Berjalan kaki terdengar sederhana, bahkan sepele. Kita semua bisa melakukannya sejak kecil tanpa perlu kursus atau alat bantu. Namun, di tengah kehidupan modern yang serba cepat, berjalan kaki justru menjadi sesuatu yang semakin jarang dilakukan. Padahal, jarak yang sebenarnya bisa ditempuh dengan lima atau sepuluh menit jalan santai sering kali terasa berat seolah butuh kendaraan bermotor untuk mencapainya. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: kenapa kita malas untuk berjalan kaki?
Tulisan ini mencoba mengulik lebih dalam soal kebiasaan malas berjalan kaki. Dengan memahami akar masalahnya, kita bisa menemukan cara untuk berdamai dengan rasa malas dan menghidupkan kembali langkah kecil yang ternyata punya dampak besar bagi kesehatan, kebahagiaan, dan kualitas hidup.
Berjalan Kaki yang Kehilangan Nilai Sosial
Berjalan kaki pada dasarnya bukan hanya aktivitas fisik, melainkan juga pengalaman sosial. Di masa lalu, orang berjalan kaki ke pasar, ke sekolah, atau ke rumah tetangga bukan sekadar karena tidak ada kendaraan pribadi, melainkan karena memang itu bagian dari rutinitas hidup. Saat berjalan, seseorang bisa menyapa orang lain, berbincang singkat dengan tetangga, atau sekadar berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Jalan kaki menciptakan ruang sosial yang alami.
Kini, ruang itu semakin hilang. Jalan kaki sering kali dianggap buang waktu. Orang lebih suka mengunci diri dalam kendaraan pribadi dengan alasan efisiensi. Akibatnya, momen interaksi yang bisa muncul dari berjalan kaki perlahan hilang dari budaya kita. Kota-kota besar makin sepi dari orang berjalan santai, dan lebih dipenuhi kendaraan yang terburu-buru.
Nilai sosial ini hilang bukan hanya karena pilihan pribadi, tapi juga karena kota dan lingkungan tidak mendukung. Trotoar yang seharusnya ramah pejalan kaki dipenuhi pedagang atau dijadikan parkir. Akhirnya, orang merasa berjalan kaki bukan aktivitas menyenangkan, melainkan penuh risiko dan hambatan. Di titik inilah kita bisa melihat bahwa malas berjalan kaki bukan hanya karena tubuh enggan bergerak, tapi juga karena kita kehilangan makna sosial yang dulu membuat aktivitas ini terasa wajar dan bernilai.
Budaya Instan dan Ilusi Hemat Energi
Kebiasaan malas berjalan kaki erat kaitannya dengan budaya instan. Hidup modern melatih otak kita untuk selalu memilih cara tercepat. Ketika ada pilihan jalan kaki sepuluh menit atau naik motor dua menit, kita hampir otomatis memilih motor. Otak manusia memang secara alami didesain untuk menghemat energi. Namun, ironi muncul ketika cara menghemat energi ini justru membuat tubuh semakin lemah.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa pola pikir instan ini tercipta dari lingkungan yang serba cepat. Pekerjaan menuntut mobilitas tinggi, jam kerja panjang, dan kebiasaan multitasking yang membuat orang merasa tidak punya waktu untuk berjalan. Padahal, jika dihitung-hitung, sering kali perjalanan naik kendaraan justru tidak jauh lebih efisien, apalagi jika macet.
Ilusi hemat energi juga berhubungan dengan kenyamanan palsu. Orang merasa lebih nyaman duduk di kendaraan, padahal tubuh sebenarnya butuh bergerak. Jalan kaki bisa menjadi waktu bagi otak untuk beristirahat, melepaskan ketegangan, atau bahkan mendapatkan ide baru. Tetapi karena budaya instan menempatkan kenyamanan sesaat di atas manfaat jangka panjang, jalan kaki perlahan terpinggirkan.
Lingkungan Kota yang Mengusir Pejalan Kaki
Alasan lain yang membuat kita malas berjalan kaki adalah lingkungan yang tidak mendukung. Kota-kota besar di Indonesia masih minim fasilitas ramah pejalan kaki. Trotoar sempit, berlubang, terhalang tiang listrik, atau bahkan dipakai berjualan. Tidak jarang pejalan kaki harus turun ke jalan dan berebut ruang dengan kendaraan bermotor.
Selain masalah trotoar, ada faktor cuaca dan polusi. Berjalan di bawah terik matahari dengan udara panas dan debu membuat pengalaman berjalan kaki terasa tidak manusiawi. Di banyak negara, kota didesain agar berjalan kaki terasa menyenangkan. Ada pohon rindang, jalur aman, dan fasilitas yang membuat orang merasa nyaman. Di sini, berjalan kaki seolah menjadi perjuangan.
Lingkungan yang tidak ramah membuat orang akhirnya lebih memilih kendaraan pribadi meski jarak dekat sekalipun. Fenomena ini menciptakan lingkaran setan yaitu semakin sedikit orang berjalan kaki, semakin sedikit pula tekanan bagi pemerintah untuk membangun fasilitas pejalan kaki. Lingkungan yang buruk memperkuat rasa malas, dan rasa malas memperburuk kualitas lingkungan.
Rasa Malas yang Sesungguhnya Berakar di Pikiran
Kalau dipikir lebih dalam, malas berjalan kaki sebenarnya bukan hanya soal tubuh yang enggan bergerak, tetapi soal cara kita memandang aktivitas itu. Jalan kaki dianggap tidak produktif, tidak keren, bahkan tidak penting. Berbeda dengan olahraga di gym yang terasa bergengsi atau bersepeda yang tampak keren di media sosial, berjalan kaki seolah tidak punya nilai prestise.
Di era digital, citra dan simbol sosial berperan besar dalam menentukan kebiasaan. Aktivitas yang terlihat menarik diunggah ke media sosial dan dianggap bernilai. Sayangnya, berjalan kaki jarang masuk kategori ini. Akibatnya, motivasi orang untuk berjalan kaki semakin lemah.
Selain itu, cara kita mendidik diri sendiri tentang kesehatan sering kali tidak seimbang. Kita bisa rela mengeluarkan biaya besar untuk obat, suplemen, atau alat kebugaran, tetapi melupakan hal sederhana seperti berjalan kaki. Pikiran kita sudah terlanjur menyepelekan aktivitas kecil yang sebenarnya fundamental. Rasa malas itu akhirnya bukan lagi sekadar kebiasaan, melainkan mindset yang terbentuk dari cara pandang keliru terhadap apa yang benar-benar penting bagi tubuh dan pikiran.
Menghidupkan Kembali Langkah Kecil
Meski banyak faktor yang membuat kita malas berjalan kaki, bukan berarti hal ini tidak bisa diubah. Kuncinya ada pada cara kita memberi makna baru pada aktivitas ini. Jalan kaki tidak perlu dilihat sebagai pengorbanan waktu, melainkan kesempatan untuk menghirup udara segar, menenangkan pikiran, atau sekadar menikmati detail kecil di sekitar yang sering kita abaikan.
Kota-kota memang perlu berubah agar lebih ramah bagi pejalan kaki. Tetapi perubahan juga bisa dimulai dari diri sendiri. Kamu bisa mencoba hal sederhana seperti memarkir kendaraan sedikit lebih jauh dari tujuan, memilih jalur jalan kaki yang lebih tenang, atau menjadikan jalan sore sebagai waktu khusus untuk melepaskan penat.
Perubahan pola pikir juga penting. Jalan kaki tidak harus dianggap kalah keren dibanding olahraga lain. Justru di balik kesederhanaannya, ada kekuatan besar yang bisa menjaga kesehatan fisik dan mental. Dengan berjalan kaki, kamu bukan hanya bergerak, tetapi juga memberi ruang bagi diri untuk benar-benar hadir di momen sekarang.
Penutup
Malas berjalan kaki bukan sekadar soal tubuh yang enggan bergerak, tetapi soal budaya, lingkungan, dan cara kita memaknai aktivitas sederhana ini. Dari hilangnya nilai sosial, budaya instan, lingkungan kota yang tidak ramah, hingga pola pikir yang salah, semuanya berkontribusi membuat kita semakin jarang melangkah. Namun, jika kita mau memberi makna baru pada berjalan kaki, rasa malas itu bisa berubah menjadi kebiasaan yang menyehatkan.
Pada akhirnya, berjalan kaki adalah tentang kembali menghargai hal-hal kecil yang ternyata punya pengaruh besar bagi hidup. Setiap langkah yang kita ambil bukan hanya memindahkan tubuh, tapi juga bisa memindahkan cara kita memandang hidup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI