Mereka lebih sering baca polling daripada buku.
Lebih sering baca komentar netizen daripada jurnal akademik. Lebih sering baca caption influencer daripada laporan riset. Makanya kebijakannya kadang kayak konten endorse:
viral, tapi nggak ada isinya.
Buku itu bukan gaya hidup. Buku itu GPS buat pejabat yang pengen nyampe ke tujuan tanpa nabrak rakyat.
Kebijakan Tanpa Bacaan
Kebijakan publik kita kadang kayak sinetron:
dramatis, nggak logis, dan penuh plot twist yang sangat tidak penting.
Hari ini larang ini, besok izinkan itu. Minggu ini bilang "prioritas rakyat", minggu depan anggaran malah buat renovasi ruang kerja. Kayak nulis skrip pake mood, bukan pake data.
Pejabat yang nggak baca itu kayak chef yang nggak pernah nyicipin masakan sendiri. Dia masak kebijakan, tapi nggak tahu rasanya. Akhirnya rakyat yang jadi korban food poisoning kebijakan setengah matang.
Dan lucunya, kalau kebijakan gagal, solusinya bukan evaluasi. Tapi bikin kebijakan baru. Kayak anak sekolah yang remedial terus, tapi nggak pernah belajar ulang. Yang penting ada keputusan. Soal dampak? Nanti aja.
Rekomendasi Buku Wajib untuk Negara
Kalau boleh nitip, ini beberapa buku yang wajib dibaca pejabat kita. Biar nggak asal mangap, asal bunyi, atau asal ide.
1. The Wretched of the Earth – Frantz Fanon
Tentang luka kolonial, elite yang lupa akar, dan rakyat yang dijadikan objek pembangunan.
Cocok buat pejabat yang sering bilang “kami sudah turun ke lapangan” tapi cuma buat foto.
2. Pedagogy of the Oppressed – Paulo Freire
Tentang pendidikan yang membebaskan, bukan mendikte. Cocok buat pejabat yang suka bikin program “cerdas” tapi nggak pernah dengar suara rakyat.