Dulu, kenaikan upah minimum setidaknya mempertimbangkan kebutuhan hidup layak (KHL). Sekarang, kenaikan upah dikunci lewat formula pertumbuhan ekonomi dan inflasi, tanpa harus melihat kebutuhan riil pekerja di lapangan. Bayangkan, di kota besar dengan harga sewa, makan, transportasi yang gila-gilaan, upah kamu malah ditentukan dari rumus kering di atas kertas.
Data BPS tahun 2024 menunjukkan bahwa upah minimum nasional rata-rata hanya naik 1,5% Â jauh di bawah laju inflasi harga pangan dan perumahan. Artinya, secara riil, upah pekerja malah turun.
Kondisi ini makin parah buat pekerja sektor informal dan kontrak, yang bahkan tidak dijamin menerima upah minimum. Mereka bisa digaji semurah mungkin atas nama efisiensi biaya.
Apa artinya semua ini? Pemerintah sebenarnya secara sadar mengorbankan kesejahteraan jangka panjang pekerja demi pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Mereka menjual "kemudahan berusaha" kepada investor, tapi membungkam realita bahwa pekerja semakin miskin, semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan yang diidamkan.
Perlindungan Sosial yang Retak
Kamu mungkin berpikir, "Setidaknya ada BPJS, kan?" Ya, di atas kertas. Tapi implementasi perlindungan sosial di era UU Cipta Kerja lebih mirip formalitas daripada jaminan nyata.
Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang digadang-gadang jadi solusi buat pekerja PHK, nyatanya cuma bisa diakses oleh pekerja formal yang terdaftar penuh di BPJS. Padahal, data menunjukkan lebih dari 60% pekerja di Indonesia ada di sektor informal  artinya, mereka praktis tidak tersentuh program ini.
Lebih parah lagi, perusahaan outsourcing dan kontrak kadang juga mengakali pendaftaran BPJS supaya mengurangi beban biaya. Banyak pekerja baru sadar mereka tidak terdaftar setelah sakit atau mengalami kecelakaan kerja.
Secara struktural, ini menciptakan ilusi perlindungan sosial. Seakan-akan negara sudah hadir, padahal kenyataannya, jutaan pekerja tetap dibiarkan sendirian menghadapi risiko kehidupan modern  tanpa jaring pengaman yang nyata.
Di negara-negara maju, perlindungan sosial justru diperluas saat fleksibilitas kerja meningkat. Tapi di Indonesia, lewat UU Cipta Kerja, fleksibilitas malah digunakan sebagai dalih untuk mencabut hak-hak dasar.
Ekonomi Meroket di Atas Bahu Pekerja yang Remuk