Puisi ini ditulis oleh Fransiskus Heru
Warna kulit-Mu yang sudah memudar.Â
Rambut kepala-Mu telah memutih.
Engkau pun berdiri enggak mampu.
Bahkan, rahang-Mu kembali seperti rahang balita.
***
Kotoran bola mata yang menumpuk, dan.....
Bola mata-Mu meneteskan air garam dari hutan.
Aku salut, karna engkau masih ingat.....
***
Mana yang kotor, mana yang bersih,
Mana yang baik, dan mana yang jahat.
Mana yang berbahaya, dan mana yang tak berbahaya,
Mana yang menguntungkan serta mana yang merugikan.
***
Datanglah aku ke rumah Nenek, lalu aku memanggil......
Nenek!, tidak menoleh dan menjawab.
Itu artinya, Nenek tidak mendengar.
Aku panggil lagi, Nenek!
Nenek!, Nek!
***
Duduk sopan dan aku bagaikan audien di forum organisasi,
Duduk sopan dan sembari mendengarkan isyarat-isyarat dari lidah Nenek.
Kumelihat dahi Nenek yang sudah berselokan.
Mendengarkan lisan Nenek, bagaikan seseorang menerima surat dari pengirimnya.
***
Kepada Nenek-ku, maafkanlah Cucu-mu.
Cucu belum bisa memberikan engkau uang, dan......
Belum bisa membelikan barang.
Kepada Nenek-ku, terima kasih atas segala pesan-pesanmu,
Pesan-Mu telah menjadi bekal untuk diriku.
***
Bibir Cucu-mu yang terjahit,
Lidah Cucu-mu yang terlipat menggulung.
Akan tetapi, cairan otak dan gumpalan hati Cucu-mu bersuara hormat.
Kepada Nenek-ku, terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H