Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Demo dan Kerusuhan adalah Suara Rakyat atau Permainan di Balik Layar?

31 Agustus 2025   12:21 Diperbarui: 31 Agustus 2025   12:21 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara di jalanan sering kali lebih jujur daripada janji di podium. Ketika rakyat turun ke jalan, ada sesuatu yang tidak beres dalam rumah besar bernama negara. Orang-orang rela berdesakan di tengah panas terik, suara toa bersahut-sahutan, dan tubuh berhadapan dengan aparat. Semua itu bukan sekadar pemandangan politik, tetapi cermin betapa dalamnya keresahan yang mereka bawa.

Namun, selalu muncul pertanyaan yang tak pernah usang: apakah demo dan kerusuhan yang pecah benar-benar murni kemarahan rakyat, atau ada pihak-pihak yang menunggangi? Pertanyaan ini terus hidup di kepala masyarakat setiap kali sebuah demo berubah jadi kisruh. Sebagian yakin bahwa rakyat bisa marah dengan sendirinya, sementara sebagian lain percaya bahwa ada dalang yang mengatur di balik layar.

Wajah Asli Demo Hak Suara atau Ledakan Emosi?

Demo sejatinya adalah wajah paling nyata dari kebebasan berpendapat. Demokrasi tanpa demo sama dengan meja makan tanpa kursi. Di situ rakyat menyalurkan keresahan yang tidak bisa mereka sampaikan melalui jalur formal. Mereka bersuara karena merasa didiamkan, mereka marah karena merasa diabaikan.

Kalau ditarik ke sejarah, demo di Indonesia sudah menjadi bagian dari denyut politik sejak zaman kolonial. Dari perlawanan mahasiswa tahun 1966, gerakan reformasi 1998, sampai demo buruh dan mahasiswa hari ini, semua lahir dari akar keresahan sosial yang sama: rakyat merasa tidak adil.

Tapi yang sering luput dari pembahasan adalah bahwa demo bukan sekadar aksi politik. Demo juga bahasa emosional rakyat. Ia adalah ledakan energi yang terkumpul lama. Harga bahan pokok naik, lapangan kerja sempit, kebijakan publik dirasa timpang. Semua itu membuat rakyat menanggung beban. Ketika beban itu terlalu berat, jalanan menjadi panggung pelampiasan.

Di titik inilah muncul kerumitan. Demo damai bisa pecah jadi kerusuhan hanya karena satu percikan kecil. Entah itu provokasi, gesekan dengan aparat, atau kekecewaan yang sudah tak terbendung. Dan begitu kerusuhan pecah, wajah demo yang sesungguhnya sering tertutup oleh asap ban terbakar dan kaca pecah.

Narasi Ditunggangi Dalih atau Realita?

Setiap kali kerusuhan terjadi, selalu ada narasi yang dilempar ke publik: ada yang menunggangi. Narasi ini terdengar seperti dongeng lama yang diulang-ulang, seakan rakyat tidak mungkin marah tanpa ada dalang di belakangnya.

Di satu sisi, anggapan ini memang tidak sepenuhnya keliru. Sejarah mencatat ada demo yang benar-benar dimanfaatkan. Ada kelompok politik yang sengaja mengalirkan dana, ada yang menunggangi isu untuk menjatuhkan lawan, bahkan ada yang memprovokasi massa agar chaos demi keuntungan tertentu. Rakyat yang sudah marah mudah sekali diarahkan, dan dalam situasi itu, massa sering jadi pion dalam permainan catur kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun