Ada satu narasi besar yang terus diulang: bahwa ekonomi Indonesia akan meroket berkat UU Cipta Kerja. Pertumbuhan PDB, investasi asing masuk, lapangan kerja bertambah  semua diklaim sebagai bukti keberhasilan.
Tapi di balik semua angka itu, ada fakta lain yang sengaja disamarkan: produktivitas pekerja Indonesia naik pesat, tapi upah dan kesejahteraan mereka nyaris stagnan.
Laporan ILO 2023 memperlihatkan bahwa Indonesia termasuk negara dengan gap terbesar antara pertumbuhan produktivitas dan pertumbuhan upah. Artinya, kamu dan jutaan pekerja lain bekerja lebih keras, menghasilkan lebih banyak untuk perusahaan, tapi tidak ikut menikmati hasilnya.
Siapa yang menikmati surplus itu? Tentu saja, para pemilik modal dan segelintir elite ekonomi.
Ironisnya, kita hidup di negara yang katanya berdasarkan Pancasila  di mana keadilan sosial bagi seluruh rakyat seharusnya menjadi cita-cita utama. Tapi lewat UU Cipta Kerja, keadilan itu seperti dikorbankan di altar pertumbuhan ekonomi yang hanya dinikmati sebagian kecil orang.
Kalau ini terus dibiarkan, bukan hanya hak pekerja yang hancur, tapi fondasi moral bangsa kita juga perlahan-lahan terkikis.
Membangun Alternatif Visi Baru untuk Masa Depan Kerja di Indonesia
Lalu, apa solusinya? Apakah kita hanya bisa pasrah?
Tentu tidak. Tapi solusi ini harus lebih dari sekadar revisi teknis undang-undang. Kita butuh membangun visi baru tentang dunia kerja di Indonesia.
Pertama, sudah saatnya mengakui bahwa pekerjaan bukan hanya soal menciptakan pendapatan, tapi juga tentang martabat manusia. Artinya, segala kebijakan ketenagakerjaan harus menempatkan pekerja sebagai subjek, bukan objek pasar semata.
Kedua, kita perlu sistem perlindungan sosial universal, yang mencakup semua pekerja, apapun status kerjanya. Dunia kerja modern menuntut fleksibilitas, tapi negara juga harus menjamin keamanan dasar bagi semua orang.