Â
Saya jarang menulis review buku. Terlebih lagi, jarang ada buku yang membuat saya berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, dan merenung tentang bagaimana selama ini saya memahami agama. Namun "Jika Agama Membuatmu Kejam, Kamu Salah Baca" bukan sekadar buku. Ia adalah cermin. Ia adalah tamparan lembut---dan kadang keras---yang tidak menyakiti, tetapi menyadarkan. Buku ini berhasil menggugah bagian terdalam dalam diri saya yang sudah terlalu lama tertidur oleh rutinitas agama yang kering makna.
Sebuah Awal yang Menggebrak: Pengantar Penuh Kesadaran
Dari halaman pertama, saya langsung merasa disapa, bahkan disindir dengan penuh kasih. Kata pengantar yang ditulis oleh penulis bukan basa-basi normatif, melainkan seperti khutbah Jumat yang disampaikan dengan air mata dan kejujuran. Penulis mengajukan pertanyaan: "Sejak kapan Tuhan jadi pemilik daftar hitam orang-orang yang pantas kamu benci?" dan sejak kalimat itu, saya tahu bahwa buku ini bukan ingin menggurui, tapi mengajak berjalan bersama.
Ini bukan buku yang menistakan agama, seperti mungkin akan disalahpahami oleh mereka yang hanya membaca judulnya. Justru sebaliknya: buku ini adalah surat cinta kepada agama yang terlalu lama diperlakukan sebagai alat intimidasi dan kekuasaan.
Bab Demi Bab yang Menampar, Tapi Menenangkan
Buku ini terdiri dari 10 bab, masing-masing dirangkai seperti ceramah reflektif namun dibawakan dengan gaya yang ringan, tajam, penuh perasaan, dan dekat dengan keseharian kita.
Di Bab 1, penulis langsung menggugat: mengapa agama yang katanya "rahmat bagi semesta alam" justru lebih sering hadir dalam bentuk alarm bahaya? Kenapa ayat-ayat cinta kalah populer dibanding dalil kutukan? Saya menangis diam-diam saat membaca bagian: "Jika kamu tidak tahu cara menyayangi, setidaknya jangan menyakiti."
Bab 2 membongkar hobi baru umat: menghakimi. Saya tertohok ketika membaca: "Cukup bekal kuota dan dalil sepotong, lalu jadilah kamu penjaga moral sejagat---penuh semangat, tapi nol empati." Ironi ini nyata. Ia tidak dibuat-buat. Ia ada di kolom komentar media sosial yang setiap hari saya lihat---dan kadang saya sendiri ikut di dalamnya.
Bab-bab selanjutnya tidak kalah kuat. Ada pembahasan tentang riya' di balik konten "dakwah viral", tentang agama yang dijadikan branding pribadi, tentang betapa kerasnya hati manusia yang merasa sedang mewakili Tuhan. Dan puncaknya adalah Bab 10, ketika penulis menutup buku ini dengan pernyataan lembut namun menghujam: "Agama adalah cahaya, bukan bayangan gelap."
Kenapa Buku Ini Berbeda?