumah istri maka kewajiban untuk membantu terletak hanya kepada laki-laki. Laki-laki juga harus siap  menanggung hal-hal lainnya yang diminta oleh keluarga gadis.

     Yang mendapat belis adalah ayah, ibu, saudara-saudara, saudara ibu, orang tua piara, rumah asal. Yang mendapat bagian paling besar adalah saudara laki-laki ibu. Belis dipandang sebagai harga yang harus dibayar untuk seorang gadis. Menarik bila berbicara tentang belis. Untuk itu penulis secara mendetail perihal mengenai belis ini sendiri.  Tidak semua belis dibayar dengan uang, tetapi juga dengan kerbau, kuda, babi, pakaian, kalung emas, perhiasan, tanah dan ladang, kebun kelapa, hamba sahaya, atau pun dengan seorang gadis sebagai istri untuk ipar, malah untuk melunaskan utang dapat diberi anak gadis sendiri (pada zaman dahulu)[22]. Berikut ketentuan mengenai belis yang harus dibayar, dan praktek ini masih berlaku hingga saat ini oleh orang-orang tertentu.

Maki nara, bagian saudara laki-laki gadis: 2 dinar, 29 golden.

Maki pame, bagian paman: 1 dinar

Puu bheto (sao puu), rumah asal: satu setengah dinar

Ka dhae (makan beras); saudara ibu memberikan beras, agar saudarinya pada waktu melahirkan dapat makan dari beras itu dan mendapat air susu lebih banyak: 2 dinar

Wae susu, air susu ibu: 2 dinar

Poli ngeko, ganti rugi untuk semua pengeluaran, yang telah dibuat oleh semua anggota keluarga untuk anak gadis itu; itu untuk paman: satu setengah dinar

Maki ame, bagian ayah: 4 dinar

Deke, tongkat untuk ayah, apabila sudah tua: 5 dinar

Dhepo zua, lagi dua tongkat untuk saudara ibu: 5 dinar

Kadha kuti, membuka rahang gadis itu ketika diasah giginya: 1 dinar

Fio, tusuk konde untuk ibu: 5 dinar

Nao, emas murni: 6 dinar untuk saudara ibu

Walau demikian dewasa ini, sangat jarang menggunakan sistem pembayaran demikian, namun semua pembayaran dikalkulasi dengan perhitungan yang sama. 

Maksudnya model pembayaran dengan menggunakan hewan seperti yang banyak ditemukan di masa ini, bila dikalkulasi maka ditemukan kesamaan dalam hal jumlah seperti ketentuan di atas. Hanya jarang bahwa belis yang mahal ini dibayar lunas. Dibeberapa bagian wilayah Ngadha, seperti yang lazim terjadi seperti saat sekarang ini, bahwa perempuan tinggal dalam rumah dan dalam klan keluarganya, sekurang-kurangnya harus dibayar beberapa bagian belis untuk orang tua sejumlah 130-200 golden, dalam bentuk unang atau hewan. Cara membayar belis demikian disebut tune, kayu api alas.[23]

     Dalam perkawinan masih banyak aturan dan tata cara yang konfensional dan harus ditaati dan bila dilanggar maka akan dikenai hukuman berdasarkan bobot-bobot pelanggarannya. Perkawinan merupakan perihal sensitif yang sangat dijaga kesakralannya. 

Anak 

            Seperti orang Ngadha pada umumnya, masyarakat diaspora Ngadha di Bhoakora pun berpandangan bahwa anak adalah anugerah dari dewa, allah langit.

[24] Setiap kali seorang anak dikandung (pota, naa weki, nee weki) dipandang sebagai suatu berkat khusus dari dewa  kepada suami istri. Suami istri yang tidak mempunyai anak disebut tua lalu atau  tua rogho, pohon tuak jantan atau pohon tuak kering, karena pohon-pohon ini tidak menghasilkan buah. Kehadiran anak biasanya membuat ikatan perkawinan semakin kuat. Akan tetapi juga tidak adanya keturunan tidak harus menyebabkan perceraian. Menurut informasi yang diperoleh, perempuan yang tidak mempunyai anak biasanya pergi memeriksa diri ke lima mali  (dukun). Lima mali biasa mampu melihat penyebab dari ganguan tersebut, misalnya pada perempuan ditemukan letak kandungan yang tidak benar atau darah yang dibutuhkan untuk membentuk anak, tidak dapat dikumpulkan.

            Perihal berikut barkaitan dengan proses kehamilan, dimana masyarakat diaspora Ngadha masih terpola dengan pemikiran atau kepercayaan yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Misalnya larangan-larangan yang dikenakan kepada wanita yang tengah hamil; dilarang mengkonsumsi kecambah buah kelapa, tidak boleh makan terong kuning (ngadha-bara), tidak boleh makan daging binatang yang sedang bunting, dan jenis makanan terlarang lainnya. Pada waktu kehamilan, suami istri tidak boleh turun ke laut, ketika anak-anak ikan naik (ipu); dengan demikian anak ikan itu terhalang dalam perjalanan mereka menuju sungai. Ibu hamil harus menjaga, jangan sampai berselisih dengan orang tua dan kakak-kakak, dengan paman dan bibi, karena kutukan mereka akan sangat efektif. Dan masih terdapat begitu banyak larangan yang harus dipatuhi oleh suami istri saat sang istri dalam masa mengandung.

            Salah satu hal yang menarik berhubungan dengan anak ini ialah; pemberiaan nama anak. Menarik cara pemberian nama anak yang dilakukan oleh masyarakat diaspora Ngadha. Sesaat setelah tali pusat jatuh, ketika anak sudah boleh berbaring di depan ibunya ketika ibunya memasak nasi, maka sudah tiba saatnya untuk memberikan nama. 

Kakek atau nenak, dan jika mereka telah tiada maka ayah dan ibu atau salah seorang perempuan dari keluarga menyebut nama salah seorang leluhur. Leluhur dari ibu, apabila ibu masih tinggal di rumah orang tuanya, atau leluhur dari pihak ayah, jika belis sudah lunas, dan istri sudah berpindah ke rumah suami. Sesudah itu, semua orang menanti dalam keadaan tegang, entah anak itu memberikan suatu reaksi, misalnya bersin, kencing dan lain-lain. Kentut dipandang sebagai suatu yang tidak patut, hal ini berarti nama harus diganti. Jika anak hanya diam, maka diberikan nama leluhur lain secara berulang-ulang hingga anak itu memberikan suatu reaksi. Lalu disambut dengan tawa-ria para perempuan sebagai petanda proses tersebut sudah berjalan dengan baik dan lancar, nama tersebut sah diberikan kepada anak.

Permainan Tradisional

Berbicara tentang permainan tradisional, hampir tidak ada yang nampak di masyrakat diaspora Ngadha. Selain alasan perkembangan teknologi, permainan tradisional juga menghilang karena semakin sulitnya memperoleh bahan-bahan untuk membuat alat/permainan tersebut. 

Namun ada satu permainan yang sekali-kali masih dipermainankan oleh anak-anak di kampung ini, yakni permainan kucing dan tikus.

[25] Konon katanya permainan ini melambangkan perjanjian antara raja kucing dan manusia. Dimana manusia memberi makanan kepada raja kucing, untuk menjaga hasil panen manusia dari gangguan tikus. Bila ada tikus yang ingin memakan hasil panen, maka kucing harus meremukan kepala tikus dan memakannya. Ada yang berperan sebagai tikus dan kucing, keduanya berlari di dalam dan luar lingkaran yang dibuat oleh beberapa orang, dan lingkaran tersebut berfungsi menjaga agar tikus tidak dimakan oleh kucing, dengan tidak membiarkan lingkarannya ditembusi oleh para kucing. Sungguh menarik

Pemimpin

 Semua pemimpin dinamakan dengan satu sebutan umum, yakni mosa laki. Dalam artian asli , mosa kira-kira menyatakan laki-laki, yang jantan, besar dan kuat, sudah bertumbuh dewasa. Kaba se mosa berarti kerbau jantan yang besar. Lalu dalam kiasan berarti terhormat, kaya, berpengaruh, berkuasa.

[26] Mosa laki adalah  semua laki-laki yang menduduki posisi pimpinan dalam kehidupan umum. Yang pertama-tama cocok untuk jabatan ini adalah keturunan laki-laki dari bapa asal atau ibu asal dari ili bhou dalam garis lurus atau anggota-anggota keluarga terdekat  yang laki-laki, apabila keturunan garis lurus sudah mati punah. Jadi disni berlaku semacam hak warisan.[27]

Apabila tidak ada pengganti atau tidak ada yang lebih mampu dari keturunan garis lurus yang menggantikan maka para mosa laki yang lain memilih seorang yang lebih cakap dari keluarga, yang mempunyai hak warisan untuk menjadi pemuka kampung perserikatan kampung. Selain mosa laki, nama yang lazim dan umum dipakai, dalam kesempatan-kesempatan yang resmi, dalam sapaan-sapaan resmi, dalam perundingan, doa-doa serta di beberapa wilayah dipakai juga nama-nama lain: mosa meze nee laki lewa, tuan-tuan besar dan mulia.

[28] Namun setelah diwawancara melalui via telepon nara sumber mengatakan bahwa sistem atau yang menjabat sebagai  mosa laki tidak ada, sebab menurut mereka mosa laki hanya ada di rumah besar dan itu hanya ada di kampung (nua). Akan tetapi peran kepala suku di kampung Bhoakora biasanya  di ambil alih oleh sesorang yang lebih tua atau telah lama menetap di kampung ini. Orang yang dipercayakan ini, biasanya seorang yang terpelajar atau yang lebih berwibawa dari yang lain. Sosok yang dipercayai ini mengambil tugas dan peran penting dalam memperhatikan dan mengayomi kehidupan sehari-hari masyrakat diaspora ini. Keperadaan orang-orang berwibawa ini sangat dihargai, persis seperti mereka mengahargai kepala suku mereka di kampung (nua) mereka berasal.

Orang-Orang dengan Kkuatan Magis

Berbicara tentang orang-orang yang memiliki kekuatan magis maka ada bebrapa kategori yang dijumpai yakni:

Pelihat

 Tora, (beko, bhisa,mata dara) ialah orang yang dapat mengetahui hal tersembunyi atau yang akan terjadi atau yang ada di masa datang, yang tidak diketahui oleh manusia-manusia biasa.[29

 Dukun

Mali berarti luar biasa cekatan, cakap dalam bidangnya, misalnya dalam pekerjaan tangan; lima mali sebenarnya berarti seseorang yang mempunyai tangan yang cekatan. Di sini berarti seorang tabib, seorang yang dapat menyembuhkan orang sakit, yang pada umumnya melaksanakan penyembuhan dengan tangan.

[30]

Suanggi , Polo        Polo adalah seorang manusia dari kampung dan yang hidup bersama orang-orang sekampung, tetapi yang sering kali dirasuki oleh satu atau lebih roh jahat, yang kebanyakan kali muncul dalam rupa binatang-binatang kecil, misalnya dalam rupa burung-burung atau tikus, dan dengan kekuatan mereka ini, mereka dapat merugikan sesama manusia. Ciri khas mereka ialah pemakan mayat manusia. 

Tukang Sihir

       Tukang sihir disebut dengan teku ruu. Mereka mendapat kekuatan dari Nitu Dewa. Mereka memiliki kekuatan sihir, yang terdapat di dalam airludahnya dan dalam rumusan sihir, yang memiliki efek ganda: a) membuat orang jatuh sakit dan menyebabkan berbagai bencana; ruu rasu; b) membuat orang menjadi sehat.         

Mata Pencaharian

Sejauh hasil wawancara didapatkan informasi mengenai mata pencaharian masyarakat diaspora Ngadha di Bhoakora ialah sebagai berikut: 45% sebagai petani, 20% sebagai pegawai, 10% sebagai pengusaha/wirausaha, dan sisahnya ialah mata pencaharian lain. Hampir tidak ada masyarakat diaspora Ngadha yang bermata pencaharian tetap sebagai nelayan, namun ada beberapa yang sesekali waktu mencari ikan di laut untuk dikonsumsi, dan dijual jika lebih. Sebagian masyarakat pula, terutama para pemuda yang merantau ke negara tetangga.

Renung Ketahanan Budaya Lokal Masyarakat Diaspora Ngadh

       Salah satu pemikiran dari Herakleitos (550-480 SM) yang terkenal ialah Panta Rhei!, bahwa segala sesuatu mengalir.

[31] Pernyataan ini hemat saya masih relevan dengan keberadaan budaya lokal. Bagaimana pun produk manusia yakni budaya/kebudayaan yang kompleks ini tidak akan tetap, tanpa ada perubahan. Perkembangan zaman dan arus globalisasi yang deras membuat eksistensi dari budaya tersebut menjadi lebih fleksibel. 

Budaya sendiri harus menerima perubahan guna diterima oleh manusia yang hidup di zaman milenial ini. Kenyataan ini terlihat bagaimana ada kebudayaan-kebudayaan tertentu yang direkonstrusi sedemikian rupa agar sesuai dengan konteks zaman. Ketahanan budaya lokal yang masih diperjuangkan oleh masyarakat diaspora Ngada di kampung Bhoakora merupakan sebuah prestasi yang teramat mengagumkan. Rasa kesatuan dalam darah menjadi kekuatan tersendiri bagi mereka untuk bertanggung jawab melestarikan dan menghidupi budaya-budaya lokal tersebut, kendati pun beberapa point yang harus direkonstruksi  karena alasan-alasan tertentu.

Dalam dasar-dasar sosialisasi, dikatakan untuk menjadi sungguh manusia, membutuhkan kontak sosial.

[32] Menarik bahwa keberadaan kaum mayoritas (masyarakat asli) tidak menggangu keberadaan mereka. Kontak sosial antara kaum mayoritas-minoritas terjalin dengan penuh keharmonisan. Bahkan beberapa keluarga yang adalah keturunan dari penghuni asli kampung Bhoakora hidup membaur, menjalani hidup secara rukun dengan masyarakat diaspora, saling menghargai dan menghormati, hidup selayaknya seperti satu keluarga besar. 

Bahkan tidak jarang kaum mayoritas juga membantu kelancaran masyarakat diaspora dalam menjalankan aktifitas kebudayaan lokal. Sebagai makhluk yang bertuhan maka sudah pantas dan selayaknya, kita saling mencintai satu sama lain, sebagaimana Tuhan menganugerahkan keselamatan kepada semua orang. Maka kita pun dintutut demikian, menjadi serana untuk membawa orang pada kebahagian hidup yang bersumber pada-Nya.

 Alam natural yang diolah menjadi alam kultural adalah hasil pengungkapan diri insani dengan mengolah alam kosmis dan alam antropologis ke dalam materi fisik maupun non-fisik dan menjadi warisannya yang dinamis (Vatikan II, GS 53). Tuhan telah memberi kita, melalui Alkitab, visi orang yang telah ditebus sebagai "orang banyak yang tidak dapat dihitung jumlahnya, dari segala bangsa dan suku dan umat dan bahasa, berdiri di hadapan takhta..." (Why 7:9). Masyarakat harus ditandai dengan keadilan  (tidak adanya diskriminasi) dan kerukunan (tidak adanya konflik)  bagi semua kelompok etnis.kita mencita-citakan masyarakat yang sepenuhnya terintegrasi, yang secara berkelanjutan mensyukuri (menjunjung) keragaman.[33]

       Budaya lokal yang terus diwarisi dari generasi ke generasi, merupakan bentuk kritalisasi dari nilai tanggung jawab yang ada dalam diri masyarakat diaspora. Membangun kelompok besar dan hidup bersama sebagai kelompok minoritas, dengan terus melestarikan kebudayaan lokal yang diwarisi oleh generasi sebelumnya, membuat keseimbangan hidup mereka tetap terjaga. 

Namun perihal demikian tentunya akan dihadapkan dengan beberapa persoalan dan tantangan yang bersifat eksternal maupun internal. Namun tuntutan untuk berubah, merupakan konsep yang tidak dapat dihindari. Kecermatan dan kematangan emosional menjadi aspek utama yang harus dimiliki oleh tiap individu sebagai anggota masyarakat. Arus globalisasi dan paham-paham lain yang masuk ke dalam kelompok minoritas ini harus selalu disaring, guna tidak memudarkan bahkan menghilangkan budaya lokal yang adalah aset berharga yang mereka miliki

Hipotesis

Hipotesis awal yang ditarik oleh peneliti dari penelitian ini adalah kecintaan dan rasa memiliki budaya merupakan sebuah substansi bagi masyarakat diaspora Ngadha. Hidup di luar kampung asal bukan menjadi alasan untuk menelantarkan keluhuran nilai dari kebudayaan lokal itu sendiri. 

Kendati pun zaman dan pemikiran yang kian berubah, dan tidak menutup kemungkinan berdampak pada berubahnya wajah budaya/kebudayaan, namun keluhuran nilai dari budaya harus tetap dijaga. Sikap memiliki menjadi perihal otentik yang harus dimiliki oleh anggota masyarakat, agar budaya yang menjadi kebanggaan selalu eksis sampai kapan pun. 

Presensia keberadaan manusia yang luhur dapat diukur pula dengan budaya/kebudayaan yang ia hidupi. Ketahanan budaya lokal yang dicapai oleh masyarakat diaspora Ngadha di Kampung Bhoakora, bukan saja menunjukan keeksistensian mereka, tetapi juga menenjukan esensi mereka sebagai masyarakat yang berbudaya dan patut dibanggakan.

[1] Felix Baghi, (editor), Pluralisme, Demokrasi Dan Toleransi, (Maumere: Ledalero, 2012), hal. 108

[2] Ibid., hal. 15.

[3] Alo Liliweri, M. S, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 199.

[4] Amri Yusuf, Budaya Korporasi; Elemen, Fundamental, Transformasi, Korporasi, (Jakarta: Kompas, 2018), hal. 59-60.

[5] Ibid., hal. 57.

[6] Felix Baghi, Op. Cit.,  hal. 72.

[7] Paul  Arndt, Masyarakat Ngadha; Keluarga, Tatanan Sosisal, Pekerjaan Dan Hukum Adat, (Ende: Nusa Indah, 2009), hal. 209-210.

[8] Ibid., Hal. V (dalam sambutan bupati Ngada yang menjabat; Piet Jos Nuwa Wea)

[9] Maarif, Ahmad Syafii, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, (Jakarta: Democracy Project, 2012), hal. 73.

[10] Ibid., hal. 19.

[11] Watu Yohanes Vianey,  Bahan Kuliah Metodelogi Penelitian Budaya, Fakultas Filsafat Agama Universitas  Katolik Widya Mandira  Kupang, 2016, hal. 1.

[12] Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, (Bandung:Remaja Rosdakarya, 2006), hal.25.

[13] Bernad Raho, Sosiologi, (Maumere: Ledalerero,2016),  hal. 124-125.

[14] Ibid., hal 56.

[15] Kebudayaan-tandingan ialah kebudayaan khusus yang dihayati oleh suatu kelompok masyarakat yang secara kuat menghidupi satu atau lebih nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan nilai dalam kebudayaan dominan.  Bernard Raho, Ibid., hal. 143.

[16] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utma, 2005), hal. 578-579.

[17]  Bernard Raho, Op. Cit., hal. 157.

[18] Paul Arnt, Op. Cit., hal. 3-4.

[19]  Ibid., hal 5.

[20] Bernard Raho, Op. Cit., hal. 142

[21] Paul Arndt, Op. Cit., hal 15-16.

[22] Ibid., hal. 48.

[23] Ibid., hal. 50

[24] Ibid., hal. 89

[25] Ibid., hal. 159.

   

[26] Demikian suru laki adalah tuan dan penguasa orang-orang mati di atas gunung Ebu Lobo, puncak gunung di Keo

   

[27] Ibid., hal. 554.

   

[28] Ibid., hal. 556.

   

[29] Ibid., hal. 567.

   

[30]Paul Arndt, Agama Orang Ngadha: Kultus, Pesta, dan Persembahan (Vol. II), (Ende:Arnoldus, 2007), hal. 169.

   

[31] Simon Petrus L. Tjhajadi, Petualang Intelektual; Konfrontasi denga Para Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern, (Yogyakarta: Kanisius,  2004), hal. 27.

   

[32] Bernard Raho, Op. Cit., hal. 117.

   

[33] John Stott, Isu-Isu Global, (Jakara: Yayasan komisi bina kasih, 2006), hal. 304-305.

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun