Jika kita perhatikan, ada satu pola yang sering muncul dalam berbagai diskusi tentang generasi muda saat ini. Generasi Z, yang lahir di antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, sering kali dikaitkan dengan sifat mudah menyerah ketika menghadapi tantangan. Tidak sedikit yang menganggap mereka rapuh, kurang gigih, dan tidak memiliki daya juang seperti generasi sebelumnya.
Namun, apakah anggapan ini sepenuhnya benar? Apakah Gen Z memang lebih mudah menyerah, atau ada faktor yang membuat mereka terkesan demikian?
Mitos atau Fakta?
Stigma tentang Gen Z yang cepat menyerah sebenarnya bukan sesuatu yang muncul begitu saja. Banyaknya kasus di mana anak muda mengalami burnout di usia dini, meningkatnya angka gangguan kesehatan mental, serta tren "quiet quitting" atau meninggalkan pekerjaan secara diam-diam menunjukkan ada sesuatu yang perlu dicermati lebih dalam.
Tetapi, sebelum kita buru-buru menyimpulkan bahwa mereka sekadar "manja" atau "kurang tangguh", ada baiknya melihat faktor-faktor yang membentuk mentalitas mereka. Setiap generasi memiliki tantangan dan realitas yang berbeda. Apa yang dihadapi Gen Z sangat berbeda dari generasi sebelumnya, dan inilah yang perlu dipahami sebelum memberikan label negatif kepada mereka.
Tekanan dari Dunia Digital
Salah satu faktor terbesar yang membedakan Gen Z dari generasi sebelumnya adalah pertumbuhan mereka yang beriringan dengan perkembangan teknologi digital. Tidak seperti generasi sebelumnya yang harus mencari informasi melalui buku atau media cetak, Gen Z lahir di era internet, di mana informasi dapat diakses dalam hitungan detik.
Keuntungan ini memang membawa banyak manfaat, tetapi di sisi lain, juga menciptakan ekspektasi yang tidak realistis terhadap kehidupan. Generasi ini terbiasa dengan kepuasan instan pesan makanan dalam beberapa ketukan, belajar dari video singkat, hingga melihat kesuksesan instan dari para influencer yang mereka ikuti di media sosial.
Ketika realitas hidup tidak secepat atau semudah yang mereka lihat di internet, muncullah perasaan frustrasi dan kegagalan yang berlebihan. Mereka terbiasa dengan segala sesuatu yang cepat, tetapi tidak dipersiapkan untuk menghadapi perjalanan panjang yang penuh tantangan.
Dampak Media Sosial terhadap Kepercayaan Diri
Tidak bisa dimungkiri bahwa media sosial telah menjadi bagian besar dari kehidupan Gen Z. Hampir semua aspek kehidupan mereka terdokumentasi dan dibandingkan secara publik. Ini menciptakan standar yang sering kali tidak masuk akal, di mana kesuksesan diukur dari jumlah "like", "view", atau "follower".
Masalahnya, media sosial hanya menampilkan sisi terbaik dari kehidupan seseorang. Ketika seorang anak muda melihat teman sebayanya sukses lebih dulu, memiliki gaya hidup yang tampak lebih glamor, atau mencapai sesuatu yang besar, mereka mulai merasa tertinggal.
Fenomena ini dikenal sebagai imposter syndrome, di mana seseorang merasa dirinya tidak cukup baik atau tidak layak berada di posisi tertentu. Rasa tidak percaya diri ini bisa sangat merusak mentalitas mereka, membuat mereka lebih mudah menyerah sebelum benar-benar mencoba.
Ketidakpastian Masa Depan dan Beban yang Lebih Berat
Jika generasi sebelumnya hidup di era yang relatif lebih stabil dalam hal ekonomi dan pekerjaan, Gen Z menghadapi dunia yang jauh lebih kompetitif dan tidak pasti. Kenaikan biaya pendidikan, tingginya persaingan kerja, dan perubahan besar akibat teknologi dan pandemi membuat mereka lebih cemas tentang masa depan.
Data dari World Economic Forum menunjukkan bahwa tingkat kecemasan dan depresi di kalangan Gen Z lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Salah satu penyebabnya adalah ketidakpastian ekonomi yang membuat mereka merasa tidak memiliki kendali atas masa depan mereka sendiri.
Ketika seseorang hidup dalam ketidakpastian yang konstan, wajar jika mereka merasa lebih mudah menyerah. Bukan karena mereka tidak ingin berusaha, tetapi karena mereka merasa perjuangan mereka tidak akan memberikan hasil yang sepadan.
Budaya Kerja yang Berbeda
Gen Z juga memiliki pandangan yang berbeda terhadap dunia kerja. Jika generasi sebelumnya lebih cenderung bekerja keras tanpa banyak mempertanyakan sistem, Gen Z lebih sadar akan kesejahteraan mental mereka.
Mereka tidak segan untuk keluar dari pekerjaan yang dianggap merugikan kesehatan mental mereka. Mereka lebih mementingkan keseimbangan hidup dibandingkan sekadar gaji tinggi. Bagi sebagian orang, ini dianggap sebagai tanda kurangnya ketahanan mental. Namun, jika dilihat dari perspektif lain, ini bisa jadi tanda bahwa mereka lebih sadar akan hak dan batasan mereka.
Gen Z lebih vokal dalam menolak budaya kerja yang toxic. Mereka tidak segan menentang atasan yang tidak adil dan menolak bekerja lembur tanpa kompensasi. Jika lingkungan kerja tidak memberikan mereka ruang untuk berkembang, mereka tidak ragu untuk pergi.
Namun, dalam beberapa kasus, kebiasaan ini juga bisa menjadi pedang bermata dua. Tidak semua hal bisa berjalan sesuai keinginan, dan sering kali, keberhasilan membutuhkan perjuangan yang panjang. Jika terlalu sering menyerah di tengah jalan, mereka bisa kehilangan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang.
Kurangnya Ketahanan Mental dan Pendidikan Emosional
Dibandingkan generasi sebelumnya, Gen Z mungkin memiliki lebih banyak akses ke informasi, tetapi mereka kurang mendapatkan pendidikan tentang bagaimana menghadapi kegagalan.
Banyak dari mereka tumbuh dalam lingkungan yang terlalu protektif. Orang tua modern cenderung lebih melindungi anak-anak mereka dari kegagalan, sehingga mereka tidak terbiasa menghadapi kesulitan. Ini berbanding terbalik dengan generasi sebelumnya yang harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan sesuatu.
Ketika seseorang tidak terbiasa dengan kegagalan sejak kecil, mereka akan kesulitan menghadapinya di usia dewasa. Mereka tidak tahu bagaimana cara bangkit kembali setelah jatuh, sehingga lebih mudah memilih untuk menyerah.
Selain itu, sistem pendidikan juga kurang memberikan ruang bagi anak muda untuk belajar tentang ketahanan mental. Mereka lebih banyak diajarkan tentang akademik dan keterampilan teknis, tetapi tidak dibekali dengan kemampuan mengelola emosi dan tekanan hidup.
Solusi untuk Mengubah Mentalitas Gen Z
Jika masalah ini dibiarkan, bukan tidak mungkin generasi ini akan menghadapi krisis ketahanan mental yang lebih besar di masa depan. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk membantu mereka menjadi lebih tangguh:
Membiasakan Diri dengan Kegagalan
Kegagalan bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tetapi sesuatu yang harus dipelajari. Gen Z perlu memahami bahwa tidak semua hal bisa dicapai dengan instan. Perjalanan menuju kesuksesan penuh dengan rintangan, dan itu adalah bagian alami dari hidup.Mengurangi Ketergantungan pada Media Sosial
Menghabiskan terlalu banyak waktu di media sosial hanya akan memperburuk perasaan tidak percaya diri. Belajar untuk tidak membandingkan diri dengan orang lain dan fokus pada perkembangan pribadi adalah langkah penting untuk membangun ketahanan mental.Membangun Lingkungan yang Mendukung
Memiliki support system yang baik sangat penting untuk mengatasi tekanan hidup. Keluarga, teman, dan komunitas yang positif dapat membantu Gen Z merasa lebih dihargai dan termotivasi untuk terus berjuang.Mendapatkan Pendidikan tentang Kesehatan Mental
Kesehatan mental harus menjadi bagian dari pendidikan, baik di sekolah maupun di lingkungan kerja. Memahami cara mengelola stres, menghadapi kegagalan, dan mengembangkan pola pikir positif akan membantu mereka lebih siap menghadapi tantangan hidup.
Kesimpulan
Gen Z tidak serta-merta mudah menyerah tanpa alasan. Mereka tumbuh di era yang penuh tantangan unik, dari tekanan media sosial hingga ketidakpastian ekonomi. Jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, mereka memiliki perspektif yang berbeda dalam menghadapi kehidupan dan dunia kerja.
Namun, agar bisa bertahan dan berkembang, mereka perlu belajar bagaimana menghadapi kegagalan dan membangun ketahanan mental. Dunia memang semakin berubah, tetapi satu hal yang pasti: mereka yang tidak mudah menyerah akan selalu memiliki peluang lebih besar untuk sukses.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI