Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sang Warna Terakhir [Satu-Merah]

2 November 2021   17:15 Diperbarui: 13 November 2021   07:59 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Sang Warna Terakhir Sumber: pixabay.com

Sejak lama benakku dipenuhi pertanyaan tentang warna. Warna-warna bahagia, muram, dan nestapa. Segalanya membaur dalam kenangan-kenangan yang mustahil disingkirkan begitu saja. Bermula dari suatu pagi temaram di teras rumah, duniaku kemudian berubah. Apakah kau juga pernah mengalaminya? 

-Kalila-

[SATU] MERAH

  

Sosok lelaki itu terlihat gelisah. Tubuhnya bergerak-gerak, walaupun sepasang kakinya seolah-olah terpaku di trotoar. Lelaki itu bersandar di tiang lampu jalan, sendirian. Sekilas, tubuh cekung itu tampak menyatu dengan tiang. Pandangannya mengarah pada ruas jalan yang sepi. Tiada siapa-siapa yang melintas. Sepagi ini kehidupan melaju dengan lamban. Orang-orang masih ingin bergulat dengan mimpi, sementara lelaki itu mungkin telah merdeka dari mimpinya.

Sepasang mataku menatap penuh rasa ingin dari jendela putih berukuran besar. Meskipun udara dingin gagal menembus hangatnya sweter abu-abu tebal yang kukenakan, separuh hatiku terasa nyeri. Kehadiran lelaki itu malah menyempurnakan kesunyian yang kurasakan. Perbedaan kami hanyalah soal tempat, aku sedang berada dalam rumah yang hangat, sementara lelaki itu entah sedari kapan berdiri di tepi jalan.

Sebuah niat berkecamuk dalam benakku. Aku ingin turun dan menemui lelaki itu. Mungkin sekadar menyapa atau kami bisa berbincang. Rumah ini terasa kosong dengan keberadaanku. Hanya aku, tiada lagi yang lainnya. Ini adalah rumah kelima yang kujadikan sebagai kediaman. Aku selalu hidup berpindah-pindah. Hampir segala jenis rumah telah kuhuni, mulai dari rumah di perkampungan, gang sempit, pedesaan, rumah susun hingga apartemen di pusat kota. Aku tak pernah tinggal lama karena selalu dihantui oleh sesuatu yang tak mampu kuutarakan.

Suara siulan terdengar melengking tajam. Aku tersentak. Lelaki itu sedang bersiul-siul sesuka hatinya. Nada-nada terdengar naik, lalu turun tiba-tiba. Siulannya mengingatkanku pada kegaduhan di pasar pagi. Tiba-tiba suatu dorongan menggerakkan keinginanku. Sepasang kakiku bergegas menuruni tangga. Setengah berlari, aku menuju ke pintu depan. Pintu terbuka dan....

"Selamat pagi, Kalila."

Kakiku surut selangkah. Lelaki itu sudah berada di depan pintu dan mengetahui namaku!

"Jangan tutup pintu ini, kita bisa bicara di dalam atau di luar rumah. Terserah kau saja." Lelaki itu seolah mampu membaca pikiranku.

"Si-si-apa kau?" tanyaku dengan ketakutan yang merayap cepat. Lelaki ini bisa saja orang sinting yang suka mengincar perempuan yang sedang sendirian. Mungkin dia sudah lama mengamatiku dan mencari kesempatan. Barangkali dia seorang psikopat yang sedang berkeliaran atau....

"Pikiranmu melantur tak tentu arah." Lelaki itu berkata dengan tenang. "Kita bicara di luar saja, agar kau merasa nyaman."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun