Mohon tunggu...
Florensius Marsudi
Florensius Marsudi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Manusia biasa, sedang belajar untuk hidup.

Penyuka humaniora - perenda kata.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Modal Paku dan Papan

5 Oktober 2020   02:29 Diperbarui: 5 Oktober 2020   03:10 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
buku ruang perpustakaan pribadi (sumber dok.pribadi)

Cuma sekedar cerita, sekian tahun yang lalu....

Sahabat Kompasiana, saya mau menulis  di sini, di Kompasiana ini, tentang renovasi rumah sebenarnya agak malu. Mengapa?

Pertama, coba anda bayangkan. Saya ini hanya petani.  Rumah saya itu dulunya hanya berdinding triplek. Tiap kamar juga hanya disekat dengan triplek. ...plek!  Maka untuk renovasi rumah saya membutuhkan penganggaran yang luar biasa, butuh penjlimetan dalam urusan biaya. Menuliskan renovasi rumah yang pemiliknya hanya "berpredikat" petani, itu sama saja "ngoyoworo". Bahasa @mbah Ukik (https://www.kompasiana.com/aremangadas) ngoyoworo, artinya omong kosong.

Kedua, membahas renovasi rumah, sama saja membahas ketidakpunyaan saya akan kepemilikan rumah yang bagus, baik dan layak. Kalau sudah bagus, sudah baik dan layak huni, ngapain harus direnovasi? Kan gitu!

Tapi....ini yang ketiga, semoga dengan pengalamana renovasi rumah yang saya tulis ini; siapa tau juga menjadi kaca refleksi bagi anda yang membacanya. Andai tulisan ini ada manfaatnya  ya, syukur alhamdulillah. Andai nggak berguna ya...nggak apa-apa. Namanya saja cuma berbagi, sharing... beyond blogging, dan kalau bisa citizen news and opinion channel.  Iya toh... 

Observasi harga bahan bangunan

Sahabat Kompasiana, hampir tiga bulan lebih saat itu, saya observasi harga bahan bangunan. Observasi, nanya sana-nanya sini dimana ada bahan bangunan yang paling murah. Biasanya ketika observasi tersebut, saya melakukan pencatatan secara detail. Ada buku kecil dan ballpoint terselip di saku.
Misalnya papan ukuran 2 cm x 17cm x 5m di toko A harganya per keping 75 ribu, di toko B 73 ribu dan di toko C 72 ribu. Otomatis saya akan mengadakan pendekatan lebih rinci dengan toko C yang berani menjual 72 ribu per keping.
Contoh lain, di toko A, semen PG  (per 50 kg kala itu) harganya 57 ribu, toko bangunan B 60 ribu, toko C 63 ribu per 50 kg. Anda bisa menebak, saya akan memilih ambil/beli semen di toko A.

Ambil/beli banyak, bayar enam hari sekali

Sudah saya sebutkan, bahwa saya hanya petani. Cari makan sehari cukup untuk makan sekali.  Di toko-toko tempat saya membeli/mengambil bahan bangunan, saya membuat perjanjian dengan yang empunya toko. Perjanjian itu,  bahwa saya akan membayar material bangunan yang saya ambil setiap enam hari sekali (saat itu). Saya juga menyertakan alamat rumah, nomor telpon. Dan saya membawa serta kepala tukang yang akan mengambil material bangunan yang saya butuhkan. Saya perkenalkan kepala tukang itu kepada pemilik toko. Bila saya akan mengambil material, biasanya saya menyertakan nota dan diberikan pada pemilik toko. Nota itu memiliki nomor seri yang sama dengan warna kertas berbeda. Dari semua sarana renovasi yang saya lakukan, material terbanyak adalah paku dan papan. Semen 27 sag, paku 2 inc 8 kg, paku 3 inc 5 kg. Papan  2 cm x 17cm x 5m (tahap I 57 keping, tahap II 39 keping, tahap III 32 keping), beberapa keping kalsibut (2 x 1 m)  untuk plafon. Kayu ukuran 4cm x 7cm x 4m, 32 batang. 

Tukang yang bekerja pada saat itu ada empat orang, termasuk kepala tukangnya. Sistem penggajiannya enam hari sekali, bersamaan dengan saya harus membayar hutang ke toko bangunan, tempat saya mengambil material bangunan. Disinilah kepala saya kadang cenat-cenut.

Modal kepercayaan

Saya berani melakukan hal tersebut, "hutang berhutang, ambil mengambil" material di toko bangunan, karena modal kepercayaan. Saya percaya bahwa si empunya toko baik dan percaya pada saya. Ia percaya pada pekerjaan saya, walau cuma petani. Begitu juga dengan si empunya toko, beliau percaya pada saya bahwa saya akan menepati janji, mbayar utang, sesuai material yang saya ambil.

Membengkak!

Sahabat kompasiana, sekalipun saya sudah mengetatkan anggaran, ketat rancangan, bahkan disiplin kerja; tapi masih juga ada hal-hal yang terlewatkan. Ketika saya membuat rancangan kerja renovasi, harga barang A, tertulis sekian ribu. Pas ketika pelaksanaan kerja, harga tersebut  naik menjadi sekian ribu. Mati aku. Contoh yang sederhana, harga papan sekeping dulu cuma 70-an ribu, pas pelaksanaan kerja 80-an ribu. Byuh....byuh....
Anda tahu, saya tidak membuat perjanjian dengan pemilik toko, bahwa harga sesuai ketika perbincangan pertama kali. Rupanya harga bersesuai ketika saya akan mengambil barang, saat itu. Disinilah kepala saya cenat-cenut yang kedua, mumet binti pusing.
Pelajaran berharga bagi saya dan anda (mungkin), buatlah perjanjian tentang harga barang yang berlaku saat itu, atau harga barang ketika anda akan mengerjakan renovasi. Lalu, bila perlu lunasi berapa barang yang akan diambil, jadi ketika ada perubahan harga, anda sudah menang satu langkah. Jangan meniru keteledoran  saya.

Satu hal yang mencolok dari renovasi rumah saya adalah, dulu nggak ada ruang buku (perpustakaan pribadi) sekaligus ruang kerja. Dan ruangan ini nggak cocok pakek papan (begitulah kata tukang). Kepala tukang nggak merekomendasi, jika ruang buku pribadi pakai papan. Takut rayap, tikus, bahkan jika papan lapuk, akan merangsek lapuk itu merusak buku. 

Nah....cerita punya cerita, kepala tukang menyarankan agar saya membeli batu bata! Membuat khusus ruangan untuk perpustakaan pribadi berbatu bata, punya pintu tersendiri, sekalipun terkoneksi dengan ruangan lain (yang juga dibatu bata). 

Ruangan perpustakaan ini semula nggak ada masuk anggaran. Lah... pikir saya, cuma petani kok nggaya punya perpustakaan pribadi. Cuman petani kok numpuk buku. Olala...rupanya setelah sekian lama beli buku, hobi baca buku, diminta mengajar....terkumpulah buku-buku itu. Daripada buku berserakan, ya dibuatkan ruangan khusus, dibuatkan rak buku. Diujung rak buku itu ada buku-buku terbitan Gramedia, terutama kamus. Kan rasanya nggak sampai hati menyerakkan buku setebal itu (mahal pula) di kabinet  (lemari kecil tempat menyimpan surat-surat).

Namun ujung-ujungnya, memang saya harus akui, dan kembali kepada niat awal. Saya merenovasi rumah, bahkan bagian rumah, kamar perpustakaan pribadi, memang hanya modal paku dan papan saja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun