Mohon tunggu...
Firasat Nikmatullah
Firasat Nikmatullah Mohon Tunggu... Pendatang Baru

Aku adalah apa yang kamu pikirkan

Selanjutnya

Tutup

Book

Darurat Literasi: Rekomendasi Buku Wajib untuk Negara

26 September 2025   21:21 Diperbarui: 26 September 2025   22:16 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Hanya Pemanis. (Foto: Instagram @kak_kasir)

"Pejabat kita bisa beli jam tangan ratusan juta, tapi beli dan baca satu buku aja kayaknya mustahil."

Di negeri ini, pejabat pamer gaya udah kayak rutinitas. Jam tangan mewah, mobil dinas, outfit branded... semua-muanya dipamerin.

Tapi coba cari satu unggahan mereka yang pamer buku, kutipan, atau bahkan rak bacaan. Jarang. Kalaupun ada, biasanya cuma buat pencitraan. Buku jadi properti, bukan sumber gagasan. Asli, the real Darurat Baca Pejabat

Padahal, kata admin Kompasiana, dari bacaanlah lahir kebijakan yang nggak asal bunyi. Tanpa literasi, pejabat cuma bisa bikin kebijakan reaktif:

dangkal, jangka pendek, dan sering nggak nyambung sama realita rakyat.

Mereka sibuk ngurus citra, tapi lupa ngurus isi kepala.

Kenapa Buku Penting Buat Pejabat?

Karena jabatan itu bukan cuma soal tanda tangan, tapi soal keputusan. Dan keputusan yang lahir dari kepala kosong itu kayak mie instan tanpa direbus:

mentah, keras, dan bikin sakit perut.

Pejabat yang nggak baca itu kayak sopir angkot yang ngandelin insting buat belok. Kadang nyampe, kadang nyasar ke kebijakan absurd yang bikin rakyat bingung:

"Ini maksudnya apa sih?"

Mereka lebih sering baca polling daripada buku.  
Lebih sering baca komentar netizen daripada jurnal akademik. Lebih sering baca caption influencer daripada laporan riset. Makanya kebijakannya kadang kayak konten endorse:

viral, tapi nggak ada isinya.

Buku itu bukan gaya hidup. Buku itu GPS buat pejabat yang pengen nyampe ke tujuan tanpa nabrak rakyat.

Kebijakan Tanpa Bacaan

Kebijakan publik kita kadang kayak sinetron:

dramatis, nggak logis, dan penuh plot twist yang sangat tidak penting.

Hari ini larang ini, besok izinkan itu. Minggu ini bilang "prioritas rakyat", minggu depan anggaran malah buat renovasi ruang kerja. Kayak nulis skrip pake mood, bukan pake data.

Pejabat yang nggak baca itu kayak chef yang nggak pernah nyicipin masakan sendiri. Dia masak kebijakan, tapi nggak tahu rasanya. Akhirnya rakyat yang jadi korban food poisoning kebijakan setengah matang.

Dan lucunya, kalau kebijakan gagal, solusinya bukan evaluasi. Tapi bikin kebijakan baru. Kayak anak sekolah yang remedial terus, tapi nggak pernah belajar ulang. Yang penting ada keputusan. Soal dampak? Nanti aja.

Rekomendasi Buku Wajib untuk Negara

Kalau boleh nitip, ini beberapa buku yang wajib dibaca pejabat kita. Biar nggak asal mangap, asal bunyi, atau asal ide.

1. The Wretched of the Earth – Frantz Fanon
Tentang luka kolonial, elite yang lupa akar, dan rakyat yang dijadikan objek pembangunan.  
Cocok buat pejabat yang sering bilang “kami sudah turun ke lapangan” tapi cuma buat foto.

2. Pedagogy of the Oppressed – Paulo Freire
Tentang pendidikan yang membebaskan, bukan mendikte. Cocok buat pejabat yang suka bikin program “cerdas” tapi nggak pernah dengar suara rakyat.

3. Development as Freedom – Amartya Sen
Tentang pembangunan yang manusiawi, bukan sebatas angka. Cocok buat pejabat yang bangga sama pertumbuhan ekonomi tapi nggak tahu harga beras.

4. Imagined Communities – Benedict Anderson
Tentang nasionalisme sebagai proyek imajinasi, bukan warisan. Cocok buat pejabat yang suka teriak “NKRI harga mati” tapi nggak ngerti sejarahnya.

5. The Shock Doctrine – Naomi Klein
Tentang bagaimana krisis dipakai buat ngelolosin kebijakan yang nggak berpihak. Cocok buat pejabat yang bilang “darurat” tapi ujung-ujungnya tender.

Bonus Buku Lokal: Biar Pejabat Nggak Cuma Ngerti Jabatan, Tapi Juga Rasa

1. Tugas Pemerintah – Riant Nugroho

Buku ini kayak cermin buat pejabat. Nggak cuma ngomongin prosedur, tapi nilai-nilai moral di balik kekuasaan. Cocok buat pejabat yang sering bilang “saya hanya menjalankan aturan” padahal aturannya bikin rakyat sengsara.

2. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia – Koentjaraningrat

Biar pejabat ngerti bahwa masyarakat itu bukan angka statistik, tapi punya nilai, tradisi, dan cara hidup yang nggak bisa disamaratakan. Cocok buat yang suka bikin program “nasional” tapi lupa konteks lokal.

3. Indonesia Dalam Arus Sejarah – Tim Kemendikbud

Buku ini ngajarin bahwa sejarah bukan buat dikutip pas kampanye, tapi buat dipahami sebagai proses panjang yang penuh luka dan harapan. Cocok buat pejabat yang suka bilang “kita belajar dari masa lalu” tapi nggak pernah baca masa lalu.

4. Sastra, Politik, dan Kekuasaan – Ariel Heryanto

Buku ini tajem. Ngebongkar bagaimana bahasa, media, dan narasi dipakai buat melanggengkan kekuasaan. Cocok buat pejabat yang suka bilang “kami transparan” tapi takut dikritik.

5. Orang Orang Proyek – Ahmad Tohari

Novel, tapi tajem. Tentang korupsi, pembangunan, dan manusia-manusia kecil yang terpinggirkan. Cocok buat pejabat yang suka bilang “kami membangun” tapi nggak pernah turun ke kampung.

Kalau Pejabat Nggak Baca, Kita Cuma Jadi Bab dalam Buku yang Nggak Pernah Ditulis

Pejabat yang nggak baca itu kayak penulis yang nggak pernah riset. Tulisannya kosong, kebijakannya ngambang, dampaknya nihil.

Dan kita semua cuma jadi bab dalam buku yang nggak pernah ditulis. Kebijakan jadi reaktif, bukan reflektif. Program jadi pencitraan, bukan solusi. Rakyat jadi angka, bukan manusia.

Dan yang paling menyedihkan:

Kita punya pejabat yang sibuk bicara, tapi miskin gagasan.

Sibuk tampil, tapi kosong isi.

Literasi Tanggung Jawab Bersama

Buku bukan sebatas bacaan. Dia kompas moral, peta intelektual, dan cermin etika. Pejabat yang membaca bukan berarti sok pintar.

Tapi mereka sadar bahwa memimpin bangsa butuh lebih dari sekedar perolehan suara. Dia butuh kedalaman berpikir. Dia butuh ketajaman untuk berbicara. Dia butuh buku.

Karena kalau pejabatnya nggak baca, maka kebijakannya cuma akan jadi reaksi. Dan rakyatnya cuma akan jadi korban dari ketidaktahuan yang dipoles jadi keputusan.

Firasat Nikmatullah

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun