Mohon tunggu...
fahmi karim
fahmi karim Mohon Tunggu... Teknisi - Suka jalan-jalan

Another world is possible

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film Squid Game; Seni Mempermainkan Hidup

6 Oktober 2021   11:41 Diperbarui: 6 Oktober 2021   12:59 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini adalah potongan kecil naskah saya dalam diskusi yang dibuat Komunitas Nebula, komunitas yang santai dengan pembicaraan film, dengan judul asli “Absurditas Masyarakat Modern”. Sengaja saya buat tidak kaku tuisan di bawah ini. Untuk naskah asli diskusi, yakinlah, dahi saya berkerut saat membaca paper saya sendiri.

----

Salah seorang teman, teman dekat, bercerita kepada saya tentang perkawinannya yang gagal. Bukan apa-apa, karena bahkan susunan acara pernikahannya sudah detail. Mungkin sampai Master of Ceremony (MC) sudah ditentukan. Teman jauh pun sudah diundangnya meski belum dibuatkan undangan.

Dia menceritakan secara detail scene by scene kronologis kegagalan pernikahan itu. Sangat dalam, memukul perasaan, dan mata saya sampai berkaca. Karena sungguh tragis.

Tontonlah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck: kegagalan untuk menyatukan kedua perasaan yang mentok karena tak dapat restu orang tua. Mungkin seperti itu kisahnya.

Tiga hari teman saya tidak makan. Kebutuhan fisik tubuh dikalahkan oleh rusaknya suasana batin, oleh rasa kecewa. Dan memang begitulah peran "perasaan" yang telah diberikan sebagai anugerah Tuhan kepada kita. Sumber dari seluruh masalah. Dan tidak salah. Karena meski Anda pernah sakit-sakitan melalui fakultas "hati", namun Anda kan juga pernah memanen bahagia dari fakultas hati.

Harus adil dalam menilai fakultas yang satu ini. Hanya karena Anda disakiti oleh seseorang, atau cinta yang bertepuk sebelah rasa, lalu tiba-tiba Tuhan dibawa-bawa dalam rasa kesal.

Anda pernah bahagia, Broh, dengan fakultas perasaan. Jadi santai. Selowww...

Karena begitu tragis, dan memukul suasana batin, saya lalu mengatakan kepadanya, "Kayaknya cerita dalam film-film seluruhnya adalah salinan kenyataan." Kisahnya seperti film.

Saya lalu ingat satu tokoh dalam sejarah estetika mengenai proses penyalinan kenyataan dalam film, khususnya tradisi estetika Marxis. Yaitu David Ebelevich Kaufman, atau yang terkenal dengan pseudonimnya Dziga Vertov. Yang adalah seorang Bapak Film Dokumenter. Seorang yang memberikan asumsi dasar realisme sebagai estetika sinema.

Bagi Vertov, sinema itu, atau film, adalah perkara merekam kenyataan. Baginya yang terpenting adalah hubungan antara karya sinematik dengan kenyataan. Jadi perkara kebenaran.

Inilah kenapa dia disebut sebagai Bapak Film Dokumenter. Karena film dokumenter adalah proses penyalinan kenyataan dalam satu karya sinema. Yang ditampilkan adalah kebenaran.

Namun, yang saya maksud kisah teman saya kaitannya dengan film, bahwa seluruh film yang sedih-sedih, saling membunuh, adalah salinan kenyataan; yang pernah terjadi atau mungkin terjadi.

Misalnya film yang tiba-tiba viral di media sosial, Squid Game.

Awalnya saya diibuat kaget dengan salah satu media online yang memberitakan bahwa film ini peringkatnya di atas Money Heist.

"Kurang ajar jika sudah begini!" kata saya yang tidak percaya ada film yang bisa sebagus Money Heist. "Saya harus tonton!"

Karena kurang hati dan hantu penasaran, saya memaksakan diri untuk menonton episode Squid Game.

Sedikit gambaran mengenai film:

Singkat cerita, film ini adalah permainan yang berhadiah uang yang sangat banyak. Setiap pemain harus mampu bertahan hidup dalam permainan dan menyelesaikan permainan. Jadi, siapa yang bertahan sampai akhir permainan akan mendapatkan hadiahnya. Semua pemain adalah orang miskin yang dililit utang, maka diberikan peluang untuk menjadi kaya. Meski peluang untuk menang hanya 0 koma ratusan persen dan mati dalam permainan ratusan persen.

Dari ratusan orang, hanya satu yang akan memperoleh hadiah. Maka saya merasa aneh jika mereka harus berkelompok yang ujungnya harus saling membunuh.

Sudah tahu akan saling tersakiti namun masih saja bertahan. Ehh...

Itu dulu yang bisa saya sampaikan.

Kesimpulannya mengenai film ini? Ternyata benar bahwa hoax banyak di media sosial. Tidak sebagus yang diberitakan. Yang ada di setiap episode justru membuat tubuh saya jadi ngilu. Ini seni membunuh? Kan ada juga, toh, seni mengakhiri hidup.

Ini menurut saya. Jangan dulu marah.

Dan, lagian film ini terlalu jelas. Mestinya kita curigai hal-hal yang jelas. Beda lagi kalau Anda nonton serial Game of Thrones, atau film yang membuat saya berhenti menonton, yaitu Dark.

Saya suka saat sedang berdiskusi lalu memberi contoh dari film. Karena bisa menyelam kendati yang saya tafsirkan bukan maksud dari pembuat film itu. Apalagi jika mendiskusikan film. Tidak perlu banyak berbantahan, yang ada banyak pendapat. Karena begitulah film: Anda bisa menusuk dari sisi mana saja, dan membelah serta menyusun argumen semau Anda.

Saya akan sedikit memberi tanggapan mengenai film Squid Game.

Pertama, tentu latar kemiskinan yang menyusun konflik dalam film. Terutama latar Korea Selatan -- dan kali ini saya menyarankan Anda tonton film Parasite. Hampir mirip-mirip; latar ekonomi yang membuat orang saling menyakiti.

Dalam sosiologi itu masuk akal, bahwa kemiskinan sangat dekat dengan kriminalitas.

Kedua, kerinduan pada hal-hal yang telah lampau. Yang telah lewat. Bahwa hal ini yang membuat batin terus memberikan definisi "perbedaan". Karena kenangan adalah sekaligus tubuh itu sendiri. Menghilangkan kenangan sama seperti mencerabut jiwa dari tubuhmu. Tidak bisa!

Anda begitu? Sering tengelam dalam kenangan? Peihh...

Kerinduan pada hal yang telah lampau dalam film Squid Game adalah cerita anak-anak. Dan film ini dimulai dari sini. Inti dari cerita; perkawanan dan permainan.

Hidup seperti masa kecil, memainkan segala rupa. Dan poin pentingnya: dunia anak-anak adalah dunia yang sekaligus tubuh yang terkait dengan lingkungan.

Dunia anak-anak bukanlah dunia yang sendiri-sendiri. Dunia anak-anak adalah dunia yang ada bersama orang lain. Bahwa orang lain, atau masyarakat, atau lingkungannya adalah rumah bagi diri anak-anak. Anak-anak selalu berpikir dalam kerangka dunia yang sedang ditinggalinya.

Novel, kata Luckas, adalah satu karya sastra yang lahir akibat tercerabutnya kesatuan antara manusia dan dunia, antara manusia dan lingkungannya.

Masyarakat Yunani Antik adalah masyarakat yang menyatu dengan dunia sekitarnya. Orang-orang era Yunani Antik sulit berpikir, atau berfilsafat, di luar kerangka polis. Inilah yang disebut sebagai "kemenyeluruhan" (totality).

Dalam kondisi kemenyeluruhan ini, masyarakat dianggap sebagai "rumah" bagi diri sendiri: kerasan dengan diri, kerasan dengan lingkungan sekitar.

Namun, saat berkembang kehidupan manusia, dengan silang kepentingan, terutama di masyarakat modern, kemenyeluruhan itu lenyap. Manusia modern menjadi sendiri-sendiri, tidak menganggap dunia bagian dari dirinya dan dunia adalah dirinya. Inilah genre novel: penemuan diri sebagai individu.

Jadi masyarakat modern adalah masyarakat yang tak berumah. Masyarakat yang seperti ingin dewasa dan meninggalkan inti dari kehidupan anak-anak.

Ketiga, dan ini yang selalu ditampilkan dalam setiap episode, dan diperkuat oleh episode sembilan; sadisme: menikmati kekerasan, atau malah bermain-main dengan kematian pada tubuh manusia yang, dalam film, adalah orang-orang malang tak berdaya; jelatais cum hamba-sahaya.

Saya teringat dengan Marquis de Sade. Seorang filsuf yang melancarkan peluru kritik pada moralitas agama, mencengkram orang-orang yang hidup pada masa itu. Terkenal dengan violence sex: semakin tidak wajar dalam melakukan sex, misalnya dengan mencekik atau memukul, maka semakin memberi kenikmatan pribadi.

Bagi de Sade, kehidupan manusia itu pada dasarnya adalah anarkis dan tidak adil; dalam keadaan jahat. Inilah tatanan hidup manusia yang alamiah. Manusia seperti de Sade berusaha mengejar kenikmatan (sense pleasure), bagaimanapun caranya. Dan baginya kenikmatan itu identik dengan penyimpangan dan kejahatan.

Film Squid Game disusun dari imajinasi kekerasan dengan cara memainkan hidup. Memang, hidup ini perlu diolok-olok, karena terlalu payah, namun tidak untuk melancarkan kekerasan pada tubuh hanya untuk kesenangan.

Anda senang-senang di atas penderitaan orang lain itu manusiawi? Seperti hewan saja.

Keempat, kesetaraan.

Di dalam film, meskipun kita digantung pada episode akhir, si Kakek Tua (Oh Il Nam) yang diduga sebagai dalang dari permainan mematikan ini, justru sekaligus terlibat dalam permainan, yang bisa saja dia terbunuh. Seperti dalang dan wayang yang merupakan satu kesatuan.

Dalam film, semua pemain mendapatkan hak yang sama. Tidak ada yang beda dalam hak. Saat ada yang diberikan hak istimewa, berarti ada sistem yang diretas. Dan konsekuensinya kematian. Seperti pemain dokter, si ahli bedah, dan panitia yang menyeleweng dalam film.

Namun, apakah hak yang sama itu inti dari keadilan? Adilkah ketika Kakek Tua harus bersaing, andai kata dia masuk permainan terakhir yang mengandalkan kekuatan? Apakah keadilan itu hanya sebatas pemberian hak yang sama?

Seorang filsuf Prancis kelahiran Al-Jazair, Jacques Ranciere, memulai filsafat politiknya dari kesetaraan; kesetaraan harus jadi titik berangkat bukan tujuan. Inilah jantung dari demokrasi (the political).

Pada awal film permainan sempat dihentikan karena suara terbanyak menginginkan permainan berhenti. Dan permainan pun berakhir.

Demokrasi pada intinya, dalam pandangan Ranciere, adalah gangguan pada tatanan yang ada. Semua orang dihitung dalam politik demokrasi. Orang yang tidak dianggap dalam film, yang lemah, suaranya dihitung dan didengarkan karena semua setara dalam hal pemikiran dan pengambilan keputusan.

Itu dulu pendapat saya.

Namun, dari keseluhan pendapat saya itu, tetap saja film ini tidak menarik. Maaf, yah, jangan dilebih-lebihkan.

Film ini hanyalah satu imajinasi kekerasan -- meski sifat itu juga dimiliki manusia. Tidak ada yang bisa direfleksikan lebih kecuali bagaimana setiap orang itu menerima kematian.

Kita hanya membicarakan kematian setiap tubuh. Tidak lebih dari itu.

06 Oktober 2021. Sekretariat, Jl. Manguni 8.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun