Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dinding

7 Mei 2018   15:32 Diperbarui: 7 Mei 2018   16:20 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: neutralduo.com

Setiap kali suamiku selesai melapisi dinding-dinding rumah kami dengan cat baru, sorot matanya kembali bercahaya. Punggungnya yang bungkuk kembali tegak. Bibirnya tak henti-hentinya menggumamkan rasa syukur. Seolah-olah, ia baru saja melaksanakan tugas mulia: membersihkan segala noda yang mengotori dinding-dinding itu.

"Lihatlah, aku telah mengenyahkan segala umpatan, caci-maki, dan cemooh yang melekat pada dinding-dinding itu. Hari-hari indah kita akan segera dimulai," ungkapnya lega dengan sepasang mata berbinar.

Aku mengangguk-angguk kebingungan. Setelah mengamuk seperti banteng yang terluka, suamiku mendadak berubah menjadi orang yang bijaksana. Sepasang mataku menangkap pantulan di cermin. Sesosok perempuan bersandar lunglai di pojok ruangan dengan rona memar di sepanjang pipi seperti seonggok tubuh sisa pertikaian sehari-hari.

"Mari, kubantu merapikan rumah," kata suamiku lembut saat mengambil setangkai sapu. Ia menyapu pecahan vas, bingkai, piring dan makanan yang berceceran di lantai. Kumpulan sampah berkerumun dalam serokan dan siap berakhir di tong sampah.

"Sebentar lagi mereka akan mengangkut sampah," ucapnya tanpa menoleh, "aku akan membawa semua ini ke luar sebelum sarapan."

Saat suamiku berlalu, aku berupaya bangkit. Sulit. Suara gemeretak terdengar beruntun. Aku mengaduh kesakitan. Tulang-tulangku seakan bergeser dari posisi semula. Tapi aku harus bergegas. Sebelum suamiku kembali dan belum terhidang apa-apa di atas meja.

Celaka. Kulkas kosong. Tak ada apa-apa di sana. Aku lupa berbelanja. Akhir-akhir ini, aku cenderung melupakan segala hal. Pertikaian-pertikaian tanpa henti telah merampas ingatanku. Menyisakan potongan-potongan letih tak berkesudahan. Tak lama lagi, kelalaianku ini pasti akan mendatangkan bencana besar.

Langkah-langkah mulai terdengar. Suara pintu dibanting. Suara siulan semakin mendekat. Napasku nyaris terhenti. Sepasang mataku nanar menatap sekeliling. Aku harus bersembunyi. Tapi di mana? Ia pasti akan menemukanku. Sentuhan pelan di pundakku membuatku tersentak.

"Aku sudah bilang soal sarapan padamu."

Suara itu terdengar berat dan dalam. Seperti menahan kemarahan. Kakiku bergetar hebat. Kata-kata yang seharusnya menjadi jawaban tercekat di kerongkonganku. Alasan apa  pun akan percuma. Sia-sia belaka.

Suara brak! Pukulan di atas meja. Plak! Sepasang pipiku memanas. Ia mendorong tubuhku hingga terjerembab di lantai yang dingin. Seisi ruangan berputar-putar. Sosoknya menjelma menjadi bayang-bayang yang mengabur. Sebelum kesadaranku pergi, aroma cat menusuk hidungku. Ia pasti sedang melapisi dinding rumah dengan cat baru.

***

Seiring pertikaian yang beruntun, rumah terasa semakin kosong. Perabot dan barang-barang rusak, pecah, atau patah. Sebagian besar tak bisa diperbaiki dan berakhir di tempat pembuangan. Perabot dan barang-barang itu telah menjadi saksi perjalanan yang diawali dengan tawa dan kebahagiaan. Bila keindahan itu akhirnya menjadi malapetaka, semua itu tak lain disebabkan dinding-dinding yang telah menjajah pikiran suamiku.

Malapetaka bermula ketika suatu hari aku memergoki suamiku sedang berlama-lama menatap dinding rumah. Noda lumpur memenuhi dinding abu-abu itu. Entah dari mana dan siapa yang menyebabkannya. Aku sungguh terperanjat saat mendapati lumpur yang mengotori sepasang kaki dan tangannya.

"Kau yang menyebabkan semua ini?" tanyaku sedikit cemas.

Ia tersenyum dan mengangguk. "Jangan cemas, aku akan membersihkannya. Kita cuma membutuhkan sekaleng besar cat berwarna putih."

Awalnya, aku berpikir tak ada yang salah dengan kata-katanya itu. Aku menemani bahkan turut membantunya membersihkan noda lumpur dan mengecat seluruh rumah dengan cat baru. Ketika pekerjaan melelahkan itu berakhir, seisi rumah terlihat bersinar. Cat berwarna putih telah mengusir kesuraman yang sebelumnya dihadirkan oleh warna abu-abu.

"Bagaimana menurutmu?" Sepasang mata suamiku nampak bercahaya. "Indah, bukan?"

"Ya, rumah ini kelihatan bersih," pujiku senang.

"Kau suka?"

"Sangat. Aku malah berpikir untuk membeli beberapa perabot baru."

Suamiku mengangguk setuju. Hari itu juga kami pergi membeli sofa, meja dan satu set peralatan makan. Semuanya berwarna putih. Ia yang memilihkan dengan alasan agar serasi dengan warna dinding. Aku lalu menyadari, pendapatnya itu sungguh tepat manakala semuanya telah tertata apik di dalam rumah.

"Seluruh rumah kita kini didominasi warna putih," komentarku. Kami duduk bersisian di atas sofa baru dan tak henti-hentinya mengamati seluruh penjuru rumah.

"Seharusnya, kita lakukan ini sedari dulu," timpalnya riang.

"Tak masalah terlambat. Perabot-perabot lama itu," aku menunjuk beberapa perabot lama yang telah hadir sejak kami menikah, "meski tak putih namun memiliki kenangan sendiri."

"Kau benar."

Keesokan harinya, suamiku pulang dengan membawa sekaleng besar cat putih. Tentu saja hal itu membuatku kebingungan. Seluruh dinding sudah dilapisi dengan warna yang sama. Lalu, untuk apa ia membeli cat sebanyak itu?

"Ini untuk jaga-jaga. Kita tidak pernah tahu kapan noda akan mengotori dinding-dinding rumah kita," jelasnya saat aku bertanya.

"Tapi... kau kan baru saja mengecatnya," bantahku.

"Suamiku menatapku lama. "Selalu akan ada noda. Kau tahu itu," desisnya.

Kata-katanya membuatku terdiam. Untuk pertama kalinya, aku merasa takut padanya. Ketakutan itu semakin bertambah manakala ia terus mencari-cari noda di dinding sebagai alasan untuk menggunakan sekaleng cat yang baru dibelinya. Iring-iringan semut, darah nyamuk, atau noda lain sekecil apa pun akan membuatnya murka. Ia akan membersihkan noda itu satu persatu dengan saksama. Hal itu terus berulang setiap hari sehingga membuatku resah.

"Bisakah kau menghentikannya? Kau sekarang sering bolos bekerja," protesku padanya. "Kita masih membutuhkan biaya untuk dapur dan lainnya." Saat mengucapkan kalimat terakhir, sebenarnya hatiku agak gentar. Aku takut akan mengundang kemarahannya. Tapi aku harus mengatakannya. Aku tak ingin suamiku dipecat dari pekerjaannya.

"Apa maksudmu? Aku sedang mengawasi dinding-dinding rumah kita," ucapnya tanpa ekspresi.

"Biar aku yang melakukannya untukmu."

"Kau bisa?" tanyanya dengan nada mengejek.

"Pasti bisa," jawabku meyakinkannya.

"Baiklah. Ini," ia menyerahkan kaleng besar cat itu padaku, "jangan sampai ada noda yang terlewatkan."

Saat suamiku berada di kantor, maka aku bertugas menggantikannya. Mengawasi seluruh dinding dari gangguan-gangguan yang berpotensi menyebabkan noda. Juga menghapus noda yang timbul sesegera mungkin. Lama-lama aku merasa lelah. Ini gila. Benar-benar gila. Mengapa aku harus melakukan semua ini? Suatu hari, aku memutuskan untuk mengakhirinya. Alhasil, suamiku mencak-mencak saat tiba di rumah.

"Ini apa?" ia menunjuk dinding dapur yang dikotori oleh noda kecap.

"Cuma noda kecil. Aku tak sengaja menyentuh dinding itu sehabis makan."

"Kau sudah berjanji padaku!" hardiknya.

"Aku lelah..." aku berusaha menyadarkannya, "bagaimana kalau kita akhiri semua ini?"

Suamiku membanting tas kerjanya ke atas meja makan. "Kau yang ingin menggantikanku. Jangan mengeluh seperti perempuan tua," jawabnya geram.

"Kita memang sudah tua," kataku mengingatkannya.

"Terserah! Mulai sekarang aku yang akan mengawasi dinding-dinding ini. Kau jangan ikut campur!"

Melihat suamiku berang, aku tak berani berkata-kata lagi. Terserah padanya saja. Aku tak memiliki kekuatan untuk menghalangi. Pun ketika ia memutuskan untuk berhenti bekerja. Setiap hari ia hanya mengawasi seluruh dinding rumah untuk mencari-cari setitik noda tanpa mengenal waktu.

Lama-kelamaan, suamiku mulai kesulitan menemukan noda di dinding. Gawatnya, bila sehari saja tak  menemukan apa yang dicarinya, ia lantas mengeluh dan marah-marah. Akulah yang menjadi sasarannya. Ia mulai mencari-cari kesalahanku kemudian mencaci dan mencemoohku sepuasnya.

"Segala ucapanku adalah noda yang mengotori dinding kita. Maafkan aku," ucapnya berulangkali setelah kemarahannya reda.

Aku menangkap penyesalan sekaligus kepuasan yang sulit ditafsirkan dalam sorot matanya yang bercahaya. Ia sengaja menciptakan pertikaian-pertikaian baru. Semakin hari pertikaian itu semakin tak tertahankan. Selain merusak perabot dan barang-barang, ia juga mulai menyakitiku. Menurutku, ia sedang menciptakan noda-noda di dinding rumah kami. Semakin besar noda itu, maka ia merasa semakin puas.

***

Suamiku baru saja keluar untuk membeli sekaleng cat berwarna putih. Suara pintu diketuk. Aku bergegas membukakan pintu lalu membawa masuk sejumlah barang pesanan. Sebentar lagi suamiku akan pulang. Aku harus segera bersiap-siap.

 Beberapa waktu kemudian, suara langkah-langkah mendekat. Itu pasti dia.

"Hei! Mengapa kau biarkan pintu depan tak terkunci? Debu jalanan akan masuk dan mengotori..." kata-katanya terhenti, "a-pa yang kau lakukan?' kaleng cat di tangannya lalu jatuh berdebum di atas lantai.

"Selamat datang di dunia penuh warna," sambutku. Rambut, wajah dan tubuhku berlumuran cat. Coretan warna-warni memenuhi seluruh permukaan dinding rumah kami. Aku menyeringai padanya.

***

Tepian DanauMu, 7 Mei 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun