Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seni Mengelola Emosi dengan Baik

3 Februari 2025   18:29 Diperbarui: 3 Februari 2025   18:29 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cara mengelola emosi .(iStockphoto/fizkes)

Bayangkan suatu hari kamu terjebak dalam kemacetan panjang di tengah terik matahari. Klakson kendaraan bersahut-sahutan, udara panas membuatmu gerah, dan tiba-tiba seseorang dari mobil lain meneriaki kamu tanpa alasan yang jelas. Bagaimana reaksimu? Apakah kamu membalas dengan kemarahan yang sama? Atau justru menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri, dan melanjutkan perjalanan tanpa terbawa suasana?

Situasi sederhana seperti ini sering kali menjadi cermin bagaimana seseorang mengelola emosinya. Mengelola emosi dengan baik bukanlah sekadar kemampuan untuk tetap tenang di tengah badai, melainkan seni untuk memahami, menerima, dan merespons perasaan dengan cara yang sehat. Sayangnya, banyak orang menganggap mengelola emosi itu mudah, padahal sejatinya hal ini membutuhkan kesadaran diri yang tinggi dan latihan yang berkelanjutan.

Di tengah dunia yang serba cepat dan penuh tekanan, kemampuan ini menjadi lebih dari sekadar kebutuhan pribadi. Ia adalah fondasi untuk membangun hubungan yang harmonis, membuat keputusan yang bijak, dan menjaga kesejahteraan mental. Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang pentingnya mengelola emosi, mengapa hal ini sering kali menjadi tantangan, serta strategi efektif yang dapat membantu kamu menjalani kehidupan yang lebih seimbang.

Memahami Emosi 

Emosi sering kali disalahartikan sebagai sekadar reaksi spontan terhadap suatu peristiwa. Padahal, emosi adalah respons kompleks yang melibatkan interaksi antara pikiran, perasaan, dan perubahan fisiologis dalam tubuh. Misalnya, saat kamu merasa takut, jantung berdetak lebih cepat, napas menjadi pendek, dan otot-otot menegang. Ini adalah respons alami tubuh sebagai bentuk kesiapsiagaan menghadapi ancaman.

Secara psikologis, emosi membantu kita dalam dua hal penting: memberi makna pada pengalaman hidup dan mengarahkan perilaku. Emosi positif seperti kebahagiaan dan cinta memperkuat hubungan sosial dan meningkatkan kesejahteraan mental. Sebaliknya, emosi negatif seperti kemarahan atau kesedihan, meski sering dianggap buruk, sebenarnya memiliki fungsi adaptif. Rasa marah, misalnya, bisa menjadi sinyal bahwa ada batasan pribadi yang dilanggar, mendorong kita untuk bertindak dan melindungi diri.

Namun, masalah muncul ketika emosi tersebut tidak dikelola dengan baik. Alih-alih menjadi alat bantu, emosi yang tidak terkendali dapat merusak hubungan, mengaburkan penilaian, bahkan berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental. Inilah mengapa penting untuk memahami bahwa mengelola emosi bukan berarti menekan atau menghindari perasaan negatif, melainkan mengatur bagaimana kita meresponsnya.

Mengapa Mengelola Emosi Itu Sulit?

Mengelola emosi bukanlah tugas yang mudah, bahkan bagi mereka yang terlihat tenang di luar. Salah satu alasan utamanya adalah karena emosi bekerja secara otomatis dan sering kali di luar kendali kesadaran kita. Reaksi emosional yang kuat, seperti kemarahan atau ketakutan, diproses di bagian otak yang disebut amigdala. Bagian ini bertanggung jawab atas respons "lawan atau lari" yang membantu manusia bertahan hidup sejak zaman purba.

Namun, tantangan terbesar terletak pada bagaimana otak kita menafsirkan dan merespons stres modern. Tidak seperti ancaman fisik di masa lalu, stres saat ini lebih bersifat psikologis  deadline kerja, konflik interpersonal, atau tekanan sosial. Meskipun ancamannya berbeda, otak kita masih bereaksi dengan cara yang sama: meningkatkan detak jantung, mempercepat napas, dan melepaskan hormon stres seperti kortisol.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun