"Benci?" Pelipisku berdenyut. Benakku dipenuhi pertanyaan. "Bagaimana mungkin mereka membenciku? Aku bahkan tak berasal dari dunia ini!" Aku berdiri dengan marah lalu mengibaskan pantat celanaku. Harusnya aku tak mengikuti Kalm! aku benar-benar gila karena membahayakan nyawaku bersama orang asing yang entah siapa!
"Tenanglah...," ucap Kalm membujukku. Lelaki lalu beranjak dan berdiri di hadapanku. "Marah cuma memboroskan tenaga. Jangan lupa, selama di sini, kau harus selalu terjaga."
"Antar aku pulang sekarang," pintaku tegas. Lelaki itu tak boleh mengaturku sesuka hatinya. Keinginanku adalah milikku, tak seorang pun yang boleh merampasnya dariku. Dahulu, ibu juga selalu menghormati keputusanku karena bagi ibu, aku adalah putri kecilnya yang merdeka.
"Kau mengerti apa yang kau katakan? Sadarlah, Kalila! Aku takkan membawamu ke sini jika persoalannya semudah itu!" seru Kalm gusar.
Aku menatap Kalm tajam dan mengeraskan tekad. "Ceritakan padaku segalanya saat ini juga. Jika tidak, aku akan meninggalkanmu meskipun nyawaku menjadi taruhannya."
"Baiklah, jika itu keinginanmu. Tapi tidak di sini. Terlalu berbahaya. Kaum peziarah lain sewaktu-waktu bisa muncul. Kita harus mencari tempat lain yang lebih aman. Kau setuju?"
Tak ada pilihan lain. "Baiklah. Semoga penjelasanmu bisa membuatku lega. Jadi, kita akan pergi ke mana?"
"Pergi ke negeriku. Kau akan lebih aman di sana. Ayo!" ajak Kalm dan mulai melangkah meninggalkan bukit.
Sambil berjalan di sisinya, kusempatkan untuk melirik wajah Kalm. Sisik di dahi lelaki itu berpendar terang. Bercahaya. Sayangnya, langkah Kalm terburu-buru, sehingga aku tak sempat bertanya padanya. Aku hanya mengikuti langkah lelaki itu sambil bersikap waspada.
***
Bersambung Minggu Depan