Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

UU Cipta Kerja Nyatanya Belum Melindungi Hak Pekerja!

28 April 2025   08:32 Diperbarui: 28 April 2025   08:32 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buruh Sritex membentangkan spanduk Selamatkan Kami Pak Prabowo (KOMPAS.com/Labib Zamani)

Dulu, kenaikan upah minimum setidaknya mempertimbangkan kebutuhan hidup layak (KHL). Sekarang, kenaikan upah dikunci lewat formula pertumbuhan ekonomi dan inflasi, tanpa harus melihat kebutuhan riil pekerja di lapangan. Bayangkan, di kota besar dengan harga sewa, makan, transportasi yang gila-gilaan, upah kamu malah ditentukan dari rumus kering di atas kertas.

Data BPS tahun 2024 menunjukkan bahwa upah minimum nasional rata-rata hanya naik 1,5%  jauh di bawah laju inflasi harga pangan dan perumahan. Artinya, secara riil, upah pekerja malah turun.

Kondisi ini makin parah buat pekerja sektor informal dan kontrak, yang bahkan tidak dijamin menerima upah minimum. Mereka bisa digaji semurah mungkin atas nama efisiensi biaya.

Apa artinya semua ini? Pemerintah sebenarnya secara sadar mengorbankan kesejahteraan jangka panjang pekerja demi pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Mereka menjual "kemudahan berusaha" kepada investor, tapi membungkam realita bahwa pekerja semakin miskin, semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan yang diidamkan.

Perlindungan Sosial yang Retak

Kamu mungkin berpikir, "Setidaknya ada BPJS, kan?" Ya, di atas kertas. Tapi implementasi perlindungan sosial di era UU Cipta Kerja lebih mirip formalitas daripada jaminan nyata.

Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang digadang-gadang jadi solusi buat pekerja PHK, nyatanya cuma bisa diakses oleh pekerja formal yang terdaftar penuh di BPJS. Padahal, data menunjukkan lebih dari 60% pekerja di Indonesia ada di sektor informal  artinya, mereka praktis tidak tersentuh program ini.

Lebih parah lagi, perusahaan outsourcing dan kontrak kadang juga mengakali pendaftaran BPJS supaya mengurangi beban biaya. Banyak pekerja baru sadar mereka tidak terdaftar setelah sakit atau mengalami kecelakaan kerja.

Secara struktural, ini menciptakan ilusi perlindungan sosial. Seakan-akan negara sudah hadir, padahal kenyataannya, jutaan pekerja tetap dibiarkan sendirian menghadapi risiko kehidupan modern  tanpa jaring pengaman yang nyata.

Di negara-negara maju, perlindungan sosial justru diperluas saat fleksibilitas kerja meningkat. Tapi di Indonesia, lewat UU Cipta Kerja, fleksibilitas malah digunakan sebagai dalih untuk mencabut hak-hak dasar.

Ekonomi Meroket di Atas Bahu Pekerja yang Remuk

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun