Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dapat Calon Mertua Ketus, Lanjutin atau Tinggalin?

23 Agustus 2025   16:25 Diperbarui: 23 Agustus 2025   16:12 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mertua ketus .(SHUTTERSTOCK/BEAR FOTOS)

Cinta memang menyatukan dua orang, tapi pernikahan selalu membawa cerita yang lebih kompleks. Begitu kita memutuskan serius dengan pasangan, ada sosok lain yang ikut masuk dalam lingkaran kehidupan kita: orang tua pasangan, atau yang kelak dipanggil mertua. Tidak jarang, harapan manis tentang keluarga yang harmonis langsung dihadapkan pada kenyataan yang pahit. Bayangan diterima hangat bisa berubah jadi pengalaman dingin ketika ternyata calon mertua bersikap ketus.

Sebelum memutuskan, penting untuk membedah masalah ini lebih dalam. Ada berbagai sudut pandang yang bisa kita gunakan untuk menilai apakah sikap ketus calon mertua bisa dihadapi dengan bijak, atau justru menjadi sinyal bahaya yang harus dihindari.

Restu Itu Penting, Tapi Bukan Segalanya

Dalam masyarakat kita, restu orang tua dianggap sebagai fondasi yang menentukan keberhasilan rumah tangga. Tidak sedikit pasangan yang batal menikah hanya karena tidak mendapat restu, seolah tanpa itu kebahagiaan mustahil tercapai. Restu memang memberi rasa aman, karena dengan adanya dukungan keluarga, jalan menuju pernikahan terasa lebih ringan.

Namun realita tidak selalu berjalan seindah itu. Ada orang tua yang memang sulit terbuka, ada yang butuh waktu lama untuk menerima orang baru, bahkan ada yang terbiasa menunjukkan sikap keras sejak awal. Ketusnya calon mertua sering kali langsung dipersepsikan sebagai bentuk penolakan. Padahal, belum tentu itu benar. Bisa saja ketus itu hanyalah ekspresi spontan, kebiasaan berbicara, atau sikap hati-hati dalam menilai orang baru yang akan masuk ke keluarganya.

Yang harus disadari, pernikahan pada dasarnya adalah penyatuan dua individu, bukan dua keluarga sepenuhnya. Meski keluarga punya peran besar, kehidupan rumah tangga tetap bergantung pada pasangan itu sendiri. Jika pasangan kuat, kompak, dan sepakat berjalan bersama, sikap ketus calon mertua tidak serta-merta menjadi penghalang.

Pasangan Adalah Cermin Keberanian

Sikap calon mertua, baik atau buruk, sering kali tidak bisa kita kendalikan. Namun ada hal yang justru bisa menjadi tolok ukur penting: bagaimana pasangan menyikapinya. Pasangan adalah orang yang seharusnya berdiri di samping kita, menjadi penyeimbang di tengah situasi sulit. Jika dia mampu menjelaskan, menenangkan, dan membela saat kita diperlakukan tidak menyenangkan, itu tanda kedewasaan dan komitmen yang kuat.

Sebaliknya, jika pasangan hanya diam, menganggap remeh, atau bahkan ikut menyalahkan, maka itu pertanda berbahaya. Sikap pasif seperti itu akan semakin sulit setelah menikah. Karena ketusnya calon mertua bukan hal yang berhenti begitu saja. Bisa jadi akan berlanjut bahkan semakin tajam ketika status sudah resmi menjadi bagian keluarga.

Pasangan yang berani akan berusaha mencari jalan tengah. Dia akan menenangkanmu sekaligus menjaga hubungan baik dengan orang tuanya. Dia tidak membiarkanmu berjuang sendirian, tapi juga tidak serta-merta memusuhi keluarganya. Keberanian pasangan dalam bersikap inilah yang bisa menjadi penentu apakah hubungan bisa bertahan atau tidak.

Kita perlu melihat pasangan sebagai mitra, bukan sekadar kekasih. Dalam pernikahan, akan banyak masalah lain yang lebih besar daripada sekadar mertua ketus. Jika menghadapi masalah kecil saja pasangan tidak bisa berdiri tegas, bagaimana dengan tantangan yang lebih berat nanti. Keberanian dan kedewasaan pasangan adalah indikator utama yang jauh lebih penting daripada sekadar menilai sikap calon mertua.

Dinamika Keluarga di Balik Sikap Ketus

Banyak orang terjebak menilai calon mertua hanya dari kesan luar. Ketus dianggap tanda benci, cuek dianggap tanda tidak suka. Padahal, ada begitu banyak dinamika keluarga yang tidak terlihat dari permukaan. Bisa jadi calon mertua sebenarnya orang yang penyayang, hanya saja caranya mengekspresikan berbeda. Ada pula yang terbiasa bersikap keras karena pengalaman hidup atau pola didikan sejak dulu.

Dalam banyak kasus, calon mertua ketus bukan berarti membenci menantunya. Kadang mereka hanya merasa khawatir akan kehilangan anak, atau takut anaknya tidak bahagia. Ketus bisa jadi cara untuk menguji kesungguhan, seolah ingin memastikan bahwa orang yang datang benar-benar tulus.

Kita juga harus melihat pola hubungan pasangan dengan keluarganya. Jika hubungan antara pasangan dan orang tuanya memang sejak awal dingin atau penuh konflik, wajar jika sikap itu ikut terlihat pada kita. Namun jika hubungan mereka baik-baik saja, tapi hanya kepada kita calon mertua bersikap ketus, mungkin ada alasan khusus yang perlu digali.

Pemahaman tentang dinamika keluarga ini penting agar kita tidak cepat menyimpulkan. Ada banyak kemungkinan di balik sikap ketus itu. Dengan mencoba memahami, kita bisa menilai lebih jernih apakah sikap tersebut masih bisa dihadapi dengan kesabaran, atau memang terlalu berisiko untuk masa depan.

Antara Bertahan dan Melepaskan

Keputusan untuk bertahan atau melepaskan hubungan selalu menjadi titik paling sulit. Tidak ada jawaban yang benar-benar mutlak, karena setiap orang punya batas kenyamanan yang berbeda.

Jika pasangan mampu menjadi jembatan dan memberi rasa aman, biasanya hubungan masih layak diperjuangkan. Meski calon mertua tetap ketus, hubungan bisa berjalan jika ada kerja sama dan komunikasi yang baik. Toleransi bisa tumbuh seiring waktu, dan perlahan hubungan keluarga bisa menjadi lebih cair.

Namun, jika pasangan lepas tangan dan membiarkanmu menghadapi semua tekanan sendirian, situasi bisa menjadi racun yang berbahaya. Pernikahan yang dipenuhi rasa tidak dihargai hanya akan menimbulkan luka. Apalagi jika sikap calon mertua yang ketus disertai dengan perilaku dominan yang ikut campur dalam banyak hal. Dalam kondisi seperti ini, mundur bisa menjadi pilihan yang lebih sehat daripada memaksakan diri.

Kamu perlu jujur pada diri sendiri. Tanyakan apakah kamu siap menjalani kehidupan rumah tangga dengan situasi seperti itu. Apakah kamu yakin bisa tetap bahagia meski harus berhadapan dengan sikap mertua yang ketus setiap hari. Jika jawabannya lebih banyak membuatmu ragu dan lelah, mungkin langkah mundur adalah keputusan bijak. Karena mempertahankan hubungan bukan hanya soal cinta, tapi juga soal menjaga kewarasan.

Menemukan Jalan Tengah

Meski tampak rumit, bukan berarti masalah ini tidak ada solusinya. Komunikasi tetap menjadi kunci utama. Dengan pasangan, bicarakan apa yang kamu rasakan. Sampaikan dengan tenang tanpa menyalahkan. Ungkapkan apa yang kamu butuhkan untuk merasa aman. Dari cara pasangan menanggapi, kamu bisa menilai seberapa besar keseriusannya memperjuangkan hubungan.

Selain itu, berusaha menjalin hubungan lebih baik dengan calon mertua juga bisa dilakukan. Terkadang sikap ketus akan mencair ketika melihat kesabaran dan ketulusan. Kamu bisa mencoba hadir dengan cara sederhana, misalnya membantu dalam hal kecil, menunjukkan perhatian, atau sekadar hadir tanpa banyak menuntut. Tidak ada jaminan sikap itu akan berubah, tapi setidaknya kamu menunjukkan usaha yang tulus.

Namun, penting juga untuk menyiapkan mental bahwa tidak semua orang bisa berubah sesuai harapan kita. Jika akhirnya calon mertua tetap ketus, kamu perlu menilai apakah sikap itu masih bisa ditoleransi atau tidak. Karena hidup adalah soal memilih, dan setiap pilihan punya konsekuensinya.

Pada akhirnya, hidup berumah tangga selalu penuh tantangan. Ketusnya calon mertua hanyalah salah satu ujian dari sekian banyak masalah yang mungkin akan muncul. Pertanyaannya bukan sekadar bertahan atau mundur, tapi seberapa siap kamu menjalani konsekuensinya. Menikah bukan hanya menyatukan dua hati, tetapi juga kesiapan menghadapi segala kemungkinan di luar kendali kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun