Kita perlu melihat pasangan sebagai mitra, bukan sekadar kekasih. Dalam pernikahan, akan banyak masalah lain yang lebih besar daripada sekadar mertua ketus. Jika menghadapi masalah kecil saja pasangan tidak bisa berdiri tegas, bagaimana dengan tantangan yang lebih berat nanti. Keberanian dan kedewasaan pasangan adalah indikator utama yang jauh lebih penting daripada sekadar menilai sikap calon mertua.
Dinamika Keluarga di Balik Sikap Ketus
Banyak orang terjebak menilai calon mertua hanya dari kesan luar. Ketus dianggap tanda benci, cuek dianggap tanda tidak suka. Padahal, ada begitu banyak dinamika keluarga yang tidak terlihat dari permukaan. Bisa jadi calon mertua sebenarnya orang yang penyayang, hanya saja caranya mengekspresikan berbeda. Ada pula yang terbiasa bersikap keras karena pengalaman hidup atau pola didikan sejak dulu.
Dalam banyak kasus, calon mertua ketus bukan berarti membenci menantunya. Kadang mereka hanya merasa khawatir akan kehilangan anak, atau takut anaknya tidak bahagia. Ketus bisa jadi cara untuk menguji kesungguhan, seolah ingin memastikan bahwa orang yang datang benar-benar tulus.
Kita juga harus melihat pola hubungan pasangan dengan keluarganya. Jika hubungan antara pasangan dan orang tuanya memang sejak awal dingin atau penuh konflik, wajar jika sikap itu ikut terlihat pada kita. Namun jika hubungan mereka baik-baik saja, tapi hanya kepada kita calon mertua bersikap ketus, mungkin ada alasan khusus yang perlu digali.
Pemahaman tentang dinamika keluarga ini penting agar kita tidak cepat menyimpulkan. Ada banyak kemungkinan di balik sikap ketus itu. Dengan mencoba memahami, kita bisa menilai lebih jernih apakah sikap tersebut masih bisa dihadapi dengan kesabaran, atau memang terlalu berisiko untuk masa depan.
Antara Bertahan dan Melepaskan
Keputusan untuk bertahan atau melepaskan hubungan selalu menjadi titik paling sulit. Tidak ada jawaban yang benar-benar mutlak, karena setiap orang punya batas kenyamanan yang berbeda.
Jika pasangan mampu menjadi jembatan dan memberi rasa aman, biasanya hubungan masih layak diperjuangkan. Meski calon mertua tetap ketus, hubungan bisa berjalan jika ada kerja sama dan komunikasi yang baik. Toleransi bisa tumbuh seiring waktu, dan perlahan hubungan keluarga bisa menjadi lebih cair.
Namun, jika pasangan lepas tangan dan membiarkanmu menghadapi semua tekanan sendirian, situasi bisa menjadi racun yang berbahaya. Pernikahan yang dipenuhi rasa tidak dihargai hanya akan menimbulkan luka. Apalagi jika sikap calon mertua yang ketus disertai dengan perilaku dominan yang ikut campur dalam banyak hal. Dalam kondisi seperti ini, mundur bisa menjadi pilihan yang lebih sehat daripada memaksakan diri.
Kamu perlu jujur pada diri sendiri. Tanyakan apakah kamu siap menjalani kehidupan rumah tangga dengan situasi seperti itu. Apakah kamu yakin bisa tetap bahagia meski harus berhadapan dengan sikap mertua yang ketus setiap hari. Jika jawabannya lebih banyak membuatmu ragu dan lelah, mungkin langkah mundur adalah keputusan bijak. Karena mempertahankan hubungan bukan hanya soal cinta, tapi juga soal menjaga kewarasan.