Pernahkah kamu melihat seorang anak laki-laki kecil jatuh dari sepedanya, lututnya berdarah, matanya mulai berair, tetapi tiba-tiba ia menghentikan tangisnya karena seseorang berkata, "Jangan menangis, kamu kan laki-laki!" Kalimat sederhana itu terdengar sepele, bahkan mungkin dianggap bentuk motivasi. Namun, siapa sangka kalimat tersebut adalah benih dari sebuah stigma yang menancap dalam: bahwa laki-laki tidak boleh menangis.
Di banyak budaya, termasuk di Indonesia, air mata pria sering kali dianggap sebagai tanda kelemahan. Pria diharapkan menjadi sosok tangguh, kuat, dan tidak mudah goyah. Menangis? Itu seolah hanya diperbolehkan untuk perempuan atau anak-anak. Tapi, benarkah menangis adalah cerminan kelemahan? Atau justru, menahan air mata dan memendam emosi adalah beban yang perlahan merusak kesehatan mental?
Tulisan ini bukan sekadar ajakan untuk membebaskan pria dari stigma lama, tetapi juga sebuah upaya untuk membuka mata kita tentang pentingnya ruang bagi pria mengekspresikan emosinya. Karena di balik ketegaran yang sering dipaksakan, ada hati yang juga bisa rapuh, ada luka yang tak terlihat, dan ada air mata yang tertahan begitu lama.
Bagaimana Stigma Ini Terbentuk?
Untuk memahami kenapa stigma ini begitu kuat, kita harus kembali melihat bagaimana konstruksi sosial membentuk peran gender. Sejak kecil, laki-laki dibesarkan dengan narasi bahwa mereka adalah pelindung, pemimpin, dan pahlawan. Nilai-nilai patriarki menempatkan pria di posisi dominan, dengan ekspektasi bahwa mereka harus rasional, logis, dan tegar. Sementara emosi seperti sedih, takut, atau rapuh dianggap sebagai sifat feminin yang tidak sejalan dengan definisi tradisional tentang maskulinitas.
Di masa lalu, kemampuan bertahan hidup sangat bergantung pada kekuatan fisik dan mental. Para pria diharapkan kuat untuk berburu, melindungi keluarga, dan menghadapi bahaya. Emosi dianggap bisa mengganggu fokus dan ketangguhan itu. Namun, seiring berkembangnya peradaban, alasan-alasan ini menjadi tidak relevan. Sayangnya, pola pikir tersebut terlanjur diwariskan dari generasi ke generasi, menciptakan norma yang sulit digoyahkan.
Film, buku, dan media massa juga memainkan peran besar dalam memperkuat stigma ini. Karakter pria dalam film laga, misalnya, jarang digambarkan menangis. Mereka selalu tegar, bahkan saat kehilangan orang yang dicintai. Gambaran inilah yang tertanam di benak banyak pria sebagai standar ideal. Padahal, di balik layar, aktor-aktor tersebut adalah manusia biasa yang juga punya perasaan.
Dampak Psikologis
Stigma ini lebih dari sekadar larangan sosial; ini adalah bom waktu bagi kesehatan mental pria. Menekan emosi secara terus-menerus bukanlah tanda kekuatan, melainkan sebuah beban yang lambat laun bisa menghancurkan. Menurut penelitian dari American Psychological Association, pria memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengalami depresi yang tidak terdiagnosis karena mereka enggan mengakui perasaan sedih atau cemas.
Hal ini diperparah dengan fakta bahwa pria jarang mencari bantuan profesional saat menghadapi masalah emosional. Mereka lebih memilih untuk mengatasinya sendiri atau, lebih buruk lagi, mengalihkannya ke perilaku destruktif seperti kecanduan alkohol, agresivitas, atau bahkan bunuh diri. Data dari World Health Organization menunjukkan bahwa tingkat bunuh diri pada pria jauh lebih tinggi dibandingkan wanita di banyak negara, termasuk Indonesia. Bukan karena pria lebih lemah, melainkan karena mereka diajarkan untuk tidak meminta bantuan.