"Negeri yang gaduh oleh janji-janji kosong, keberanian untuk tetap jujur adalah keheningan yang paling lantang."
Dalam perjalanan bangsa ini, kekuasaan sering kali hanya menjadi panggung untuk mereka yang pandai bersolek kata. Tapi sesekali, lahir sosok yang tidak sibuk memoles citra, melainkan memilih untuk bekerja dalam diam, menanam nilai dalam luka. Basuki Tjahaja Purnama (BTP) Ahok, adalah satu dari sedikit itu.
Ia datang bukan untuk menang dengan cara-cara biasa. Ia datang untuk memperbaiki yang rusak, menertibkan yang semrawut, membela yang lemah, bahkan ketika harus membayar mahal untuk itu.
Di jalan-jalan Jakarta, di pasar-pasar kecil, di tangan anak-anak yang menggenggam buku dan menatap penuh harap, Ahok menanamkan bukti, kekuasaan, di tangan orang yang benar, adalah alat untuk melayani, bukan menguasai. Ia membangun bukan hanya trotoar atau rumah susun, tapi membangun keyakinan bahwa keadilan bukan sekadar jargon musiman.
Di negeri yang besar ini, setiap ajaran luhur telah lama berteriak tentang integritas. Tapi terlalu sering, suara itu tenggelam dalam riuh rendah kompromi. Ahok berdiri di tengah itu, kadang sendiri, memilih tetap jujur ketika lebih mudah pura-pura. Ia tahu, menjadi benar tidak pernah menjanjikan kemenangan, tapi ia percaya kebenaran, meski kalah hari ini, akan bertahan lebih lama dari kebohongan yang merajalela.
Tak banyak yang kuat bertahan dalam sunyi itu. Ketika pujian berubah menjadi caci, ketika kekuasaan berganti wajah menjadi hukuman, Ahok tidak mundur ke ruang aman. Ia tetap melangkah, meski dengan napas tersengal, karena ia tahu, tugas seorang pemimpin bukan menjaga kekuasaan, tapi menjaga prinsip, bahkan saat tak ada lagi yang menyaksikan.
Generasi muda Indonesia, yang hari ini belajar tentang demokrasi dalam kelas-kelas sempit dan lorong-lorong gelap, perlu lebih dari sekadar kecerdasan akademik. Mereka perlu keberanian untuk jujur, keteguhan untuk bersikap benar, bahkan ketika harus berjalan sendirian.
Ahok bukan malaikat. Ia manusia biasa yang memilih jalan sulit, jujur dalam dunia yang nyaman dengan dusta, bekerja dalam ruang sempit yang dikepung kompromi. Dari luka-lukanya, kita belajar, bahwa yang abadi bukanlah kemenangan politik, tapi ketulusan untuk tetap berpihak kepada yang benar.
Kini lilin itu berpindah tangan. Kepada mereka yang percaya bahwa perubahan lahir dari peluh, dari kerja keras yang sepi sorak-sorai. Indonesia tidak kekurangan orang pintar. Yang kita butuhkan adalah lebih banyak orang yang berani jujur, lebih banyak pemimpin yang tahu bahwa kekuasaan adalah tentang melayani, bukan tentang memerintah.
Ahok sudah menyalakan lilin itu di tengah angin yang kencang. Terserah kita, apakah mau menjaga nyalanya, atau membiarkannya padam, terkubur dalam riuh rendah kepentingan yang tak pernah reda.