Bayangkan seorang anak yang penuh semangat untuk belajar, berjalan kaki sejauh lima kilometer setiap hari, melewati jalanan berbatu, menyeberangi sungai tanpa jembatan, hanya untuk sampai ke sekolah. Namun, saat tiba di sana, yang ia temukan bukanlah gedung megah dengan fasilitas lengkap, melainkan bangunan tua yang nyaris roboh, ruang kelas berdebu dengan meja dan kursi reyot, serta papan tulis yang hampir tak terbaca karena catnya mengelupas. Di musim hujan, atap bocor membuat air menggenangi lantai, sementara saat musim panas, panas terik menyengat karena tak ada ventilasi yang memadai.
Inilah kenyataan yang dihadapi ribuan, bahkan jutaan anak di Indonesia. Di tengah kemajuan zaman dan janji-janji pembangunan, masih banyak sekolah yang lebih layak disebut sebagai bangunan terbengkalai ketimbang tempat menimba ilmu. Fenomena ini bukan hanya soal gedung sekolah yang tak layak, tetapi juga mencerminkan wajah buram pendidikan nasional yang belum sepenuhnya merata.
Ketimpangan Pendidikan di Indonesia
Pendidikan seharusnya menjadi sarana utama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Namun, bagaimana mungkin hal itu tercapai jika sekolah sebagai fondasi utama pendidikan justru berada dalam kondisi yang menyedihkan? Di berbagai daerah, terutama di pelosok dan kawasan terpencil, sekolah masih berdiri dalam kondisi memprihatinkan.
Sebuah laporan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada 2023 mencatat bahwa lebih dari 30% sekolah di Indonesia masih dalam kondisi rusak, dengan tingkat kerusakan bervariasi dari ringan hingga berat. Masalah ini bukan hanya terjadi di daerah tertinggal, melainkan juga di beberapa wilayah perkotaan dengan kepadatan penduduk tinggi.
Tak sedikit sekolah yang masih memiliki lantai tanah, bangunan reyot, dan dinding yang rapuh. Ada pula sekolah yang hanya memiliki satu atau dua ruang kelas untuk menampung ratusan siswa. Beberapa sekolah bahkan masih beroperasi tanpa akses listrik dan air bersih, sehingga siswa harus menempuh perjalanan jauh hanya untuk sekadar mendapatkan air minum atau menggunakan toilet yang layak.
Ketimpangan ini semakin nyata ketika dibandingkan dengan sekolah-sekolah di kota besar yang memiliki fasilitas lengkap, mulai dari laboratorium sains, perpustakaan digital, hingga akses internet cepat. Perbedaan ini menciptakan kesenjangan pendidikan yang semakin melebar, di mana anak-anak di daerah tertinggal harus berjuang lebih keras hanya untuk mendapatkan pendidikan dasar yang layak.
Sekolah yang Rapuh, Masa Depan yang Terancam
Ketika sekolah tidak layak, yang menjadi korban utama adalah anak-anak. Mereka yang seharusnya belajar dengan nyaman justru harus menghadapi berbagai risiko, mulai dari ketidakamanan bangunan hingga keterbatasan sarana belajar.
Dalam banyak kasus, siswa harus belajar di ruang kelas yang sesak karena jumlah ruang tidak mencukupi. Sering kali, satu kelas diisi oleh lebih dari 40 hingga 50 siswa, jauh dari standar ideal yang direkomendasikan oleh UNESCO, yaitu 20--25 siswa per kelas agar proses belajar-mengajar lebih efektif. Kondisi ini membuat suasana belajar menjadi tidak kondusif, apalagi ketika sarana pendukung seperti buku, komputer, dan alat peraga nyaris tidak tersedia.