Mohon tunggu...
Fredi Yusuf
Fredi Yusuf Mohon Tunggu... Insinyur - ide itu sering kali datang tiba-tiba dan tanpa diduga

selalu bingung kalo ditanya, "aslinya orang mana?".

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bang, Sepertinya Sudah Saatnya Kita Beli Mobil Baru yang Lebih Oke (Bagian 2)

29 Juli 2011   03:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:17 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Uda Ong menelpon, dia pasti sedang panik menunggu kita", ujar Lading sebelum mengangkat telponnya.

Uda Ong atau yang bernama lengkap Ong Hok Gie adalah pria Tionghoa yang sudah sejak lahir tinggal di Padang. Namun entah mengapa tidak seperti saudara-saudara se-etnisnya yang sangat dikenal dengan kemampuan bisnisnya, dan pada umumnya selalu sukses didunia usaha. Uda Ong justru lebih memilih untuk jadi petualang, dengan misi menyelematkan hutan tersisa.

Uda Ong sudah sejak dua hari lalu berada di Bukit Matahari untuk mempersiapkan acara ini. Dia pasti sedang harap-harap cemas menanti kedatangan kami, karena dia pasti adalah orang yang saat ini paling banyak ditanya masyarakat. "Sudah sampai dimana rombongan itu Pak Ong Hok?", demikianlah kira-kira pertanyaan itu akan datang secara bertubi-tubi pada Uda Ong.

"Uda tanang se lah !, oto pareman ko memang sadang rusak, kami sadang manunggu gantinyo. Tapi Pak Camat alah pai duluan, beko kalau ado apo-apo salasailah samo Abang jo Pak Camat. Abang tenang saja !, ada kerusakan pada mobil, kami sedang menunggu gantinya. Tetapi Pak Camat sudah berangkat duluan, kalau ada apa-apa bisalah Abang selesaikan bersama Pak Camat nanti", ujar Si Lading menjawab telepon dari Uda Ong, berusaha menenangkan situasi.

Mobil Buyung sudah kembali sehat, namun mobil pengganti belum juga datang. Hari sudah jam 12 lewat  30 menit, masalah lainnya sepertinya tak lama lagi akan datang.

"Hari sudah siang perut sudah lapar, bagaimana kalau kita makan siang di Dam Kultur", ujar seorang anggota tim.

"Kalau urusannya sudah menyangkut perut, sebaiknya segera kita selesaikan karena tidak baik kalau ditunda-tunda. Oleh sebab itu marilah kita let's go ke Dam Kultur", celetukku.

Tidak ada komentar, semua hanya diam. Namun walau diam, ekspresi mereka terlihat bagai sebuah koer yang menyanyikan lagu setuju (kayak lagu Iwan Fals). Keputusanpun diambil secara aklamasi, dan tanpa komando semua penumpang sudah memenuhi kedua mobil. Mobilpun meluncur melaju ke Dam Kultur.

Dam Kultur adalah sebuah bendungan yang berfungsi sebagai irigasi untuk mengairi sawah disekitarnya. Tidak hanya itu, Dam Kultur juga menjadi sebuah alternatif wisata bagi masyarakat di wilayah ini dan sekitarnya. Sayang beberapa fasilitas yang ada tidak terawat, sehingga mengurangi daya tarik wisatawan.

Sekitar sepuluh menit perjalanan sampailah kami di Dam Kultur. Sesaat setelah mobil diparkir, Si Lading dan Si Udin bergegas menurunkan nasi bungkus yang dibawa dari Kota tadi dari dalam bagasi mobil yang kami tumpangi.

Di sebuah balai bercat putih yang berlantai kayu dan beratapkan seng, kami beristirahat untuk makan siang. Ukuran balai ini cukup besar, mungkin ada sekitar 10 x 10 meter, sayang kondisinya tidak terawat. Beberapa buah papan lantai sudah terlepas akibat lapuk, sementara paku dipapan yang terlepas tegak mencuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun