Salah satu alasan utama mengapa kita selalu khawatir adalah karena manusia tidak menyukai ketidakpastian. Otak manusia dirancang untuk mencari pola dan prediksi agar dapat mengontrol situasi dengan lebih baik. Namun, dalam kehidupan nyata, tidak semua hal dapat kita kendalikan.
Misalnya, seseorang yang sedang menunggu hasil wawancara kerja mungkin merasa cemas karena ia tidak tahu apa yang akan terjadi. Begitu pula dengan seorang mahasiswa yang menantikan hasil ujian, atau seorang pebisnis yang menghadapi perubahan pasar yang tidak menentu. Ketidakpastian membuat kita merasa kehilangan kendali, dan perasaan ini dapat memicu kekhawatiran yang berlebihan.
Dalam psikologi, ini dikenal sebagai intolerance of uncertainty atau intoleransi terhadap ketidakpastian. Penelitian yang dilakukan oleh Michel Dugas, seorang psikolog dari Université du Québec, menunjukkan bahwa orang dengan tingkat intoleransi terhadap ketidakpastian yang tinggi cenderung lebih mudah mengalami gangguan kecemasan. Mereka terus-menerus berusaha mencari kepastian, meskipun dalam situasi yang tidak memungkinkan untuk diprediksi.
Namun, hidup adalah rangkaian ketidakpastian. Tidak ada yang bisa memprediksi masa depan dengan akurat, dan sering kali, kekhawatiran kita hanya memperburuk keadaan tanpa memberikan solusi yang nyata.
Peran Media Sosial dalam Memperburuk Kekhawatiran
Di era digital saat ini, media sosial memiliki dampak besar terhadap cara kita berpikir dan merasakan kecemasan. Setiap hari, kita disuguhi berbagai informasi, baik yang positif maupun negatif. Sayangnya, manusia cenderung lebih mudah terpengaruh oleh informasi negatif.
Fenomena ini disebut negativity bias, di mana otak lebih cepat menangkap dan mengingat hal-hal buruk daripada hal-hal baik. Inilah alasan mengapa berita buruk lebih menarik perhatian dibandingkan berita baik. Ketika kita terus-menerus melihat berita tentang krisis ekonomi, kejahatan, atau bencana, otak kita mulai meyakini bahwa dunia adalah tempat yang berbahaya, meskipun kenyataannya tidak selalu demikian.
Selain itu, media sosial juga menciptakan tekanan sosial yang tinggi. Kita melihat kehidupan orang lain yang tampak sempurna, dan tanpa sadar mulai membandingkan diri sendiri. Seseorang yang melihat temannya sukses dalam karier mungkin mulai merasa khawatir tentang masa depannya sendiri. Seorang wanita yang melihat foto-foto influencer dengan tubuh ideal mungkin mulai merasa cemas tentang penampilannya sendiri.
Penelitian yang dilakukan oleh Jean Twenge, seorang psikolog dari San Diego State University, menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan berkorelasi dengan peningkatan tingkat kecemasan dan depresi, terutama di kalangan anak muda. Ini menunjukkan bahwa semakin banyak kita terpapar kehidupan orang lain di media sosial, semakin besar kemungkinan kita merasa cemas dan tidak puas dengan kehidupan sendiri.
Dampak Jangka Panjang dari Kekhawatiran Berlebihan
Meskipun kekhawatiran dalam kadar tertentu bisa bermanfaat misalnya membantu kita untuk lebih berhati-hati atau mempersiapkan diri dengan lebih baik kekhawatiran yang berlebihan dapat membawa dampak negatif bagi kesehatan mental dan fisik.