Dalam adat Kasepuhan, dikenal aturan adat "Mupusti pare, lain migusti" yang berarti memuliakan padi bukannya menuhankan. Menanam padi yang dilakukan oleh masyarakat Kasepuhan dilakukan berdasarkan tuturan buhun (tuntunan dari leluhur).
Mereka bertani di sawah, kebun dan huma (ladang). Dalam menjalankan aktivitas bertani contohnya bertani di sawah, mereka masih menjalankan aturan-aturan adat sebagai kearifan lokal, misalnya sejak persiapan pengolahan tanah sawah hingga panen.
Kearifan lokal dalam bertani di masyarakat Kasepuhan merupakan bekal yang berharga dalam upaya adaptasi perubahan iklim. Kearifan lokal tersebut membantu keberlangsungan kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu.
Kearifan lokal tersebut bertahan dan berkembang sekian lamanya yang diwariskan melalui nilai adat, pengetahuan lokal dan praktek sehari-hari dari leluhur kepada anak cucu di masyarakat Kasepuhan.
Kearifan lokal dalam pertanian tersebut mencakup jadwal penanaman, pengolahan lahan, pengelolaan air dan sebagiannya.
Kearifan lokal dalam jadwal penanaman misalnya dengan melihat tanda-tanda alam seperti hujan yang turun lebih sering dan pergerakan bintang. Masyarakat Kasepuhan mengenal pengetahuan beberapa formasi letak bintang di langit malam.
Contoh formasi bintang di Bulan Agustus dikenal dengan istilah "Tanggal kereti turun beusi" yang artinya Bintang Kereti mulai muncul sehingga masyarakat harus segera menyiapkan alat perkakas pertanian.
Dan di Bulan Agustus juga ada bintang yang dikenal dengan "Tanggal kidang, turun kujang" yang artinya lahan ladang (huma) harus disiapkan dengan cara dibabat dan juga mulai menggarap lahan ladang tersebut.
Terkait dengan panen padi, tanda pergerakan bintang dikenal dengan istilah "Tilem Kidang, turun kungkang" yang artinya kalau Kidang sudah hilang yang diperkirakan terjadi di Bulan Mei, maka padi dan ladang sayah harus sudah selesai di panen.
Karena berdasarkan pengalaman, pada Bulan Mei sering banyak muncul hama padi yaitu Walang Sangit yang bisa merusak padi.