Ketidakadilan yang Sistemik
Tunjangan rumah DPR hanyalah satu contoh kecil dari masalah yang jauh lebih besar: ketidakadilan sistemik dalam kebijakan negara. Negara selalu punya alasan untuk membiayai fasilitas elit, tapi sering kehabisan alasan ketika harus membantu rakyat kecil.
Di satu sisi, subsidi perumahan untuk rakyat kecil dibuat dengan syarat yang rumit, proses yang panjang, dan jumlah yang terbatas. Banyak masyarakat akhirnya tidak bisa mengaksesnya. Di sisi lain, tunjangan rumah untuk DPR cair dengan lancar tanpa ribet. Inilah bentuk nyata dari birokrasi yang timpang: sederhana untuk elit, berbelit untuk rakyat.
Ketidakadilan ini juga berakar pada cara pandang penguasa terhadap rakyat. Rumah dipandang sebagai fasilitas bagi pejabat, tapi hanya dianggap sebagai kebutuhan sekunder bagi rakyat biasa. Padahal, UUD 1945 jelas menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas tempat tinggal yang layak. Sayangnya, pasal itu lebih sering jadi hiasan teks konstitusi ketimbang diwujudkan dalam kebijakan nyata.
Kritik terhadap DPR memang penting, tapi masalah ini seharusnya juga membuka diskusi lebih luas: mengapa kebijakan perumahan di Indonesia selalu gagal memenuhi kebutuhan rakyat? Mengapa backlog perumahan tak kunjung turun? Dan mengapa mimpi punya rumah justru semakin jauh dari jangkauan generasi sekarang?
Sudut Pandang Baru yang Perlu Ditekankan
Mungkin ada yang berpikir, polemik tunjangan rumah DPR hanya isu kecil yang sering dibesar-besarkan. Namun sebenarnya, isu ini punya nilai simbolis yang sangat kuat. Tunjangan rumah DPR mencerminkan bagaimana negara menempatkan prioritas. Kalau untuk DPR bisa, berarti untuk rakyat juga seharusnya bisa.
Bayangkan kalau konsep tunjangan rumah ini diterapkan secara lebih luas, bukan hanya untuk DPR, tapi untuk rakyat. Negara bisa mengalokasikan anggaran yang signifikan untuk membangun perumahan layak huni dengan harga terjangkau, menyediakan skema kredit yang benar-benar realistis, dan memastikan setiap warga punya akses terhadap hunian layak.
Sudut pandang ini jarang dibicarakan. Selama ini, masyarakat hanya marah pada DPR, tapi jarang menuntut agar fasilitas serupa juga diterapkan untuk rakyat. Padahal, bukankah DPR disebut wakil rakyat? Kalau wakil mendapat tunjangan rumah, wajar kalau rakyat juga menuntut perlakuan yang sama.
Novelty dari gagasan ini ada pada logika sederhana: kalau negara mampu menjamin rumah untuk pejabat, maka negara seharusnya juga mampu menjamin rumah untuk rakyat. Kalau tidak, berarti masalahnya bukan soal kemampuan, melainkan soal kemauan politik.
Menata Ulang Prioritas Negara