Ketika rakyat sibuk menghitung receh untuk bayar kontrakan, para anggota DPR bisa tenang karena mendapat tunjangan rumah. Ironinya terlalu jelas untuk diabaikan. Negara yang seharusnya hadir menjamin kebutuhan dasar warganya justru tampak lebih perhatian pada kenyamanan segelintir elit politik. Fakta ini memunculkan pertanyaan yang mengusik: apakah benar keadilan sosial di negeri ini masih relevan, atau sudah lama dikubur bersama mimpi rakyat kecil untuk memiliki rumah sendiri?
Tunjangan Rumah dan Wajah Asli Kekuasaan
Tunjangan rumah DPR memang bukan isu baru, tapi setiap kali kembali dibicarakan, ia selalu menohok rasa keadilan publik. Bayangkan, seorang anggota DPR yang sudah menerima gaji belasan hingga puluhan juta per bulan, masih diberi tunjangan rumah puluhan juta rupiah setiap bulannya. Padahal, mayoritas rakyat hanya bisa bermimpi punya rumah sederhana karena gajinya bahkan tidak cukup untuk DP kredit rumah.
Di balik dalih formal bahwa tunjangan itu bagian dari fasilitas negara, ada wajah asli kekuasaan yang terlihat: sistem politik yang lebih sibuk menjaga kenyamanan elit ketimbang mengurus kesejahteraan rakyat. Rakyat hanya diingat ketika pemilu tiba, saat suara mereka jadi tiket masuk ke Senayan. Setelah itu, jarak sosial antara wakil rakyat dan rakyat semakin lebar.
Kesenjangan ini semakin nyata jika dibandingkan dengan data perumahan nasional. Survei menunjukkan angka backlog perumahan di Indonesia masih belasan juta unit. Artinya, belasan juta keluarga belum punya rumah sendiri. Mereka harus mengontrak, numpang, atau tinggal di rumah yang tidak layak. Pertanyaan sederhana muncul: mengapa negara bisa menjamin rumah untuk DPR, tapi gagal menjamin rumah untuk rakyat?
Mimpi Punya Rumah yang Kian Mustahil
Bagi generasi muda saat ini, memiliki rumah hampir setara dengan mimpi membeli bintang di langit. Harga tanah dan properti naik jauh lebih cepat dibanding kenaikan gaji atau upah. Bahkan ada istilah populer di media sosial: generasi sekarang hanya bisa membeli rumah lewat game simulasi, bukan di dunia nyata.
Ambil contoh di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya. Harga rumah kelas menengah bisa mencapai miliaran rupiah. Dengan gaji UMR sekitar 4-5 juta rupiah, jangankan untuk beli rumah, menabung DP saja butuh puluhan tahun. Itu pun kalau harga rumah tidak naik tiap tahun, padahal kenyataannya selalu naik.
Situasi ini membuat banyak anak muda memilih menyerah. Mereka lebih realistis dengan mengalokasikan penghasilan untuk kebutuhan sehari-hari atau gaya hidup sederhana daripada mengejar mimpi yang hampir mustahil. Sementara itu, pemerintah seolah hanya menonton. Program perumahan rakyat yang ada sering kali rumit, terbatas, dan tidak menyentuh kelompok menengah bawah yang justru paling membutuhkan.
Ironi semakin kuat saat dibandingkan dengan DPR. Anggota dewan tidak perlu pusing memikirkan cicilan rumah atau kontrakan. Mereka cukup duduk di kursi empuk Senayan, lalu negara yang menanggung beban rumahnya. Bedanya bagai bumi dan langit.