Mohon tunggu...
Jane Frances
Jane Frances Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pelajar SMA Santa Ursula

Saya adalah seorang pelajar dari SMA Santa Ursula BSD, angkatan 23.

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Resensi Buku "Tanah Gersang" oleh Mochtar Lubis

16 Maret 2020   10:39 Diperbarui: 16 Maret 2020   10:48 1202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. Yayasan Obor Indoensia

Identitas Buku

Judul: Tanah Gersang
Penulis: Mochtar Lubis
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia
Tahun Terbit: 1992, Cetakan pertama

Dimensi: 16.5 cm x 11 cm
Ketebalan: 211 Halaman (1 cm)
ISBN: 979-461-114-X

Sinopsis

“Tanah Gersang merupakan potret dari kebengisan kehidupan di kota besar yang juga ibukota Republik Indonesia ini”

Tanah Gersang menceritakan mengenai kehidupan karakter-karakter dalam kota Jakarta. Mulai dari kejahatan seperti merampok, hedonisme, sikap korupsi, sampai seks bebas dengan perempuan , Tanah Gersang memberi fokus dari perspektif 3 pemuda yang saling bersahabat, yaitu Joni, Sukandar, dan Yusuf. 


Bertiga dengan Joni sebagai kepalanya, melakukan kejahatan dalam kota dari perampokan sampai akhirnya terjadi pembunuhan. Ketika semuanya mulai tidak terkontrol sejak pembunuhan itu, malahan ketiga ini berpisah, dan Joni yang dalam pelarian mencoba untuk membuai seorang perempuan “artist”.

Overview Fisik Buku

Buku yang saya bahas ini adalah edisi pertama cetakan Yayasan Obor Indonesia dari novel yang ditulis oleh sastrawan Indonesia Mochtar Lubis berjudul “Tanah Gersang”. Dengan sampul soft-cover dan halaman berbahan kertas koran (yang cukup tipis), buku ini awalnya dijual dengan harga Rp 7.800 ( + Rp 22.800 jika disesuaikan dengan harga saat ini).

Analisa Cerita

Secara pribadi, sebagai murid sastra Indonesia beserta penikmat cerita-cerita dari jaman-jaman sebelum tahun 2000-an, saya cukup menikmati cerita ini, terutama dengan realita yang diangkat oleh sang penulis Mochtar Lubis. 

Mochtar Lubis sendiri memang sebenarnya menyukai menulis mengenai kritik-kritik sosial seperti ini, sehingga bagi saya, jika dibandingkan dengan karya-karyanya yang lain, saya rasa ini merupakan bacaan yang lebih ringan daripada novelnya yang lain, karena kalau dalam buku “Senja di Jakarta” 

Mochtar membawa sisi filosofis, pada buku ini ia hanya menceritakan bagaimana jalan hidup dan lika-liku para tokoh-tokohnya tanpa terlalu membawa sudut pandang filosofi seberat “Senja di Jakarta”.

Dibandingkan dengan buku novel satunya “Senja di Jakarta” yang menarik fokus ke orang-orang tua dari berbagai jenjang sosial, kali ini cerita hanya berfokus ke sikap-sikap orang yang lebih muda namun tetap atas-bawah dalam jenjang sosial. 

”Tanah Gersang” mengandung unsur-unsur sosial yang sampai pada jaman sekarang masih dipraktikkan. Mulai dari perempuan seks bayaran, dari cara gaya hidup kelas atas, keluarga dari seorang koruptor, semuanya masih dengan akrab saya jumpai, sehingga buku ini, saya cukup kagum, tidak terlekang waktu dan menjadi salah satu buku yang saya anggap sebagai “wajib baca”.

Diksi dan pemilihan kata cukup sulit, terutama bagi mereka yang tidak biasa menghadapi gaya penulisan Angkatan 60-an yang bersifat sedikit berputar-putar menjelaskan sesuatu namun detail. 

Untuk kaum awam, butuh sedikit pembiasaan lalu sekitar tengah jalan cerita seharusnya sang pembaca sudah mulai terbiasa dengan gaya penulisannya. 

Selain penulisan, memang karena Mochtar Lubis datang dari Angkatan 60-an yang banyak mengangkat topik mengenai masalah sosial, maka tidak kaget jika “Tanah Gersang” yang sebenarnya ditulis tahun 1966 juga membahas mengenai masalah sosial.

Buku ini tidak cocok bagi masyarakat dibawah umur 13 tahun, mengingat banyak adegan dewasa yang diimplikasikan dan kekerasan, mana lagi format tulisan yang cukup rapat antar baris dan padat tiap halaman. Melainkan, buku ini sangat cocok bagi pencinta sastra ataupun drama, pembaca kelas berat yang ingin mencari bacaan ringan, pelajar sosial yang ingin mempelajari fenomena kehidupan (karena yang saya lihat sebenarnya cerita ini memegang realita yang cukup untuk bisa dibandingkan dengan dunia kenyataannya), ataupun pelajar-pelajar sastra yang ingin mempelajari gaya penulisan dan cara penceritaan cerita yang baik.

Kelebihan

Buku yang berukuran kecil, sehingga mudah disimpan dan tidak memerlukan tempat yang besar untuk menyimpannya. Untuk cerita, banyak adegan drama kehidupan beserta penggambaran realita dengan kata-kata dan penggambaran yang detail,cocok bagi mereka pencinta drama realis ataupun pencinta sastra. Cerita cukup singkat (hanya 211 halaman, novel “ringan”), bisa diselesaikan dalam waktu 3-4 hari jika kecepatan membaca rata-rata, sehingga bagi yang ingin cerita berkualitas namun singkat, buku ini sangat direkomendasikan.

Kekurangan

Jika tidak disampul dengan baik, cover buku akan cepat rusak karena bahannya yang soft-cover atau kertas, begitu juga dengan halaman-halamannya yang terbuat dari kertas yang tipis. Tiap halaman sangat padat tulisan: bagi yang tidak terbiasa baca bacaan berat, lebih baik menghindar dari buku ini atau tidak ada kemungkinan anda akan cepat bosan karena pacing cerita yang cukup lamban. 

Buku banyak mengandung adegan yang cukup detail mengenai kekerasan, adegan seksual yang diimplikasikan, dan tentu saja, topik-topik dewasa lainnya seperti pembunuhan dan bunuh diri; tidak direkomendasikan bagi mereka yang hatinya tidak kuat ataupun dibawah umur 13.

Perbandingan dengan buku “Senja di Jakarta”

Sebenarnya saya sudah menulis beberapa perbandingan ini pada bagian analisa, namun untuk perbandingan yang lebih mendalam, akan dijelaskan pada seksi ini:

Dari segi pacing cerita, “Senja di Jakarta” memiliki alur yang lebih lamban dibandingkan “Tanah Gersang”: sangat dimengerti, mengingat “Senja di Jakarta” memiliki dua kali lipat jumlah halaman dan panjang ceritanya juga lebih panjang dibandingkan “Tanah Gersang”. Selain dari segi pacing, karakter-karakter utama dalam cerita “Tanah Gersang” tidak sebanyak “Senja di Jakarta” yang beragam dari tokoh politik sampai tukang sampah, dimana “Tanah Gersang” hanya mengambil sudut cerita dari 3 pemuda berandalan dan mungkin pasangan hidup mereka. Kalau “Senja di Jakarta” lebih luas meliputi dalam lokasi-lokasi terjadinya peristiwa, “Tanah Gersang” hanya fokus ke kurang-lebih satu tempat utama, yaitu kota Jakarta.

Kalaupun kesamaan yang ada dari kedua novel ini, adalah sebuah fakta bahwa kedua novel ini mengangkat mengenai lika-liku kehidupan sosial masyarakat di Indonesia modern, mulai dari kelas bawah sampai kelas atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun