Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Bang, Sepertinya Sudah Saatnya Kita Beli Mobil Baru yang Lebih Oke (Bagian 2)

29 Juli 2011   03:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:17 181 0
Kamipun kembali bergabung dengan rombongan Instansi Pemerintah yang sudah menunggu, dan langsung meluncur menuju Bukit Matahari. Waktu sudah menunjukan pukul Sembilan lewat tigapuluh menit, kalau perjalanan lancar kami bisa sampai ditujuan dalam waktu 3 - 4 jam kedepan.

Mobil hitam rombongan Instansi Pemerintah yang dikemudikan Buyung memimpin didepan. "Biarlah mereka duluan aku belum pernah ke Bukit Matahari, jadi belum tahu arah dan kondisi jalan", ujar Bang Eki pada kami.

Walaupun jalanan licin karena diguyur hujan hampir sepanjang malam namun dua kendaraan yang kami tumpangi, masih cukup tangguh untuk mengarunginya.

Perjalanan belum sampai setengahnya dan belum ada rintangan berarti yang menghadang, tetapi sepertinya masalah mulai datang. Posisi kami saat itu sudah berada di Desa Monte, dan mobil hitam yang sedang melaju didepan tiba-tiba mendadak berhenti. Asap tebal mengepul dari bagian depan mobil, para penumpang meloncat berhamburan dengan ekspresi kaget dan wajah ketakutan, keluar dan lari menjauh dari mobil. Beberapa orang ada yang kembali mendekat ke mobil dan mengambil barangnya, kemudian menjauh lagi, barangkali takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dengan mobil tersebut.

Melihat kejadian tersebut, Bang Eki menginjakan kakinya ke pedal rem dan mobil yang kami tumpangipun ikut berhenti. Kami semua turun dari mobil untuk mengetahui apa yang terjadi.

"Apo hal Yung, apa yang terjadi", ujar Bang Eki pada Buyung.

"Entahlah Bang, mungkin kabulatornya bermasalah", jawab Buyung.

Buyungpun membuka kap mobil memeriksa apa yang sebenarnya terjadi. Asap putih yang keluar dari dalam kap mobil perlahan-lahan mulai sirna.

"Air kabulator habis mungkin ada bagian yang bocor, kita harus memeriksanya ke kolong mobil", kata Bang Eki yang ikut memeriksa mobil Buyung.

Walaupun baru saling kenal, Bang Eki dan Buyung bagai satu hati. Mereka berdua sama-sama buka baju dan hanya menyisakan kaos dalam melekat ditubuhnya. Kemudian bahu-membahu bergantian masuk kolong mobil, memeriksa letak kebocoran yang menjadi penyebab mogoknya mobil.

"Ach, selangnya rusaknya", ujar Bang Eki sesaat kemudian setelah keluar dari kolong mobil.

"Bagaimana Yung, masih bisa diatasi ?", tanya Bu Azizah yang sedari tadi ikut memperhatikan apa yang dilakukan Buyung dan Bang Eki, sambil harap-harap cemas takut kalau mobil tersebut mengalami rusak yang sangat parah. Maklum mobil hitam itu adalah mobil pribadinya, sedangkan mobil silver yang ditinggal adalah mobil dinasnya. "Lumayanlah selain dapat biaya perjalanan dinas, isi kantong bisa tambah tebal dari hasil sewa mobil, sah-sah saja bukan", mungkin itulah yang ada dibenak Bu Azizah yang konon katanya punya jiwa bisnis yang mumpuni.

"Mudah-mudahan bisa Bu", jawab Buyung dengan nada pesimis, sambil terus mengotak-atik dan memperbaiki kerusakan mobilnya.

Sementara Bang Eki dan Buyung sibuk memperbaiki mobilnya, para penumpang yang menunggu mengisi waktunya dengan berbagai aktivitasnya masing-masing. Ada yang sibukmakan kerupuk, siapa lagi orangnya kalau bukan Si Lading. Ada yang bercanda ria hingga tertawa, itu adalah dayang-dayangnya Bu Azizah yang terus digodain oleh si Udin. Ada yang sepertinya melakukan lobi-lobi dengan obrolan tingkat tinggi, ini siapa lagi kalau bukan Bos Faisal dengan Bu Azizah. Ada juga yang cuma tamanuang haning-haning (termenung diam dalam kesendirian) sajah, kalau yang ini siapa lagi kalau bukan diriku yang paling benci kalau disuruh menunggu, dan mudah sekali terserang bete.

Sebuah mobil hitam dengan spesipikasi seperti mobil yang kami sewa, berplat merah tiba-tiba meluncur dari arah belakang dengan kecepatan cukup tinggi. Tiba-tiba mobil tersebut berhenti didepan mobil Buyung yang masih mogok. Seseorang berbadan tegap yang berpakaian safari dengan benda mengkilap sebesar jengkol yang menggantung disaku dadanya turun dari mobil tersebut. Rupanya Pak Camat Kecamatan Limau yang punya agenda sama dengan kami yang datang.

"Apo hal, apo kejadian ?", tanya Pak Camat.

"Selang kabulator bocor", jawab Bu Azizah yang tampaknya sudah kenal akrab, dan memang seharusnya begitu karena mereka berdua sama-sama pejabat Negara.

Pak Camatpun kemudian ikut melihat-lihat apa yang dikerjakan Bang Eki dan Buyung. "Wah, kalau macam ini ganti mobil bae (saja), kalau dipakso jugo cari balak, sio-sio kagek gawe kito (daripada nanti pekerjaannya jadi sia-sia)", ujarnya setelah melihat kondisi mobil, dengan bahasa dan logat Jambi yang sangat kental.

Saran Pak Camat sepertinya disambut baik oleh Bu Azizah, dengan ponselnya beliau mencoba menghubungi seseorang. Dari pembicaraannya dengan seseorang diujung telepon sana, sepertinya Bu Azizah sedang melobi sesorang untuk mendapatkan mobil pengganti. "Oke, kita tunggu mobil pengganti saja", katanya pada kami setelah menutup teleponnya.

"Ya, saya pikir itu lebih baik, karena sekalipun kerusakan mobil ini bisa teratasi, sangat beresiko jika kita bawa mobil ini sampai ke Bukit Matahari. Tetapi kalau untuk kembali ke kota, saya jamin mobil ini masih bisa aman",  timpal Buyung.

"Kalau begitu, saya berangkat duluan saja ke Bukit Matahari agar masyarakat tidak terlalu resah menunggu", ujar Pak Camat. Pak Camatpun kembali ke mobilnya, dan mobilnyapun melaju kemudian menghilang dari pandangan kami.

Waktu menunjukkan hampir jam 12 siang mobil pengganti belum juga datang, sementara Bang Eki dan Buyung masih sibuk dengan mobilnya. Ponsel dikantong celana si Lading berdering, sejenak dilihatnya siapa yang menelpon.

"Uda Ong menelpon, dia pasti sedang panik menunggu kita", ujar Lading sebelum mengangkat telponnya.

Uda Ong atau yang bernama lengkap Ong Hok Gie adalah pria Tionghoa yang sudah sejak lahir tinggal di Padang. Namun entah mengapa tidak seperti saudara-saudara se-etnisnya yang sangat dikenal dengan kemampuan bisnisnya, dan pada umumnya selalu sukses didunia usaha. Uda Ong justru lebih memilih untuk jadi petualang, dengan misi menyelematkan hutan tersisa.

Uda Ong sudah sejak dua hari lalu berada di Bukit Matahari untuk mempersiapkan acara ini. Dia pasti sedang harap-harap cemas menanti kedatangan kami, karena dia pasti adalah orang yang saat ini paling banyak ditanya masyarakat. "Sudah sampai dimana rombongan itu Pak Ong Hok?", demikianlah kira-kira pertanyaan itu akan datang secara bertubi-tubi pada Uda Ong.

"Uda tanang se lah !, oto pareman ko memang sadang rusak, kami sadang manunggu gantinyo. Tapi Pak Camat alah pai duluan, beko kalau ado apo-apo salasailah samo Abang jo Pak Camat. Abang tenang saja !, ada kerusakan pada mobil, kami sedang menunggu gantinya. Tetapi Pak Camat sudah berangkat duluan, kalau ada apa-apa bisalah Abang selesaikan bersama Pak Camat nanti", ujar Si Lading menjawab telepon dari Uda Ong, berusaha menenangkan situasi.

Mobil Buyung sudah kembali sehat, namun mobil pengganti belum juga datang. Hari sudah jam 12 lewat  30 menit, masalah lainnya sepertinya tak lama lagi akan datang.

"Hari sudah siang perut sudah lapar, bagaimana kalau kita makan siang di Dam Kultur", ujar seorang anggota tim.

"Kalau urusannya sudah menyangkut perut, sebaiknya segera kita selesaikan karena tidak baik kalau ditunda-tunda. Oleh sebab itu marilah kita let's go ke Dam Kultur", celetukku.

Tidak ada komentar, semua hanya diam. Namun walau diam, ekspresi mereka terlihat bagai sebuah koer yang menyanyikan lagu setuju (kayak lagu Iwan Fals). Keputusanpun diambil secara aklamasi, dan tanpa komando semua penumpang sudah memenuhi kedua mobil. Mobilpun meluncur melaju ke Dam Kultur.

Dam Kultur adalah sebuah bendungan yang berfungsi sebagai irigasi untuk mengairi sawah disekitarnya. Tidak hanya itu, Dam Kultur juga menjadi sebuah alternatif wisata bagi masyarakat di wilayah ini dan sekitarnya. Sayang beberapa fasilitas yang ada tidak terawat, sehingga mengurangi daya tarik wisatawan.

Sekitar sepuluh menit perjalanan sampailah kami di Dam Kultur. Sesaat setelah mobil diparkir, Si Lading dan Si Udin bergegas menurunkan nasi bungkus yang dibawa dari Kota tadi dari dalam bagasi mobil yang kami tumpangi.

Di sebuah balai bercat putih yang berlantai kayu dan beratapkan seng, kami beristirahat untuk makan siang. Ukuran balai ini cukup besar, mungkin ada sekitar 10 x 10 meter, sayang kondisinya tidak terawat. Beberapa buah papan lantai sudah terlepas akibat lapuk, sementara paku dipapan yang terlepas tegak mencuat.

Namun demikian balai ini sepertinya menjadi pilihan terbaik untuk makan siang beramai-ramai, daripada harus duduk dirumput ditengah terik matahari. Si Lading dan Si Udin pun sibuk membagi-bagikan makanan kepada para anggota.

Antisipasi yang tepat dari bang Faisal, seandainya dia tidak mengintruksikan aku untuk membawa bekal, barangkali saat ini akan terjadi sebuah kerusuhan. Masalahnya ini urusannya sudah menyangkut perut, yang jika tidak terselesaikan seringkali berakhir dengan pertumpahan darah. Berlebihan banget retorikanya ya hehe...

Perut kenyang mata mengantuk, waktu sudah menunjukan jam satu lewat beberapa detik. Padahal berdasarkan jadwal seharusnya kami sudah sampai di Bukit Matahari, dan acara sudah harus dimulai. Namun mobil pengganti yang akan mengangkut kami belum juga datang.

Sepuluh menit sudah berlalu, menit kedua puluh kamipun masih tetap menunggu. Setelah menit ketiga puluh, sebuah mobil berwarna biru metallic muncul dan langsung parkir disebelah mobil kami.

"Mobil pengganti datang, mari bersiap-siap untuk berangkat", ujar Bu Azizah.

"Ini baru mantap, sangat cocok untuk medan berat", sahut Buyung mengomentari mobil pengganti yang spesifikasi sama dengan mobil yang kami sewa, hanya pabrikannya saja yang berbeda.

Pengemudi mobil biru turun dan langsung menghampiri Bu Azizah. "Antrian kendaraan di Pom Bensin sangat panjang, jika ikut antri seharian belum tentu dapat BBM, jadi mobil ini BBM nya kosong", ujar si Pengemudi pada Bu Azizah.

Satu masalah selesai masalah lainnya datang, tetapi memang sih Jambi beberapa hari terakhir ini krisis BBM, antrian panjang disetiap Pom Bensin menjadi pemandangan tak indah yang menghiasi kota. Pedagang eceran mematok harga BBM 15 sampai 20 ribu perliternya.

"Kalau begitu nggak ada jalan lain kecuali membongkar minyak ditangki mobil hitam untuk dipindah ke mobil biru", ujar Bu Azizah.

Tanpa diperintah Buyung mulai sibuk mencari perlengkapan yang dibutuhkan untuk membongkar BBM dari mobilnya. Setelah lengkap Buyung masuk ke kolong mobil hitamnya untuk mengeluarkan BBM. Setelah BBM dimobil hitam nyaris terkuras dan hanya menyisakan BBM secukupnya untuk kembali ke Kota, selanjutnya proses pemindahan BBM dari mobil hitam ke mobil biru dilakukan.

BBM mobil biru sudah terisi, Buyungpun kini sudah berada dibelakang kemudi mobil biru dan siap meluncur. Mobil hitam kembali ke sarangnya, mobil biru dan mobil merahpun meluncur ke Bukit Matahari.

Jalan menuju Bukit Matahari berikutnya memang sangat berat. Namanya saja Bukit Matahari, lokasinya pasti sangat tinggi. Begitu juga dengan jalannya, penuh dengan pendakian tajam dengan jarak yang cukup panjang. Belum lagi kondisi jalan yang didominasi oleh jalan tanah yang penuh lobang terkena laju erosi.

"Kalau saja mobil hitam tadi yang kita bawa ke sini, pasti nggak akan sanggup mendaki tanjakan sepanjang ini sekalipun dia pakai double gardan", kata Bang Eki mengomentari kondisi jalan yang dilalui.

"Tapi kalau pakai mobil ini medan berat begini sepertinya bukan masalah, semua jalan dianggap datar. Saat mobil masuk lobang hentakannya nyaris nggak terasa, lihat aja di belakang, si Lading masih bisa ngorok sekalipun mobil nyaris terperosok", ujar Bang Faisal sambil melirik kearah si Lading yang duduk terkantuk-kantuk.

"Makanya Bang, untuk proyek kita ni belilah satu mobil seperti ini", timpalku.

"Kajian awak indak sampai sinan ndo, itu kajian toke-toke gadang. Kajian kita nggak sampai situ, itu urusannya bos-bos besar", jawab bang Faisal.

Tak terasa waktu berlalu, dua jam sudah menempuh perjalanan. Tepat jam empat tapi kurang tiga menit sampailah kami di Bukit Matahari. Uda Ong menyambut kami dengan senyum bahagia.

"Syukurlah kalian datang juga, warga sudah mulai resah. Mereka menunggu sudah lebih dari tiga jam", ujar Uda Ong.

"Untunglah ada Pak Camat, kalau tidak entahlah. Pak Camat bilang tunggu sampai jam empat, kalau rombongan tidak datang juga acara akan saya buka, dan langsung saya bubarkan", lanjut Uda Ong.

MUDAH-MUDAHAN MASIH ADA SAMBUNGANNYA LAGI...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun