Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gen Z dan Mentalitasnya yang Mudah Menyerah

6 Februari 2025   14:21 Diperbarui: 6 Februari 2025   14:21 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gen Z mudah Menyerah. Pixabay.com/makabera 

Tidak bisa dimungkiri bahwa media sosial telah menjadi bagian besar dari kehidupan Gen Z. Hampir semua aspek kehidupan mereka terdokumentasi dan dibandingkan secara publik. Ini menciptakan standar yang sering kali tidak masuk akal, di mana kesuksesan diukur dari jumlah "like", "view", atau "follower".

Masalahnya, media sosial hanya menampilkan sisi terbaik dari kehidupan seseorang. Ketika seorang anak muda melihat teman sebayanya sukses lebih dulu, memiliki gaya hidup yang tampak lebih glamor, atau mencapai sesuatu yang besar, mereka mulai merasa tertinggal.

Fenomena ini dikenal sebagai imposter syndrome, di mana seseorang merasa dirinya tidak cukup baik atau tidak layak berada di posisi tertentu. Rasa tidak percaya diri ini bisa sangat merusak mentalitas mereka, membuat mereka lebih mudah menyerah sebelum benar-benar mencoba.

Ketidakpastian Masa Depan dan Beban yang Lebih Berat

Jika generasi sebelumnya hidup di era yang relatif lebih stabil dalam hal ekonomi dan pekerjaan, Gen Z menghadapi dunia yang jauh lebih kompetitif dan tidak pasti. Kenaikan biaya pendidikan, tingginya persaingan kerja, dan perubahan besar akibat teknologi dan pandemi membuat mereka lebih cemas tentang masa depan.

Data dari World Economic Forum menunjukkan bahwa tingkat kecemasan dan depresi di kalangan Gen Z lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Salah satu penyebabnya adalah ketidakpastian ekonomi yang membuat mereka merasa tidak memiliki kendali atas masa depan mereka sendiri.

Ketika seseorang hidup dalam ketidakpastian yang konstan, wajar jika mereka merasa lebih mudah menyerah. Bukan karena mereka tidak ingin berusaha, tetapi karena mereka merasa perjuangan mereka tidak akan memberikan hasil yang sepadan.

Budaya Kerja yang Berbeda

Gen Z juga memiliki pandangan yang berbeda terhadap dunia kerja. Jika generasi sebelumnya lebih cenderung bekerja keras tanpa banyak mempertanyakan sistem, Gen Z lebih sadar akan kesejahteraan mental mereka.

Mereka tidak segan untuk keluar dari pekerjaan yang dianggap merugikan kesehatan mental mereka. Mereka lebih mementingkan keseimbangan hidup dibandingkan sekadar gaji tinggi. Bagi sebagian orang, ini dianggap sebagai tanda kurangnya ketahanan mental. Namun, jika dilihat dari perspektif lain, ini bisa jadi tanda bahwa mereka lebih sadar akan hak dan batasan mereka.

Gen Z lebih vokal dalam menolak budaya kerja yang toxic. Mereka tidak segan menentang atasan yang tidak adil dan menolak bekerja lembur tanpa kompensasi. Jika lingkungan kerja tidak memberikan mereka ruang untuk berkembang, mereka tidak ragu untuk pergi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun