Perbedaan besar lainnya adalah ketergantungan pada dunia digital. Banyak orang mencari nafkah melalui platform online, mulai dari driver ojek aplikasi, content creator, hingga penjual daring. Jika krisis 1998 terulang, platform-platform ini bisa ikut terguncang. Bayangkan kalau perusahaan global menarik diri, server terganggu, atau modal asing kabur. Efeknya bukan hanya PHK massal, tetapi juga lumpuhnya ekosistem digital yang selama ini menjadi tumpuan generasi muda.
Ekonomi runtuh di era digital bukan hanya soal uang yang hilang, tetapi juga soal hilangnya akses pada ruang hidup baru. Jika 1998 terjadi lagi, maka yang jatuh bukan hanya rupiah, tapi juga dunia digital yang selama ini kamu andalkan.
Generasi Z dan Potensi Ledakan Gerakan Baru
Mahasiswa tahun 1998 adalah motor perubahan. Mereka turun ke jalan, berhadapan langsung dengan aparat, dan akhirnya berhasil mengguncang kursi kekuasaan. Bagaimana dengan generasi sekarang?
Gen Z tumbuh di dunia yang serba cepat. Mereka akrab dengan teknologi, kritis terhadap isu sosial, dan tidak segan menyuarakan pendapat. Namun banyak yang menganggap mereka terlalu nyaman di balik layar, malas turun ke jalan, hanya berani di Twitter atau Instagram. Itu pandangan yang menipu.
Jika situasi krisis benar-benar datang, Gen Z bisa menjadi elemen paling menentukan. Mereka punya keahlian mengorganisir diri secara digital, menciptakan gerakan viral, dan membangun solidaritas lintas kota bahkan lintas negara. Bayangkan ratusan ribu mahasiswa dan pelajar yang kompak menggerakkan opini lewat media sosial. Dalam sekejap, isu bisa menjadi tekanan politik yang nyata.
Namun ada sisi lain yang perlu diwaspadai. Gerakan digital sering kali rapuh karena kurang kepemimpinan yang jelas. Ia bisa meledak cepat, tapi juga bisa hilang begitu saja. Manipulasi informasi, infiltrasi bot, atau propaganda digital bisa membuat arah gerakan kacau. Jika 1998 terulang, maka peran Gen Z akan jadi pedang bermata dua: bisa menjadi penyelamat dengan solidaritasnya, bisa juga menjadi pemicu kekacauan lebih besar karena ketidakjelasan arah.
Negara dan Bayangan Ketidakpercayaan
Salah satu pelajaran terbesar dari 1998 adalah runtuhnya kepercayaan rakyat pada negara. Saat harga melonjak, saat hukum tidak berpihak, saat aparat dianggap lebih melindungi kekuasaan daripada rakyat, kepercayaan itu pun hilang. Ketika kepercayaan hilang, perubahan besar tidak bisa lagi ditahan.
Sekarang situasinya berbeda, tapi juga sama. Negara punya instrumen yang jauh lebih canggih untuk mengendalikan masyarakat. Ada pengawasan digital, ada sensor informasi, ada algoritma yang bisa mengatur apa yang kamu lihat di media sosial. Tetapi, apakah itu cukup untuk menahan krisis kepercayaan?
Justru bisa jadi lebih berbahaya. Jika rakyat merasa bahwa informasi disaring, bahwa pendapat dibungkam, bahwa suara mereka tidak sampai, jurang ketidakpercayaan bisa melebar. Negara terlihat kuat dengan kontrol teknologinya, tapi rapuh di mata rakyat yang merasa dimanipulasi. Jika 1998 terulang, maka yang runtuh bukan hanya sistem ekonomi, tetapi juga legitimasi kekuasaan.