Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sang Warna Terakhir [Dua-Jingga]

13 November 2021   08:48 Diperbarui: 13 November 2021   08:56 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Sang Warna Terakhir (Jingga) Sumber: wallpaperbetter.com

Kalm memandangku dan tersenyum menenangkan. "Duniaku cukup luas, hampir seperti duniamu. Aku akan mengajakmu berkeliling. Jangan lupa, kau harus tetap waspada. Seperti yang kukatakan, aku adalah pelindungmu. Itu artinya, kau sedang berada dalam bahaya."

Aku menelan ludah, lalu menatap sepasang sandal tipis yang kukenakan. Sungguh, benar-benar alas kaki yang keliru dalam situasi seperti saat ini. Uap yang mengepul dari dalam kawah terasa memanas. Bebatuan yang kupijak bagaikan bara di bawah telapak kakiku. Ini benar-benar mimpi buruk.

"Cepatlah!" desak Kalm. "Mereka akan segera tiba!" Kalm bergegas menuruni medan terjal dan aku segera mengikutinya.

Kalm memiliki langkah-langkah yang panjang dan cepat. Sulit sekali mengikuti lelaki itu. Beberapa kali aku nyaris tersungkur. Untunglah, lengan lelaki itu dengan sigap menangkapku. Lelaki itu lalu melambatkan langkahnya dan menuntunku. Saat aku nyaris tiba di kaki bukit, Kalm menarik cepat lengan kiriku, memaksaku untuk merunduk di balik rimbun perdu.

"Kita tidak boleh terlihat," desis Kalm. Sisik di dahinya berubah gelap. Sorot matanya terlihat tegang saat menatap ke kejauhan.

Suara langkah terdengar mendekat seiring senandung di udara, seperti lantunan doa-doa dari para pemuja. Kerlip-kerlip cahaya terlihat satu per satu, lalu mulai menggerombol seperti kunang-kunang. Aku berusaha melebarkan mata dalam kegelapan. Senandung mereka terdengar semakin jelas, jernih dan mendayu-dayu, seolah-olah merayu sepasang kelopak mata kita yang perlahan-lahan mulai terasa berat.

"Kalila," tegur Kalm seraya menepuk pundakku, "jangan sampai kau tertidur."

"Mengapa?" tanyaku menahan kuap. Aku dapat melihat sosok-sosok peziarah mulai menaiki bukit. Wajah-wajah mereka bertudung hitam, senada dengan warna jubah panjang yang mencapai ujung kaki. Mereka melangkah cepat dan membawa lampion masing-masing di tangan kanan. Jumlah mereka berkisar puluhan. Kalm menarik tubuhku agar semakin merunduk di balik semak belukar.

"Jika kau tertidur, kau tak akan pernah bangun lagi," bisik Kalm.

Sontak kedua mataku membuka lebar. "Kau serius?"

Kalm mengangguk. "Begitu kau tertidur, pintu antara dimensi akan tertutup. Kau takkan bisa kembali dan terjebak selamanya di sini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun