Tidak bisa dimungkiri bahwa media sosial telah menjadi bagian besar dari kehidupan Gen Z. Hampir semua aspek kehidupan mereka terdokumentasi dan dibandingkan secara publik. Ini menciptakan standar yang sering kali tidak masuk akal, di mana kesuksesan diukur dari jumlah "like", "view", atau "follower".
Masalahnya, media sosial hanya menampilkan sisi terbaik dari kehidupan seseorang. Ketika seorang anak muda melihat teman sebayanya sukses lebih dulu, memiliki gaya hidup yang tampak lebih glamor, atau mencapai sesuatu yang besar, mereka mulai merasa tertinggal.
Fenomena ini dikenal sebagai imposter syndrome, di mana seseorang merasa dirinya tidak cukup baik atau tidak layak berada di posisi tertentu. Rasa tidak percaya diri ini bisa sangat merusak mentalitas mereka, membuat mereka lebih mudah menyerah sebelum benar-benar mencoba.
Ketidakpastian Masa Depan dan Beban yang Lebih Berat
Jika generasi sebelumnya hidup di era yang relatif lebih stabil dalam hal ekonomi dan pekerjaan, Gen Z menghadapi dunia yang jauh lebih kompetitif dan tidak pasti. Kenaikan biaya pendidikan, tingginya persaingan kerja, dan perubahan besar akibat teknologi dan pandemi membuat mereka lebih cemas tentang masa depan.
Data dari World Economic Forum menunjukkan bahwa tingkat kecemasan dan depresi di kalangan Gen Z lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Salah satu penyebabnya adalah ketidakpastian ekonomi yang membuat mereka merasa tidak memiliki kendali atas masa depan mereka sendiri.
Ketika seseorang hidup dalam ketidakpastian yang konstan, wajar jika mereka merasa lebih mudah menyerah. Bukan karena mereka tidak ingin berusaha, tetapi karena mereka merasa perjuangan mereka tidak akan memberikan hasil yang sepadan.
Budaya Kerja yang Berbeda
Gen Z juga memiliki pandangan yang berbeda terhadap dunia kerja. Jika generasi sebelumnya lebih cenderung bekerja keras tanpa banyak mempertanyakan sistem, Gen Z lebih sadar akan kesejahteraan mental mereka.
Mereka tidak segan untuk keluar dari pekerjaan yang dianggap merugikan kesehatan mental mereka. Mereka lebih mementingkan keseimbangan hidup dibandingkan sekadar gaji tinggi. Bagi sebagian orang, ini dianggap sebagai tanda kurangnya ketahanan mental. Namun, jika dilihat dari perspektif lain, ini bisa jadi tanda bahwa mereka lebih sadar akan hak dan batasan mereka.
Gen Z lebih vokal dalam menolak budaya kerja yang toxic. Mereka tidak segan menentang atasan yang tidak adil dan menolak bekerja lembur tanpa kompensasi. Jika lingkungan kerja tidak memberikan mereka ruang untuk berkembang, mereka tidak ragu untuk pergi.