Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ketika Diet Bukan Lagi Tentang Kesehatan

26 April 2025   14:37 Diperbarui: 26 April 2025   14:37 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi wanita diet.(canva.com)

Pernahkah kamu merasa cemas setelah melihat diri sendiri di kamera depan ponsel? Tidak sedikit orang hari ini yang memulai diet bukan karena anjuran dokter, tapi karena pencitraan. Tubuh kita, entah sejak kapan, jadi komoditas visual harus estetik, tirus, tanpa cela, dan tentu saja harus "layak tayang". Masalahnya, ketika motivasi utama adalah tampilan, bukan kesehatan, maka apa pun bisa dikorbankan: mulai dari rasa lapar yang diabaikan, sampai akal sehat yang ditinggalkan.

Inilah konteks baru diet di era digital. Bukan lagi tentang makan secukupnya atau hidup lebih sehat, tapi soal bagaimana agar tubuh bisa masuk ke standar visual yang ditentukan algoritma. Di sinilah diet bisa berubah jadi malapetaka.

Ketika Algoritma Menentukan Menu Harianmu

Coba pikirkan sejenak: berapa banyak dari keputusan makanmu hari ini yang benar-benar berasal dari kebutuhan tubuhmu? Berapa banyak yang kamu pilih karena pernah kamu lihat di TikTok atau Instagram? Di balik kebangkitan tren makanan sehat, ada kekuatan yang diam-diam membentuk selera makan: algoritma.

Makanan kini bukan hanya sumber energi, tapi juga alat performa digital. Smoothie ungu dengan topping granola tak hanya harus lezat, tapi juga "instagrammable". Salad dalam mangkuk kaca tak sekadar menyehatkan, tapi juga memantik validasi sosial dalam bentuk likes dan shares. Algoritma belajar dari apa yang kamu klik, lalu menyajikan lebih banyak tren yang sama. Lambat laun, kamu terseret ke arus yang lebih fokus pada tampilan makanan ketimbang fungsi gizinya.

Inilah paradoks gizi di kota besar. Orang mulai makan demi estetika, bukan karena lapar atau kebutuhan fisiologis. Kamu bisa makan chia seed setiap pagi dan tetap mengalami kekurangan zat besi. Gaya hidup sehat ala media sosial ternyata bisa mengantar seseorang pada bentuk gizi buruk urban sebuah fenomena kekurangan nutrisi yang tersembunyi di balik tubuh yang terlihat bugar.

Keto dan Romantisasi Tubuh Kurus

Salah satu contoh paling nyata bagaimana diet bisa menjebak adalah popularitas diet keto. Di permukaan, semuanya tampak logis: kurangi karbohidrat, tingkatkan lemak, tubuh akan masuk ke fase ketosis dan mulai membakar lemak sebagai energi. Tapi di balik narasi simplistik itu, ada kompleksitas biologis yang sering dilupakan.

Tubuh tidak bisa terus-menerus berada dalam mode darurat. Ketosis itu seperti survival mode bukan kondisi ideal untuk jangka panjang. Yang terjadi adalah, metabolisme kamu dipaksa beradaptasi dalam keadaan tak stabil. Inilah mengapa bahaya keto bukan mitos. Studi dari American Journal of Clinical Nutrition (2022) mencatat bahwa efek jangka panjang diet ini mencakup peningkatan risiko batu ginjal, kehilangan massa otot, hingga potensi masalah kardiovaskular.

Namun, informasi seperti itu kalah populer dengan testimoni "turun 10 kg dalam 3 minggu". Orang-orang lebih mudah percaya pada hasil visual cepat ketimbang penjelasan medis kompleks. Ini bagian dari romantisasi tubuh kurus sebuah ilusi bahwa menjadi ramping otomatis berarti sehat. Padahal, kehilangan berat badan secara drastis dan berulang justru meningkatkan risiko resistensi insulin dan gangguan metabolik kronis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun