Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Media Sosial dan Paradigma Baru Kesuksesan

30 Juli 2025   15:50 Diperbarui: 29 Juli 2025   22:58 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia digital mengubah banyak hal, termasuk cara kita memandang sukses. Dulu, sukses lebih banyak diukur dari kerja keras, proses panjang, pencapaian yang bertahan lama, dan pengakuan dari orang-orang sekitar yang benar-benar mengenal kita. Kini, berkat kehadiran media sosial, definisi itu mengalami pergeseran besar. Sukses tidak lagi hanya tentang apa yang dicapai secara nyata, tapi lebih kepada bagaimana pencapaian itu dipresentasikan kepada publik luas.

Banyak orang kini berlomba menunjukkan pencapaiannya melalui unggahan yang dikurasi dengan cermat. Bahkan tak sedikit yang membentuk citra sukses semata demi mendapat validasi berupa like dan komentar positif. Ini bukan lagi soal merayakan keberhasilan, tetapi tentang menciptakan kesan berhasil. Proses pun kerap diabaikan karena yang dilihat hanya hasil akhirnya. Ketika seseorang membeli rumah, memulai bisnis, atau liburan ke luar negeri, semua itu tampak sebagai pencapaian instan karena kita tidak melihat kerja keras di balik layar.

Kita Tidak Lagi Mengejar Sukses, Tapi Mengejar Validasi

Salah satu dampak paling nyata dari tren ini adalah berubahnya motivasi dalam mengejar kesuksesan. Banyak orang kini bukan lagi ingin sukses karena ingin hidup lebih baik, mandiri, atau bermanfaat bagi sesama, tetpi karena ingin terlihat berhasil di mata orang lain. Sukses menjadi alat untuk mendapatkan pengakuan sosial, bukan lagi tujuan hidup yang bersifat personal.

Ini menciptakan tekanan sosial yang tak kasat mata. Ketika media sosial dijejali oleh kisah sukses, kemewahan, dan gaya hidup kelas atas, tanpa sadar kita merasa tertinggal. Kita mulai merasa tidak cukup hanya karena tidak bisa memamerkan hal yang sama. Padahal, bisa jadi apa yang kita lihat hanyalah sebagian kecil dari kenyataan dan bukan bagian yang utuh.

Yang menyedihkan, banyak orang bahkan mulai merasa tidak bernilai hanya karena tidak bisa tampil seperti figur-figur populer di media sosial. Ini berbahaya. Ketika nilai diri diukur dari jumlah pengikut, likes, atau views, kita perlahan kehilangan jati diri. Kita mulai mendefinisikan diri berdasarkan penilaian orang lain, bukan berdasarkan tujuan dan makna hidup kita sendiri.

Budaya Pencitraan dan Ilusi Kesuksesan

Citra sukses yang dibentuk di media sosial sangat jarang merepresentasikan realitas sepenuhnya. Banyak selebgram, influencer, bahkan publik figur yang menampilkan gaya hidup mewah, padahal di balik layar mereka tengah berjuang secara finansial atau emosional. Namun, algoritma media sosial lebih menyukai tampilan indah daripada kenyataan pahit. Karena itu, banyak orang terpancing untuk membuat konten yang memanipulasi realitas agar tampak "sukses".

Kondisi ini membuat batas antara pencapaian nyata dan pencitraan menjadi kabur. Media sosial menjadi tempat di mana hal yang palsu bisa tampil lebih meyakinkan daripada kenyataan. Ini bukan hanya soal etika, tapi juga soal dampak psikologis. Semakin banyak orang yang terjebak dalam tekanan sosial, merasa minder, dan mulai meragukan jalan hidupnya sendiri hanya karena melihat unggahan orang lain yang tampaknya lebih bahagia dan sukses.

Ini tentu menimbulkan pertanyaan besar apakah kita masih menghargai kerja keras dan keahlian, atau kita sudah sepenuhnya terjebak dalam dunia pencitraan? Apakah generasi mendatang akan tumbuh dengan pemahaman bahwa kesuksesan sejati adalah soal penampilan, bukan pencapaian?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun