Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sang Warna Terakhir [Satu-Merah]

2 November 2021   17:15 Diperbarui: 13 November 2021   07:59 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Sang Warna Terakhir Sumber: pixabay.com

"Baik, baiklah. Aku percaya." Saat ini aku tak punya pilihan lain. "Kau benar, sesuatu selalu saja menggelisahkanku. Mimpi buruk, bayang-bayang kegelapan... entahlah. Mereka tak pernah berhenti mengejarku. Karenanya, aku terus berlari. Aku terus berpindah-pindah tempat hingga letih."

Kalimat terakhir merupakan ungkapan frustrasi yang sejujurnya. Ketakutan telah menderaku bertahun-tahun lamanya. Tiada seorang pun yang mampu memahami penderitaan itu. Guna-guna, sihir, atau roh orang mati adalah rupa-rupa tuduhan yang sering dialamatkan padaku. Hanya ada satu orang di dunia ini yang memahami kegelisahanku. Orang itu adalah ibuku yang sudah berpulang lima tahun yang lalu. Sejak itu pula, aku terbiasa memendam derita sendirian.

Siulan lelaki itu terhenti. Ia menatap ke langit lalu bertanya padaku, "Dan kau merasa marah dengan semua itu?"

"Tentu saja," aku mengakui perkataan lelaki itu, "aku benar-benar tak mengerti mengapa aku harus mengalaminya." Sekuat apa pun aku mencoba, berusaha untuk mengerti malah membuatku lelah. Setelah ribuan malam berlalu dengan mimpi buruk, kuputuskan untuk membebaskan diri dari segala kecemasan. Aku berhenti peduli dan menganggap semua itu adalah kewajaran. Hanya dengan cara itu aku bisa melanjutkan kehidupan.

"Hidupmu pasti berat," gumam lelaki itu prihatin. "Kau harus mengalaminya karena kau adalah simbol warna terakhir."

Kata-kata lelaki itu terdengar aneh. Warna terakhir? Apa maksudnya? Selain warna primer, sekunder, dan tersier, aku tak mengenal warna lainnya. "Semua ini semakin membingungkan. Bisakah kau menyampaikan maksudmu dengan sederhana?"

"Ikutlah denganku. Kau akan mengerti."

"Ke mana?"

"Ke rumahmu."

Aku memandang lelaki itu sambil berharap semoga saja aku tidak sedang bercakap-cakap dengan orang gila. "Tapi kita sedang berada di depannya."

"Percaya saja, saat ini kau hanya perlu mengikuti langkahmu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun