Mohon tunggu...
R Firkan Maulana
R Firkan Maulana Mohon Tunggu... Konsultan - Pembelajar kehidupan

| Penjelajah | Pemotret | Sedang belajar menulis | Penikmat alam bebas | email: sadakawani@gmail.com | http://www.instagram.com/firkanmaulana

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengelola Hidup di Negeri Bencana

29 September 2018   11:41 Diperbarui: 29 September 2018   12:47 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selang satu bulan dari bencana gempa bumi di Lombok, kembali terjadi gempa yang mengguncang wilayah di Donggala dan Kota Palu di Provinsi Sulawesi Tengah dengan kekuatan magnitude 7,4 skala Ritcher pada 28 September 2018 sekitar pukul 17.02 WITA. Pusat gempa terletak pada kedalaman 10 km dengan jarak sekitar 27 Km arah timur laut Donggala.

Gempa tersebut telah memicu gelombang tsunami yang menerjang Pantai Talise di Kota Palu dan juga pantai-pantai di Donggala. Sampai saat kini, belum diketahui berapa banyak korban, baik yang meninggal ataupun cedera.

Begitu pula tingkat kerusakan yang terjadi masih belum diketahui. Jumlah korban dan tingkat kerusakan akibat bencana gempa dan tsunami masih dalam proses pendataan, seiring dengan bala bantuan yang sedang dikerahkan ke lokasi bencana.

Kerusakan yang terjadi di antaranya, bangunan-bangunan rumah, gedung dan lainnya yang hancur, Jembatan Ponulele di Kota Palu juga hancur menyebabkan putusnya jalan penghubung, menara pengawas di Bandara Mutiara Sis Al Jufri roboh serta landasan pacu pesawat mengalami retak.

Dari informasi yang disampaikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), saat ini berbagai pihak sudah mulai bergerak melakukan evakuasi dan pertolongan ke daerah bencana. Diberitakan pula bahwa listrik padam di Donggala dan Palu sehingga mengakibatkan jaringan komunikasi di Donggala dan sekitarnya lumpuh.

Komunikasi yang lumpuh tersebut menyebabkan proses koordinasi menjadi sulit. Pihak Kementerian Informasi bersama dengan operator telekomunikasi saat ini masih berusaha memulihkan pasokan listrik secara darurat agar bisa terjadi komunikasi dalam hal penanganan darurat. Akibat listrik yang padam, saat malam tiba menyebabkan Kota Palu dan Donggala menjadi gelap gulita. Sementara itu gempa susulan pun masih terus berlangsung.


Mengelola Hidup di Negeri Bencana
Mengelola Hidup di Negeri Bencana
Indonesia Rawan Bencana

Indonesia adalah negara dengan banyak pulau, yang terletak pada suatu wilayah geologis yang paling aktif bergerak di muka bumi ini. Indonesia terletak di atas kerak bumi yang merupakan perjumpaan dua lempeng tektonik dunia yaitu Asia dan Australia. Kawasan pertemuan ini dikenal dengan sebutan "Sunda megathrust".

Pertemuan dua lempeng tektonik ini menjadikan gugusan Kepulauan Nusantara merupakan kawasan seismik dan vulkanik yang paling aktif di seluruh dunia. Pergerakan lempeng Australia yang menyusup ke bawah lempeng Asia termasuk yang paling cepat di banding pergerakan lempeng di belahan dunia lainnya, yaitu 45 mm per tahun. Pergerakan ini potensial menciptakan gesekan dan patahan antar lempeng yang memicu terjadinya gempa seperti di Lombok dan di Donggala-Palu. 

Pergerakan lempeng benua ini tak hanya memicu gempa tetapi juga menimbulkan tekanan yang berpotensi menimbukan gerakan magma sehingga mengakibatkan meletusnya gunung berapi.

Di wilayah Indonesia, banyak gunung-gunung api yang bermunculan, masih aktif hingga kini dan pernah meletus dahsyat, mulai dari Gunung Toba di Sumatera, Gunung Krakatau di Selat Sunda, Gunung Tambora di Pulau Sumbawa dan gunung-gunung lainnya.

Gunung-gunung berapi di Indonesia ini dikenal dengan nama "the Ring of Fire (sabuk cincin berapi) yang mengelilingi Samudera Pasifik.  Sejarah mencatat letusan-letusan gunung di Indonesia sangat dahsyat yang telah mempengaruhi kehidupan iklim global di bumi pada saat itu. Letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 telah menciptakan gempa dan tsunami yang menewaskan 36.000 orang. 

Makna Bencana

Bencana yang terjadi sudah pasti menghancurkan hal-hal bercirikan fisik seperti rumah, jembatan, jalan dan sebagainya. Namun bencana juga melumpuhkan tatatan kehidupan masyarakat. Banyaknya korban jiwa dan luka dan kerusakan rumah dan infrastruktur tentunya akan membuat lumpuh pula aktivitas masyarakat di berbagai bidang seperti pendidikan perekonomian.

Dengan terjadinya bencana yang terjadi, maka seyognya penanganan bencana bisa menjadi momentum untuk kembali menata ulang model pembangunan yang selama ini terjadi menjadi pembangunan berkelanjutan yang berwawasan bencana.

Dari pengalaman bencana gempa bumi dan tsunami Aceh-Nias tahun 2004 dan gempa bumi Yogya tahun 2006 telah menghentak pemerintah untuk membuat berbagai kebijakan dan peraturan pembangunan berwawasan bencana. Namun sayangnya sejauh ini, upaya pelaksanaan dan penegakkan kebijakan dan peraturan tersebut belum berjalan optimal di lapangan. 

Sesungguhnya bencana yang terjadi bisa dimaknai mendalam sebagai kesempatan untuk menata kembali pembangunan yang akrab dan hidup beradaptasi dengan wilayah yang penuh bencana. Dalam proses pembangunan selama ini, faktor kondisi fisik geologis wilayah Indonesia yang rawan bencana seringkali dianggap sepele.

Misalnya, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dibuat hanya sekedar "rencana di atas meja saja", bahkan masih banyak RTRW yang sesungguhnya "tak merencanakan" sesuatu di suatu wilayah yang rawan bencana. Dalam perspektif penanggulangan bencana, maka proses pembangunan harus saling terintegrasi antar bidang.

Selama ini, keterkaitan itu tidak ada. Contohnya, membangun hotel dan apartemen atau perumahan mewah namun lokasinya berada di lereng pebukitan yang asalnya berupa kawasan hutan untuk menyerap air. Tentu akibatnya nanti bisa menyebabkan terjadinya banjir di kawasan bawah karena berkurangnya serapan air di bagian atas.

Dalam kehidupan masyarakat di kita saat ini yang semakin modern (terutama di kota-kota), kehidupan yang akrab dengan kondisi alam lingkungan sepertinya sudah tidak ada lagi. Tak heran bencana yang terjadi adalah sebagai akibat penyingkiran kehidupan masyarakat yang sengaja "memisahkan diri" dari lingkungan sekitar.

Kita menjadi tidak peka terhadap kondisi fisik lingkungan sekitar kita hidup. Lingkungan yang kita tinggali sekarang akan selalu berubah dan tidak akan sama dengan hari kemarin. Sesungguhnya kita harus belajar pada masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah tertentu yang hidupnya masih akrab dengan lingkungan sekitarnya.

Masyarakat tersebut mempunyai pengalaman dan pengetahuan dalam mengelola bencana sebagai warisan dari nenek moyangnya. Sebagai contoh, rumah-rumah kayu dan bambu adalah sebagai upaya refleksi dan tindakan masyarakat di beberapa lokasi di Indonesia untuk mengurangi terjadinya bencana oleh gempa. 

Di beberapa komunitas adat tertentu di Indonesia, perilaku binatang dijadikan sebagai alat peringatan dini tatkala ada bencana datang. Di masyarakat yang tinggal di pesisir selatan Indonesia, masyarakat mempunyai pengetahuan untuk menyelamatkan diri ketika gelombang tsunami datang menerjang.

Di Pulau Simelue di Provinsi Aceh, saat tsunami datang, orang-orang berteriak "Smoong! Smoong! Smoong!" berkali-kali lalu mengajak orang-orang untuk pergi ke bukit. Tak heran, jumlah korban jiwa di Pulau Simelue Aceh pada saat itu terbilang sedikit dibanding wilayah Aceh lainnya.

Smoong berarti aba-aba agar pergi lari ke atas gunung dan bukit karena sebentar lagi akan datang air bah dari laut. Seusai gempa besar terjadi di Aceh, sesaat kemudian orang-orang Simeulue langsung memantau kondisi air laut. Begitu air laut terlihat surut, semua lari ke gunung dan bukit. 

Merencana ke depan

Tidak pernah ada yang bakal mengira bencana di Lombok dan Donggala-Palu. Namun kita semua sudah tahu bahwa Indonesia ini berada di wilayah yang rawan bencana. Bencana yang terjadi telah mengguncang kehidupan dan semua kemapanan. Sudah pastiu guncangan gempa tersebut telah membawa kekalutan bagi semua orang.

Bingung, takut dan kalut terhadap kehidupan masa kini dan masa datang. Kenyamanan hidup telah terenggut dari kehidupan saat ini. Namun perubahan harus dihadapi karena untuk meneruskan hidup. Sangat penting sekali untuk menanamkan persepsi positif mengenai bencana gempa yang terjadi merupakan suatu perubahan yang harus dihadapi, dikelola dan direncanakan.  

Dalam memikirkan perencanaan pembangunan ke depannya di Lombok dan Donggala-Palu, sangat penting sekali untuk mengetahui ke mana pembangunan akan diarahkan dan mengetahui cara mencapai arah pembangunan tersebut. Selama ini pembangunan yang dilakukan di Indonesia masih seperti biasa, yaitu pembangunan yang tidak berwawasan bencana. Indonesia masih dianggap sebagai negeri aman yang tidak akan pernah terjadi bencana.

Pelajaran penting yang harus diingat, merencana janganlah menghasilkan rencana yang sama dengan sebelumnya. Rencana pembangunan dengan perspektif berwawasan bencana adalah rencana mutakhir yang harus jadi pegangan dan ditegakkan pelaksanaannya. Pemerintah dan juga masyarakat harus berani membuat rencana baru pasca bencana, baik dalam proses pembuatannya maupun produk rencananya. Kalau rencana pembangunan selalu sama, jadi untuk apakah rencana itu dibuat ?

Kehidupan di masa depan harus dilihat dengan perspektif berbeda. Peter F.Drucker mengatakan bahwa "cara terbaik meramalkan masa depan adalah dengan menciptakannya." Kondisi Lombok dan Donggala-Palu harus dilihat dengan perspektif yang berbeda sebagai suatu tempat kehidupan baru  yang harus dikelola dengan cara baru.

Bila kita tidak melihatnya dengan perspektif yang berbeda, maka bisa jadi arah pembangunan Lombok dan Donggala-Palu akan kembali selalu sama seperti biasa tampak pada keseragaman wajah pembangunan kota-kota dan desa-desa di Indonesia selama ini.

Mungkin selama ini Bangsa Indonesia selalu memaknai keseragaman dalam proses pembangunan sebagai hal yang lumrah, padahal kondisi wilayah Indonesia mempunyai keanekaragaman yang unik baik dari sisi geografis, geologis, sosial budaya dan sebagainya. 

Pelajaran penting lainnya adalah harus berani berubah. Dengan adanya bencana yang datang, maka kita harus berubah dalam menghadapi dan menjalani kehidupan ke depannya. Perubahan itu tidak dibatasi waktunya. Dan setiap waktu selalu berubah. Lombok yang dulu, akan berbeda dengan Lombok yang di depan.

Donggala-Palu yang baru saja diguncang bencana gempa, harus berubah di masa depan nanti. Dalam setiap bencana, kita berharap selalu hadir kecerdasan-kecerdasan baru dalam proses pembangunan. Rusak, hancur dan bangkit kembali adalah sejarah perjalanan kehidupan manusia yang senantiasa berulang. 

Merencana dan mengelola hidup di negeri bencana bukan hanya sekedar memenuhi tuntutan proposal, cetak biru rencana dan target angka-angka jumlah rumah dan infrastruktur yang dibangun, namun melainkan bagaimana kita mengubah cara berpikir dan tata kelakuan. Albert Einstein menyatakan: "Bahwa kita tidak dapat memecahkan masalah dengan menggunakan cara berpikir yang sama ketika terjadi masalah tersebut.

Setiap masalah baru hadir idealnya hadir dengan solusi yang baru pula. Yang perlu dilakukan adalah membuka ruang improvisasi kreatif setiap kali kita menyusun rencana pasca bencana. Semoga seusai pelaksanaan tanggap darurat bencana di Donggala-Palu, akan dilakukan rekonstruksi dan rehabilitasi yang kreatif dan inovatif. Demikian juga halnya dengan Lombok yang sekarang ini sedang mulai berjalan proses rekonstruksi dan rehabilitasinya. 

Catatan, penulis pernah mengalami masa berharga bersama masyarakat dan pemerintah Aceh dalam melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pasca gempa dan tsunami dari 2005-2009.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun